12. Karna, Anak Sais Kereta Kuda
Putra-putra Pandawa dan Kaurawa mempelajari ketrampilan menggunakan
berbagai senjata perang dan berlatih berperang di bawah bimbingan
Mahaguru Kripa dan Mahaguru Drona. Setelah cukup lama belajar dan
berlatih, kedua mahaguru itu menentukan hari baik untuk menguji
kecakapan mereka di hadapan Raja, para kerabat, para panglima dan rakyat
.
Pada hari yang telah ditentukan, semua hadir di sekeliling arena olah
senjata di istana untuk menyaksikan para putra raja yang mereka kasihi
bertanding memperlihatkan kemahiran masing-masing .
Di antara semua pangeran yang akan diuji kebolehannya, Arjunalah yang
memiliki kemampuan melebihi para pangeran lainnya. Ketika memasuki
arena, ia disambut tepuk tangan gemuruh dan sorak sorai membahana. Semua
yang hadir mengelu-elukannya. Melihat sambutan luar biasa yang diterima
sepupunya, Duryodhana mengerutkan alisnya yang hitam tebal. Wajahnya
keruh dan matanya menyorotkan rasa dengki, amarah dan iri hati .
Satu per satu para pangeran dipanggil ke tengah arena untuk
menunjukkan kemahiran mereka dengan saling berlaga. Tak satu pun dapat
mengalahkan kesaktian dan kemahiran Arjuna. Pagi berganti siang, siang
berganti sore, dan sore merambat menjadi senja temaram. Suasana di arena
semakin seru. Tak henti-hentinya rakyat bersoraksorai memberi semangat
kepada pangeran pujaan mereka .
Dalam keremangan senja, tiba-tiba terdengar suara gemuruh
menderu-deru dari arah gerbang arena, disusul ledakan menggelegar
seperti sambaran halilintar. Itu adalah bunyi ledakan senjata hebat
sebagai tanda adanya tantangan kepada sang pemenang ujian laga hari itu.
Semua kepala menoleh ke arah gerbang. Orang-orang menyibak, memberi
jalan bagi seorang pemuda gagah perkasa yang wajahnya bersinar-sinar.
Pemuda itu maju ke tengah arena, mendekati Arjuna tanpa mempedulikan
Mahaguru Kripa dan Mahaguru Drona .
Para Pandawa, yang tidak mengetahui bahwa pemuda itu adalah Karna, saling berpandangan dengan hati bertanya-tanya. Mereka tidak tahu suratan nasib yang sedang mereka hadapi.
Mereka tidak tahu, sesungguhnya Karna adalah saudara mereka satu ibu .
Sampai di depan Arjuna, Karna berkata dengan suara lantang dan bergema bagai guruh,
“Wahai Arjuna, aku menantangmu adu kemahiran olah senjata. Akan
kuperlihatkan padamu, siapa sesungguhnya yang lebih sakti di antara kita
berdua.”
Tiba-tiba Mahaguru Drona bangkit berdiri lalu meninggalkan tempat
duduknya. Sementara itu, Karna yang sangat ingin menunjukkan
kesaktiannya, dengan mudah dan dengan sikap tak peduli dapat menandingi
semua kecakapan olah senjata yang ditunjukkan oleh Arjuna .
Melihat itu, Duryodhana merasa senang. Dia maju ke tengah arena,
menyalami Karna, lalu memeluknya eraterat sambil berkata, “Selamat
datang wahai kesatria sejati. Senjata Tuan sungguh luar biasa. Kami
sungguh beruntung Tuan sudi datang kepada kami. Kami, keturunan wangsa
Kuru, siap menunggu perintah Tuan.”
Karna menjawab, “Aku, Karna, berterima kasih kepadamu, wahai
Pangeran. Hanya dua hal yang aku butuhkan di sini. Pertama, cinta
kasihmu. Kedua, kesempatan untuk bertarung melawan Partha alias Arjuna.”
Sekali lagi Duryodhana memeluk Karna erat-erat sambil berkata, “Semua harta kekayaanku akan kuserahkan kepadamu demi kebahagiaanmu, Tuan.”
Rasa bangga memenuhi dada Duryodhana. Tingkah laku dan ucapannya membuat Arjuna tersinggung dan marah sekali.
Dengan tajam ia memandang Karna yang berdiri tegak dengan angkuhnya
sambil menerima salam dari para Kaurawa .
Arjuna berkata, “Hai Karna, akan kubunuh dan kukirim engkau ke
neraka. Berani benar kau masuk ke arena ini tanpa diundang dan bicara
sombong di depan kami semua.”
Karna tertawa terbahak-bahak, lalu berkata dengan nada mengejek,
“Arena ini terbuka bagi siapa saja, hai Arjuna! Bukan hanya bagimu.
Kekuasaan yang bertuah adalah kekuasaan yang berdaulat, dan hukum ditata
berdasarkan kedaulatan itu. Tetapi, apa gunanya banyak cakap? Cakap
kosong adalah senjata kaum lemah. Bidikkan panahmu, jangan kata-kata!”
Mahaguru Drona memberi isyarat, mengijinkan Arjuna menerima tantangan
itu. Segera setelah berpelukan dengan saudara-saudaranya, Arjuna
berdiri tegak, siap untuk bertanding. Sementara itu, Karna yang senang
karena sambutan hangat Kaurawa, segera bersiap untuk menghadapi Arjuna .
Hari menjelang malam, namun tiba-tiba langit menjadi terang benderang
seakan-akan para dewata dan orangtua para pahlawan datang hendak
mengelu-elukan putra-putra mereka dalam olah perang tanding. Memang
demikianlah, Batara Indra Dewa guruh dan petir, Batara Bhaskara Dewa
sinar abadi, serta Batara Surya Dewa matahari muncul di angkasa. Semua
yang hadir di sekeliling arena terpana melihat keajaiban itu .
Sementara itu, begitu melihat Karna yang tampan, Kunti langsung
mengenali putra sulungnya. Ia terkejut, sedih dan cemas melihat kedua
putranya berhadapan, siap mengadu kesaktian. Tak kuasa menahan kegalauan
hatinya, Dewi Kunti jatuh pingsan. Widura menolongnya hingga sadar
kembali. Dewi Kunti berdiri terpaku, tak tahu harus berbuat apa .
Ketika Arjuna dan Karna telah siap untuk berperang tanding, Mahaguru
Kripa yang menguasai aturan segala jenis pertempuran, turun ke tengah
arena lalu berdiri di antara keduanya. Kemudian ia berkata, “Putra raja
yang siap bertempur dengan Tuan ini adalah putra Pritha dan Pandu dan
berasal dari keturunan wangsa Kuru. Sadarlah, wahai kesatria perkasa,
nenek moyang Tuan dan wangsa Tuan telah memberikan contoh mulia tentang
asal usul Tuan. Hanya setelah mengetahui asal usul Tuan, Partha boleh
bertempur melawan Tuan. Menurut aturan perang tanding, putra raja yang
bergaris kelahiran mulia tidak boleh bertanding melawan seorang
petualang yang tak dikenal.”
Mendengar kata-kata mahaguru itu, serta merta Karna tertunduk lunglai
bagai sekuntum teratai layu. Tetapi Duryodhana bangkit, berdiri tegak,
lalu berkata lantang, “Kalau perang tanding ini tak bisa dilangsungkan
hanya karena Karna bukan seorang putra raja, mudah saja. Aku nobatkan
Karna sebagai Raja Angga.”
Setelah berkata begitu, ia meminta Bhisma dan Dritarastra untuk
mempersiapkan upacara penobatan. Mahkota bertahtakan permata dan semua
lambang kebesaran raja segera disiapkan. Dalam waktu singkat, Karna,
yang masuk ke arena sebagai anak seorang sais kereta, dinobatkan menjadi
raja Kerajaan Angga. Dengan demikian, martabat kedua orang muda itu
kini sepadan .
Ketika keduanya siap bertanding, tiba-tiba muncullah Adhirata, ayah
angkat Karna. Sambil mengacungkan tongkatnya, ia maju ke depan. Tubuhnya
gemetar karena amat cemas. Adhirata terkejut melihat anaknya mengenakan
mahkota raja .
Melihat ayahnya, Karna mengunjukkan sembah hormat dengan kepala
tunduk. Adhirata memeluknya dengan tangan gemetar dan air mata
berlinang-linang. Hatinya terharu, penuh cinta berlimpah-limpah.
Wajahnya yang sudah keriput teperciki air suci yang menetes dari mahkota
Karna .
Pada saat itulah Bhima tertawa terbahak-bahak sambil berkata, “Oo,
ternyata ia anak sais kereta kuda. Tariklah kereta dan paculah kudamu
seperti yang dikerjakan ayahmu! Engkau tak cukup berharga untuk mati di
tangan Arjuna. Kau juga tidak pantas menjadi raja Kerajaan Angga.”
Mendengar kata-kata Bhima yang tajam, bibir Karna bergetar karena
sangat marah. Begitu marahnya dia, hingga tak kuasa berkata-kata. Ia
hanya menatap matahari yang sedang tenggelam di yojana barat sambil
menarik napas panjang .
Tetapi, Duryodhana berteriak memotong kata-kata Bhima yang menghina,
“Hai Wrikodara, tak pantas engkau berkata demikian. Hakikat seorang
kesatria adalah keberaniannya, bukan asal kelahirannya. Karena itu, tak
ada gunanya kau bicara tentang asal usul seorang pahlawan besar atau
mata air sungai yang mahaluas. Aku bisa berikan ratusan orang yang
berasal dari kelahiran sederhana sebagai contoh bagimu. Aku tahu,
sungguh tidak enak ditanyai mengenai asal usul. Lihatlah kesatria ini,
perawakan dan sikapnya bagai dewata. Senjata dan anting-antingnya yang
kemilau! Lihatlah kemahirannya mempergunakan berbagai senjata! Pastilah
ada sesuatu yang tersembunyi tentang dirinya. Sebab, bukankah tidak
mungkin seekor harimau lahir dari perut seekor biri-biri? Katamu ia
tidak pantas menjadi Raja Angga. Sebaliknya, aku menganggap dia sangat
berharga dan pantas memerintah seluruh dunia.”
Setelah berkata begitu, Duryodhana menyambar Karna, menaikkan ke
keretanya, lalu memacu kereta itu secepat kilat, meninggalkan arena .
Matahari pun langsung lenyap dari angkasa. Langit gelap gulita.
Rakyat bubar dengan ribut. Suasana kacau balau. Orang
berkelompok-kelompok membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi. Ada
yang memuji Arjuna, ada yang memuji Karna, ada pula yang memuji
Duryodhana .
Batara Indra tahu, pertarungan sengit antara putranya dan putra
Batara Surya tak mungkin dihindari lagi. Jika tidak saat ini, pasti akan
terjadi kelak di kemudian hari. Untuk melunturkan kesaktian Karna,
Batara Indra menyamar sebagai seorang brahmana. Ia pergi menemui Karna
yang terkenal sangat dermawan. Ia memohon agar diberi anting-anting dan
senjatanya. Karna tak dapat menolak permintaan seorang brahmana,
walaupun Batara Surya telah memperingatkannya dalam mimpi, bahwa Batara
Indra akan mencoba mencuri kesaktiannya. Akhirnya, Karna memberikan
anting-anting dan senjata yang dibawanya sejak lahir kepada brahmana itu
.
Batara Indra kaget tetapi senang menerima pemberian itu. Ia memuji
Karna yang rela meluluskan permintaan itu. Karena malu melihat ketulusan
hati Karna, Batara Indra menawarkan senjata sakti kepada pemuda itu .
Karna menjawab, “Aku ingin memiliki senjatamu yang sakti, agar aku mampu mengalahkan semua musuhku.”
Batara Indra mengabulkan permintaan Karna dan memberikan mantra senjatanya yang mahasakti sambil berkata,
“Senjata ini hanya akan dapat engkau gunakan satu kali saja. Siapa
pun musuhmu, betapa pun saktinya dia, kau pasti dapat memusnahkannya
dengan senjata ini. Tetapi, setelah sekali kaugunakan, kau tidak dapat
menggunakannya lagi. Dan… ingat, begitu selesai kaugunakan, senjata ini
harus kaukembalikan kepadaku.”
Setelah berkata demikian, Batara Indra kembali ke kahyangan .
Berbekal senjata pemberian Batara Indra, Karna pergi menemui
Parasurama. Ia menyamar sebagai seorang brahmana agar diterima menjadi
muridnya. Dari Parasurama ia mempelajari mantra agar dapat mempergunakan
senjata terunggul yaitu Brahmastra .
Pada suatu hari, Parasurama meletakkan kepalanya di pangkuan Karna
dan jatuh tertidur. Seekor serangga menyelinap ke kaki Karna dan
menggigit pahanya sampai berdarah. Walaupun sangat kesakitan, sedikit
pun Karna tidak bergerak karena khawatir gurunya akan terganggu tidurnya
.
Beberapa waktu kemudian saat Parasurama terbangun dan melihat darah
mengalir dari paha Karna, ia berkata, “Muridku terkasih, engkau pasti
bukan seorang brahmana. Hanya seorang kesatria sejati yang dapat menahan
segala siksa ragawi tanpa bergerak sedikit pun. Katakan padaku, siapa
sebenarnya dirimu.”
Karna mengaku bahwa ia telah berdusta dengan menyamar sebagai
brahmana. Ia berkata bahwa sesungguhnya dirinya hanyalah anak sais
kereta kuda .
Mendengar itu, Parasurama menjadi marah dan mengucapkan kutuk-pastu
pada Karna, “Hai, anak muda, berani benar engkau menipu gurumu. Sebagai
hukuman, Brahmastra yang telah engkau pelajari takkan bisa kaugunakan di
saat yang menentukan hidup-matimu. Engkau takkan mampu mengingat mantra
panggilan itu pada saat engkau memerlukannya.”
Kelak, ketika melawan Arjuna di medan perang Kurukshetra, Karna tak
bisa mengingat mantra pemanggil senjata Brahmastra karena kutuk-pastu
Parasurama .
Setelah diusir oleh Parasurama, Karna kembali ke Angga dan kemudian
menjadi kawan tepercaya Duryodhana. Sampai saat terakhir hidupnya, Karna
selalu setia kepada Kaurawa bersaudara karena merekalah yang telah
memberinya kehidupan yang lebih baik dan selalu menghargainya sebagai
kesatria yang sederajat. Dalam perang besar Bharatayuda, setelah Bhisma
dan Drona mangkat, Karna diangkat menjadi senapati agung yang memimpin
balatentara Kaurawa dengan gagah berani .
***
BERSAMBUNG
0 komentar :
Posting Komentar