27. Pengembaraan di Rimba Raya
Kaum
brahmana yang dulu bersama-sama Yudhistira diIndraprastha setia
menyertainya dalam pengasingan di hutan. Tidak mudah mengatur dan
membiayai rombongan yang sangat besar itu. Resi Lomasa
menasihati Yudhistira agar memperkecil rombongannya supaya pengembaraan
lebih lancar, terutama ketika berziarah ke tempat-tempat suci di hutan.
Atas
saran tersebut, Yudhistira memberi tahu pengikut-pengikutnya bahwa
mereka yang tidak biasa menghadapi kesulitan dan mengikutinya hanya
karena berbela rasa, sebaiknya kembali ke Negeri Astina yang diperintah
Raja Dritarastra atau ke Negeri Panchala yang diperintah Raja Drupada.
Selanjutnya, Yudhistira menyerahkan sepenuhnya kepada para pengikutnya
cara apa yang mereka anggap paling baik dan sesuai dengan kesanggupan
mereka .
Dalam pengembaraan dari satu tempat suci ke
tempat suci lainnya di dalam hutan, Pandawa mendengar, melihat, dan
mengalami berbagai keadaan dan situasi yang membuat mereka yakin bahwa
masa depan mereka akan baik .
Sebagai suri teladan, Resi Lomasa menceritakan kisah Resi Agastya kepada mereka,
“Pada
suatu hari, Agastya melihat roh manusia berdiri terbalik, kepalanya di
bawah dan kakinya di atas. Karena anehnya, ia bertanya kepada makhluk
itu dan dijawab bahwa makhluk itu adalah nenek moyangnya sendiri yang
telah meninggal dunia. Ia mengalami nasib demikian karena keturunannya
tidak mau kawin dan tidak punya anak yang wajib mengadakan
upacara-upacara persembahyangan untuk roh nenek moyang. Mendengar hal
itu, Agastya langsung memutuskan untuk kawin .
“Terkisahlah
bahwa raja Widarbha tidak punya anak. Raja itu kemudian memohon restu
kepada Resi Agastya agar ia dikaruniai anak. Pada waktu memberikan
restu, Agastya mengucapkan kutuk-pastu, yaitu: jika anak yang lahir perempuan, anak itu harus diserahkan kepadanya untuk dikawini .
“Ketika tiba waktunya, lahirlah seorang putri jelita yang kemudian diberi nama Dewi Lopamudra.
Semakin dewasa semakin sempurnalah kecantikannya. Dewi Lopamudra
termasyhur di kalangan para kesatria, tapi tidak seorang pun berani
mendekatinya karena takut pada Resi Agastya .
“Pada suatu
hari, Resi Agastya datang ke istana Raja Widarbha untuk menagih
janjinya. Tetapi Raja Widarbha keberatan. Dia tak mau menyerahkan
putrinya yang cantik itu kepada resi tua yang hidup menyendiri di dalam
hutan. Raja cemas kalau-kalau kutuk-pastu sang Resi akan menjadi
kenyataan. Mengetahui kecemasan dan kesedihan orangtuanya, Dewi
Lopamudra justru menyatakan keinginannya untuk kawin dengan resi itu .
“Setelah
disepakati, perkawinan dilangsungkan sebagaimana mestinya. Sebelum
memboyong istrinya ke hutan, Resi Agastya menyuruh Dewi Lopamudra
melepas semua perhiasannya dan mengganti pakaiannya yang mewah dan
mahal. Istrinya harus bersedia hidup sederhana sesuai kebiasaan para
resi yang tinggal dalam asrama di hutan. Dewi Lopamudra membagi-bagikan
semua perhiasan dan pakaiannya kepada teman-teman dan para pelayannya,
kemudian mengenakan pakaian dari kulit kayu .
“Demikianlah,
Resi Agastya dan Dewi Lopamudra hidup bahagia di pertapaan di hutan
Ganggadwara. Mereka saling mengasihi dan selalu tampak mesra .
“Pada suatu hari, karena perasaan cintanya yang meluap-luap, Dewi Lopamudra tak bisa menahan perasaannya .
Ia meminta kepada Resi Agastya agar sekali-sekali mereka menikmati kemewahan .
“‘Aku
ingin sekali kita tidur di tilam kerajaan yang empuk, mengenakan jubah
indah dan memakai perhiasan seperti waktu aku di rumah orangtuaku.’
“Agastya menjawab, ‘Aku tidak punya kekayaan apaapa, karena sekarang kita hidup di hutan sebagai pemintaminta.’
“Lopamudra
menyarankan agar Agastya menggunakan kekuatan gaib yogi-nya untuk
memperoleh apa yang diinginkannya. Tetapi Agastya tidak setuju, karena
kekayaan yang diperoleh dengan jalan demikian tidak akan kekal. Setelah
berdebat lama, mereka sepakat untuk pergi meminta-minta kepada raja-raja
kaya dengan harapan kelak mereka bisa hidup enak .
“Mereka menghadap seorang raja yang terkenal kaya raya .
“Agastya
berkata, ‘Tuanku Raja, aku datang untuk memohon harta. Berilah aku yang
dapat diberikan, tanpa menyebabkan kekurangan atau kehilangan bagi
orang lain.’
“Raja itu memperlihatkan catatan pendapatan
kerajaan kepada Agastya dan mempersilakan sang Resi mengambil apa yang
diperlukannya dan kelebihan yang ada. Ternyata Resi Agastya tahu bahwa
antara pendapatan dan pengeluaran kerajaan itu tidak ada sisanya. Ia
kemudian pergi meminta-minta ke negeri lain. Ternyata negeri itu
mengalami kekurangan karena rajanya mengeluarkan lebih banyak uang
daripada jumlah pendapatan dari upeti yang dipungut atas rakyat .
“Tanpa
putus harapan, Agastya pergi ke negeri-negeri lain. Di sana ia
menjumpai keadaan yang tidak banyak berbeda. Ia berkata pada dirinya
sendiri, ‘Untuk mendapat sedekah dari seorang raja saja aku membuat
rakyat harus memikul beban berat. Karena itu, aku akan meminta di tempat
lain dengan cara lain.’
“Demikianlah Agastya banyak
mengetahui keadaan keuangan suatu kerajaan. Ia menyimpulkan bahwa
menurut pekerti luhur, seorang raja tidak boleh menarik upeti dari
rakyatnya secara sewenang-wenang, melebihi kebutuhan pengeluaran untuk
kepentingan umum yang sebenarnya. Dan siapa pun yang menerima pemberian
hadiah atau sebangsanya dari hasil pungutan upeti rakyat, itu berarti
dia telah menambah beban rakyat. Sungguh tidak adil. Itu sebabnya
Agastya memutuskan untuk menemui raksasa Ilwala yang terkenal jahat dan
kaya raya, untuk mencoba meminta-minta .
“Mula-mula Ilwala
dan Watapi, saudaranya, berniat membunuh Agastya karena mereka membenci
kaum brahmana. Selama ini, mereka selalu membunuh setiap brahmana yang
datang menemui mereka. Tetapi Agastya adalah seorang brahmana yang
sakti. Ketika tahu itu, Ilwala sangat takut dan segera memenuhi
permintaannya. Agastya mendapatkan apa yang diinginkan istrinya dan
keduanya hidup bahagia.”
Demikianlah cerita Resi Lomasa
kepada Yudhistira yang intinya merupakan pelajaran tentang bagaimana
seharusnya mengurus harta kerajaan yang merupakan hasil pungutan upeti
dari rakyat. Harta kerajaan harus digunakan dengan sebaik-baiknya untuk
kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi .
Selanjutnya Resi Lomasa berkata, “Di
lain pihak, sungguh salah jika kita berpikir bahwa seseorang dapat
dengan mudah hidup suci sebagai brahmacharin jika ia dibesarkan dalam
lingkungan yang sama sekali tidak mengajarkan pengetahuan akan
kenikmatan duniawi dan kenikmatan olah asmara.”
Ia melanjutkan, “Kebajikan yang dituntun oleh ketidaktahuan tidaklah meyakinkan.”
Resi Lomasa lalu bercerita tentang Negeri Angga yang pernah mengalami bahaya kelaparan yang mengerikan .
“Romapada,
raja negeri Angga, sangat cemas karena negerinya dilanda bencana alam.
Panen gagal, tumbuh-tumbuhan kering, hujan tidak turun-turun, ternak
mati dan di mana-mana rakyat menderita kelaparan. Sungguh sengsara.
Romapada memanggil semua brahmana di negerinya untuk dimintai nasihat
tentang cara mengatasi bencana yang mengerikan itu. Para brahmana
menyarankan agar Raja memanggil Resi Risyasringga yang masih muda, putra Resi Wibhandaka yang
masyhur. Resi Risyasringga telah menjalani kehidupan yang suci sempurna
dan karena tapanya yang lama tanpa putus, ia sanggup memanggil hujan
yang akan menyuburkan tanah. Sepanjang hidupnya, resi muda itu selalu
bertapa di samping ayahnya dan sama sekali belum pernah melihat manusia
lain, laki-laki atau perempuan, selain ayahnya .
“Bersama
para penasihatnya, Romapada merundingkan cara untuk memanggil
Risyasringga. Atas nasihat mereka, Romapada mengumpulkan beberapa
perempuan penggoda dan menugaskan mereka untuk membawa resi itu ke
ibukota Angga .
“Mula-mula perempuan-perempuan penggoda
itu takut kepada raja yang berkuasa itu dan kepada Resi Wibhandaka yang
sakti. Tetapi setelah diberi penjelasan, mereka menerima tugas itu
dengan senang hati karena keberhasilan mereka adalah demi keselamatan
dan kesejahteraan rakyat. Kemudian mereka membangun taman indah yang
ditanami pohon-pohon rindang dan dilengkapi dengan pertapaan di
tengahnya. Taman buatan itu dibangun di tepi sebuah sungai besar yang
jernih airnya, yang di hulunya mengalir melewati pertapaan Resi
Wibhandaka. Sebuah perahu mereka labuhkan di tepi sungai, dekat
pertapaan itu .
“Pada suatu hari, ketika Resi Wibhandaka
sedang pergi, salah seorang perempuan yang cantik itu mengayuh perahu
dan melabuhkannya di tepian pertapaan. Ia menemui Risyasringga sambil
memberi salam sesuai adat seorang resi bila bertemu resi lainnya .
“Seumur
hidup Risyasringga belum pernah melihat perempuan cantik dan bersuara
merdu. Ia mengira perempuan itu seorang brahmacharin. Ia bertanya,
‘Rupanya engkau seorang brahmacharin yang halus dan cemerlang. Siapakah
engkau, di mana pertapaanmu, dan ajaran suci apa yang engkau pelajari?
Aku menyembah kepadamu.’ Kemudian, sesuai adat, ia menyerahkan
buah-buahan sebagai persembahan kepada seorang resi yang bertamu .
“Perempuan
itu berkata bahwa pertapaannya tak jauh dari situ, di pinggir sungai
yang sama. Karena kuatir kalau-kalau Resi Wibhandaka cepat kembali,
perempuan itu segera mempersembahkan buah-buahan yang ranum,
minum-minuman yang manis dan kalung bunga yang harum kepada
Risyasringga. Sambil membelai dan memeluk resi itu, perempuan itu
berkata bahwa begitulah yang ditradisikan bila seorang resi bertemu
dengan resi lain yang seajaran .
“Risyasringga tidak
keberatan. Ia justru berpendapat bahwa cara itu memberinya kenikmatan
yang belum pernah dirasakannya. Kesucian pikirannya ternoda. Ia tak
kuasa menahan gejolak nafsunya menghadapi perempuan itu. Tanpa berpikir
panjang, ia mengundang brahmacharin cantik itu untuk datang lagi
mengunjunginya .
“Ketika kembali, Resi Wibhandaka sangat
kaget melihat suasana pertapaan yang tidak seperti biasanya. Rumput dan
semak-semak bunga terlihat habis diinjak-injak, sisasisa makanan
berserakan, wangi kalung bunga menyusupi hidungnya, dan wajah putranya
tampak aneh. Ia bertanya, apa yang telah terjadi. Risyasringga bercerita
bahwa ia dikunjungi seorang brahmacharin yang wujud tubuhnya luar
biasa indah. Brahmacharin itu memberi salam dengan cara memeluk dan
membelainya, membuat sekujur tubuhnya merasakan kenikmatan tak terkira.
Dengan lugu Risyasringga berkata bahwa ia ingin sekali bertemu lagi
dengan brahmacharin itu dan merasakan kembali kelembutan belaiannya .
“Mendengar
cerita anaknya, Resi Wibhandaka langsung mengerti apa yang telah
terjadi. Dalam hati ia sangat marah, tetapi kepada putranya ia berkata,
‘Anakku, yang datang mengunjungimu bukanlah brahmacharin melainkan
makhluk jahat yang sangat berbahaya. Ia sengaja menipumu dan berniat menodai pertapaan kita. Jangan biarkan ia datang lagi.’
“Tiga hari tiga malam Wibhandaka berusaha mencari perempuan yang telah menggoda anaknya, tetapi sia-sia belaka .
“Pada
kesempatan lain, ketika Resi Wibhandaka sedang mengadakan perjalanan,
perempuan itu datang lagi. Melihat Risyasringga hanya sendirian, ia
berlari mendekati dan tanpa menunggu-nunggu lagi mengajak resi itu pergi
sebelum ayahnya kembali. Inilah kesempatan yang ditunggutunggu oleh
perempuan-perempuan penggoda yang mengemban tugas dari Raja Romapada.
Segera setelah resi muda itu masuk ke dalam perahu, sauh diangkat dan
perahu dikayuh ke hilir, menuju ibukota Negeri Angga. Di sana, resi itu
diterima dengan upacara kehormatan oleh Raja Romapada dan dipersilakan
beristirahat di tempat yang sudah disediakan di dalam lingkungan istana .
“Berkat
kehadiran Risyasringga, hujan mulai turun di wilayah Kerajaan Angga.
Danau dan telaga mulai berisi air, sungai mengalir deras menyuburkan
tanah, binatang mendapat makanan cukup dan pepohonan mulai bersemi
kembali. Sebagai ungkapan terima kasih, Raja Romapada menyerahkan Dewi
Santa, putrinya, untuk diperistri oleh Risyasringga .
“Untuk
menghindari kemurkaan Resi Wibhandaka, Raja Romapada mengerahkan
berpuluh-puluh gembala sapi. Mereka disebar ke mana-mana, terutama di
sekitar jalanjalan yang mungkin akan dilalui Resi Wibhandaka. Jika
bertemu dengan resi itu, mereka harus berkata bahwa mereka adalah
gembala yang menggembalakan ratusan sapi milik Risyasringga .
“Sementara
itu, dengan perasaan cemas dan geram Resi Wibhandaka meninggalkan
pertapaan untuk mencari putranya. Ia menjelajahi segala penjuru hutan,
tetapi tidak juga menemukan putranya. Kemudian ia keluar dari hutan,
menjelajahi ladang-ladang dan pedesaan. Ia heran melihat
puluhan gembala sedang menggembalakan sapisapi yang tambun dan sehat.
Para gembala itu berkata bahwa sapi-sapi itu milik Risyasringga. Karena
berkali-kali mendengar jawaban yang sama di mana-mana, lambat laun
amarah Wibhandaka berkurang .
“Akhirnya ia sampai ke
ibukota Negeri Angga. Timbul rasa ingin tahunya, apakah anaknya ada di
ibukota itu. Di depan istana, tanpa disangka-sangka, ia disambut dengan
upacara kebesaran, bahkan Raja Romapada sendiri yang mengantarkannya ke
puri tempat tinggal putranya. Akhirnya ia dapat bertemu dengan
Risyasringga yang telah menyunting Dewi Santa yang cantik. Sang Resi
lega dan senang setelah mengetahui bahwa putranya hidup bahagia sebagai
menantu Raja dan dengan kesaktiannya telah menghindarkan rakyat Negeri
Angga dari bencana kelaparan .
“Ia merestui anaknya dan
berkata, ‘Teruslah berbuat kebajikan untuk menyenangkan hati Raja
Romapada yang mencintai rakyatnya. Setelah engkau punya anak laki-laki,
kembalilah ke dalam hutan dan temani ayahmu.’
“Resi muda itu menaati perintah ayahnya.”
Resi
Lomasa mengakhiri ceritanya dengan kata-kata demikian, “Seperti halnya
Damayanti dan Nala, Sita dan Rama, Arundhati dan Wasistha, Lopamudra dan
Agastya, Santa dan Risyasringga, engkau dan Draupadi pun ditakdirkan
untuk hidup mengembara di dalam hutan selama waktu yang telah
ditentukan. Hiduplah dengan penuh cinta kasih, saling menyayangi, dan
selalu menjalankan dharma. Tempat ini adalah bekas pertapaan
Risyasringga. Mandilah dalam kolam ini dan sucikan dirimu.”
Mengikuti
anjuran Resi Lomasa, Pandawa mandi dan menyucikan diri dalam kolam itu.
Setelah membersihkan dan merapikan diri, mereka bersembahyang memuja
dewata .
***
Dalam pengembaraannya, Pandawa
sampai ke pertapaan Resi Raibhya di tepi Sungai Gangga. Mereka berhenti,
membersihkan diri dan melakukan upacara pemujaan, lalu beristirahat.
Resi Lomasa bercerita tentang riwayat pertapaan itu .
“Yawakrida, anak seorang resi, menemui ajalnya di sini. Beginilah kisah hidupnya... .
“Resi Raibhya dan Resi Bharadwaja adalah dua brahmana yang bersahabat dan pertapaannya berdampingan .
“Raibhya
punya dua anak laki-laki, namanya Parawasu dan Arwawasu, sedangkan
Bharadwaja punya satu anak laki-laki, namanya Yawakrida .
“Kedua
anak Raibhya mempelajari kitab-kitab suci Weda dengan sungguh-sungguh
hingga mereka menjadi orang suci yang termasyhur. Melihat itu, Yawakrida
iri dan benci kepada mereka. Ia tidak mematuhi nasihat ayahnya. Untuk
melampiaskan rasa iri dan kebencian hatinya, ia menyiksa diri dengan
bersamadi dan bertapa berbulanbulan, tanpa makan tanpa minum. Ia ingin
mendapat karunia kesaktian. Mengetahui itu, Batara Indra merasa iba. Ia
mendatangi Yawakrida. Batara Indra menasihati Yawakrida agar tidak
menyiksa diri seperti itu .
“Yawakrida menjawab, ‘Aku
ingin menguasai kitab-kitab suci Weda, melebihi mereka yang telah
mempelajarinya. Aku ingin menjadi mahaguru tentang kitab-kitab suci itu.
Sebab itu, aku lakukan semua ini agar cita-citaku lekas tercapai.
Bagiku, belajar dari seorang guru membutuhkan waktu lama. Aku rajin
berpuasa dan bersamadi, agar pengetahuan itu langsung kuterima, tanpa
perlu berguru. Restuilah aku!’
“Batara Indra tersenyum seraya
berkata, ‘Wahai Brahmana, engkau berada di jalan yang salah. Pulanglah
engkau! Carilah seorang guru yang baik dan pelajarilah kitabkitab Weda
darinya. Menyiksa diri bukan cara benar untuk belajar. Cara belajar yang
benar adalah dengan bertekun mempelajari sesuatu.’ Setelah berkata
demikian, Batara Indra menghilang .
“Yawakrida tidak mengindahkan
nasihat itu. Ia terus menyiksa diri. Batara Indra muncul lagi,
memberinya peringatan. ‘Engkau memilih jalan salah untuk memperoleh
ilmu. Untuk memperoleh ilmu, satu-satunya jalan adalah belajar. Ayahmu
mempelajari kitab-kitab suci Weda dengan sabar dan berhasil. Yakinlah,
kau pun pasti bisa. Berhentilah menyiksa dirimu.’
“Yawakrida tetap
tidak mengindahkan nasihat Batara Indra. Malahan ia berkata, jika puasa
dan semadinya tidak dikabulkan, ia akan memotong kaki dan tangannya
untuk dijadikan sesaji dalam upacara persembahyangan .
“Pada
suatu hari, ketika hendak menyucikan diri di Sungai Gangga sebelum
mulai bersemadi, ia melihat seorang lelaki tua sedang bekerja keras
melemparkan pasir ke dalam sungai dengan kedua tangannya. Yawakrida
bertanya, ‘Wahai Pak Tua, apa yang sedang kaukerjakan?’ Lelaki tua itu
menjawab, ‘Aku hendak membendung sungai ini. Jika aku bisa membangun
bendungan dengan cara ini, orang akan bisa menyeberangi sungai ini
dengan mudah. Tahukah engkau bahwa tidak mudah menyeberangi Sungai
Gangga. Bukankah membuat bendungan suatu pekerjaan yang mulia?’
“Yawakrida
tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Ia berkata, ‘Rupanya engkau sudah
gila! Engkau pikir, dengan melempar-lemparkan pasir —dengan kedua
tanganmu yang rapuh— engkau akan bisa membendung arus sungai yang
perkasa ini? Bangkitlah dan carilah pekerjaan yang lebih berguna!’
“Orang
tua itu menjawab, ‘Apakah pekerjaanku ini lebih gila daripada
perbuatanmu menyiksa diri karena ingin menguasai kitab-kitab suci Weda
tanpa berguru? Bukankah engkau enggan belajar dengan sabar dan tekun?’
“Maka,
tahulah Yawakrida bahwa orang tua itu tak lain adalah Batara Indra. Ia
segera menjatuhkan diri, bersujud dan memohon agar Batara Indra berkenan
menganugerahkan pastu kepadanya. Batara Indra mengabulkan permintaannya
dengan syarat Yawakrida harus mempelajari kitab-kitab suci Weda
sebagaimana mestinya .
“Sejak itu, Yawakrida mempelajari
kitab-kitab suci Weda dengan sungguh-sungguh dan berhasil menguasainya
dalam waktu singkat. Sayangnya, ia berjiwa lemah. Ia mengira,
kemampuannya mempelajari kitab-kitab Weda dengan cepat itu bukan karena
pertolongan gurunya, melainkan karena anugerah pastu Batara Indra. Ia
menjadi sombong .
“Resi Bharadwaja, ayahnya, yang
mengetahui hal itu segera menasihatinya, ‘Jangan biarkan dirimu terjebak
dalam perangkap iri dan tinggi hati. Usahakan membatasi diri, jangan
melampaui batas-batas kesopanan. Jangan bersikap congkak terhadap orang
yang lebih tua seperti Resi Raibhya.’
“Musim semi tiba.
Pohon-pohon bertunas, bunga-bunga mekar semerbak mewangi, hamparan
padang rumput terlihat hijau segar. Ke mana mata memandang, yang tampak
adalah keindahan. Binatang-binatang di hutan, burungburung di angkasa,
ikan di sungai dan telaga, semua gembira menyambut datangnya musim semi
yang gemilang .
“Dalam suasana yang indah itu, istri
Parawasu yang cantik dan muda belia berjalan-jalan di luar pertapaan
sambil memetik bunga-bunga dan bersenandung merdu. Di tengah keindahan
alam, kecantikannya semakin tampak cemerlang. Yawakrida yang kebetulan
lewat di situ, melihatnya dan terpikat oleh kecantikannya. Ia berhenti
dan memandangi wanita itu dengan penuh gairah. Lama-lama ia tak
dapat menahan gejolak berahinya. Disambarnya putri itu lalu diseretnya
ke balik semak-semak. Di sana, dengan kasar ia melampiaskan nafsunya
sepuaspuasnya .
“Resi Raibhya yang baru kembali ke pertapaan
melihat menantunya menangis tersedu-sedu. Setelah mengetahui apa yang
terjadi, resi tua itu marah. Dicabutnya sehelai rambut dari kepalanya
lalu dibakarnya dalam api pemujaan sambil mengucapkan mantra. Seketika
itu juga, dari rambut yang terbakar itu muncul makhluk halus berwujud seorang
gadis cantik. Kemudian ia mencabut dan membakar sehelai rambut lagi.
Setelah mengucapkan mantra, muncullah makhluk halus berwujud raksasa
perkasa bersenjata lembing. Resi Raibhya memerintahkan kedua makhluk
halus itu untuk membunuh Yawakrida .
“Keesokan paginya,
ketika sedang mengisi kendinya dengan air, Yawakrida melihat seorang
gadis cantik tibatiba muncul di hadapannya. Gerak-geriknya sungguh
menawan hati. Ia terlengah sesaat dan secepat kilat makhluk cantik itu
merampas kendinya yang sudah diisi air untuk menyucikan diri. Yawakrida
beranjak, hendak mengejarnya, tetapi dihalangi oleh raksasa perkasa
bersenjata lembing. Yawakrida sangat ketakutan. Sadar bahwa ia tak bisa
mengucapkan mantra sebelum menyucikan diri, Yawakrida lari ke tepi
telaga. Tetapi telaga itu kering. Ia lari ke tepi sungai, tetapi sungai
itu juga kering. Ia terus berlari mencari air. Ke mana pun ia lari,
raksasa itu terus mengejarnya. Akhirnya ia tidak bisa berlari lagi.
Tubuhnya yang letih jatuh terguling di tanah. Raksasa itu mendekat dan
menancapkan lembingnya. Tamatlah riwayat Yawakrida .
“Bharadwaja
mengetahui hal itu. Ia sedih dan marah karena kematian putranya. Dalam
keadaan marah, ia melancarkan kutuk-pastu ke arah Resi Raibhya: kelak
resi itu akan mati di tangan salah satu anaknya. Tetapi setelah
mengucapkannya, Resi Bharadwaja menyesal. Ia sadar, putranya memang
bersalah. Akhirnya, dalam upacara pembakaran mayat putranya, Bharadwaja
terjun ke dalam api dan musnah bersama anaknya. Demikianlah, roh
Yawakrida dan Bharadwaja bersama-sama kembali ke alam baka yang tenang
dan damai.”
Resi Lomasa berkata, “Inilah bekas pertapaan
Resi Raibhya yang kuceritakan tadi. Wahai Yudhistira, dari sini naiklah
ke gunung. Bila engkau telah sampai ke puncaknya, segala mendung yang
menutupi hidupmu akan lenyap. Gunung itu adalah gunung suci! Amarah dan
nafsumu akan tercuci bersih jika engkau mandi di sungai ini. Mandilah
dan sucikan dirimu.”
Demikianlah Resi Lomasa
menutup kisahnya tentang puasa dan samadi yang tidak berguna karena
didasari niat untuk mencapai tujuan yang tidak pantas .
Kemudian Resi Lomasa melanjutkan ceritanya .
“Dalam
soal keagamaan, Raja Brihadyumna adalah pengikut setia Resi Raibhya.
Pada suatu hari ia ingin mengadakan upacara persembahyangan untuk
memohon kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Ia meminta Resi
Raibhya agar mengirimkan Parawasu dan Arwawasu ke istana untuk memimpin
upacara tersebut. Permintaan itu dikabulkan dan Resi Raibhya memberi
petunjuk seperlunya kepada kedua putranya. Ketika persiapan sedang
dikerjakan, malam harinya Parawasu kembali ke pertapaan hendak menemani
istrinya yang menginap di rumah ayahnya .
“Saat itu tengah
malam. Suasana gelap. Tiba-tiba ia melihat satu sosok berjalan
membungkuk-bungkuk di tepi mata air, seakan-akan sedang mengintai
mangsa. Tanpa berpikir panjang atau melihat lebih jelas, ia membidikkan
lembingnya dan melemparkannya ke arah sosok itu. Crap! Tepat mengenai
sasaran. Sesaat kemudian terdengar teriakan mengaduh. Ia mendekat. Dan
... alangkah terkejutnya Parawasu ketika sosok yang diserangnya ternyata
ayahnya sendiri. Ketika itu ayahnya mengenakan pakaian dari kulit
menjangan. Ia pergi ke mata air malam-malam untuk menimba air. Sebelum
meninggal, Resi Raibhya sempat menceritakan kutuk-pastu yang dilancarkan
Resi Bharadwaja kepadanya .
“Parawasu segera menemui Arwawasu dan menceritakan peristiwa sedih itu. Ia berkata, ‘Kejadian ini hendaknya jangan
sampai menghalangi upacara persembahyangan. Lakukan upacara pembakaran
jenazah atas namaku, sebagai pengganti dosa yang telah kuperbuat tanpa
sengaja. Pengampunan bagi dosa-dosa yang dilakukan tanpa sengaja adalah
dibenarkan. Sementara engkau menggantikan aku dan memohonkan ampun untuk
dosaku kepada Ayah, aku akan memimpin upacara permohonan kemak
muran
dan kesejahteraan bagi rakyat negeri ini tanpa perlu kau bantu. Tapi...
engkau takkan bisa memimpin upacara itu sendiri tanpa bantuanku.’
“Arwawasu
yang suci dan berbudi luhur menuruti kata saudaranya. Ia melakukan
upacara pembakaran jenazah ayahnya, bersembahyang atas nama saudaranya
dan melakukan tapa untuk menyucikan diri atas namanya sendiri dan
saudaranya, Parawasu. Setelah upacara selesai, ia menyusul saudaranya ke
istana Raja Brihadyumna .
“Tetapi Parawasu terkutuk oleh
dosanya sendiri. Ternyata ia mempunyai maksud jahat dan pertimbangan
lain. Ia lupa bahwa dosa tidak bisa ditebus orang lain. Mewakilkan
penebusan dosa kepada orang lain sama dengan menyuruh orang lain
memikulkan dosa kita dan itu berarti menambah dosanya sendiri. Melihat
saudaranya yang lebih suci, bijaksana, dan berbudi luhur memasuki
ruangan upacara, Parawasu mengucapkan penghinaan dan menuduh saudaranya
telah membunuh seorang brahmana. Katanya lantang, ‘Seorang pembunuh
tidak boleh dibiarkan masuk agar tidak mengotori ruangan suci ini.’
Kepada para pengawal kerajaan Parawasu meminta agar saudaranya diusir
keluar istana dengan alasan istana tak boleh dikotori oleh orang yang
membawa dosa sebagai pembunuh seorang brahmana .
“Arwawasu
menolak tuduhan itu dan berkata bahwa sesungguhnya Parawasu yang
melakukan dosa itu tanpa sengaja. Ia juga berkata bahwa dirinya telah
melakukan upacara penebusan atas nama saudaranya. Tetapi, tidak seorang
pun mempercayai kata-katanya. Penyangkalannya itu justru memperburuk
kesan orang akan dirinya. Atas perintah raja, ia diusir dengan kasar .
“Arwawasu
yang dituduh membunuh ayahnya dan memberikan keterangan palsu, kembali
ke dalam hutan dengan perasaan putus asa. Tidak adakah keadilan di dunia
ini? Kemudian, dengan tekad yang bulat, ia melakukan tapa brata yang
seberat-beratnya. Dalam tapa brata ia berusaha menyucikan pikirannya
dari segala macam
kejahatan dan memohon kepada Yang Maha
Kuasa agar jalan ayahnya dilapangkan di alam baka, terbebas dari
belenggu karma dan pada gilirannya kembali manunggal dengan Hyang Widhi
Yang Maha Kuasa. Kecuali itu dia mohon agar Parawasu, saudaranya,
dibebaskan dari kejahatan dan dosa yang telah dilakukannya.”
Resi
Lomasa menutup kisah itu dengan berkata kepada Yudhistira, “Arwawasu
dan Parawasu adalah dua brahmana muda yang pandai dan terpelajar.
Tetapi, untuk bisa berbuat kebajikan dan mempunyai budi luhur, orang
harus berusaha selalu berbuat baik dan menghindari perbuatan buruk.
Pengetahuan tentang baik-buruk harus benar-benar meresap dalam jiwa
seseorang dan tercermin dalam perbuatannya sehari-hari. Hanya dengan
jalan demikian seseorang dapat disebut bijaksana dan berbudi luhur.
Pengetahuan yang kita peroleh hanya merupakan keterangan yang akan
menimbuni pikiran kita dan membuat kita tidak bijaksana. Semua itu
ibarat pakaian luar yang diperlihatkan kepada orang lain tetapi
sesungguhnya bukan bagian dari diri kita.”
***
Pandawa
terus mengembara di dalam hutan, mengunjungi tempat-tempat suci,
pertapaan dan bekas pertapaan. Pada suatu hari, mereka sampai di
pertapaan Resi Uddalaka .
Menurut Resi Lomasa, Resi
Uddalaka adalah seorang mahaguru ahli kitab-kitab Weda dan mendalami
falsafah Wedanta. Pengikut dan muridnya banyak sekali. Salah satu di
antara mereka bernama Kagola. Kagola adalah orang yang suci dan teguh
imannya, tetapi kurang cerdas. Ia sering ditertawakan dan dipermainkan
teman-temannya. Walaupun agak bodoh, mahagurunya tidak pernah putus asa
dalam mendidiknya. Resi Uddalaka tertarik pada keluhuran budi dan tabiat
Kogala yang baik dan jujur. Ia berharap bisa menikahkan Sujata,
putrinya, dengan Kagola jika putrinya itu sudah dewasa .
Resi
Lomasa melanjutkan, “Sujata dan Kagola dianugerahi seorang anak
laki-laki yang cerdas seperti kakeknya, Resi Uddalaka. Sejak kecil anak
itu telah menunjukkan tanda-tanda kecerdasan yang luar biasa. Sayangnya,
anak itu bongkok dan badannya benjol-benjol. Ada delapan benjolan di
tubuhnya .
“Konon, benjolan itu muncul karena Kagola salah
mengucapkan mantra ketika anaknya masih dalam kandungan. Mendengar
mantra yang salah, anak itu meronta-ronta. Kesalahan itu diulang sampai
delapan kali. Akibatnya, bayi itu terlahir bongkok. Bayi itu kemudian
dinamai Astawakra, artinya ‘delapan benjolan’ .
“Pada
suatu hari, Kagola mengikuti lomba penafsiran Wedanta. Dalam perlombaaan
itu ia berhadapan dengan Wandi, seorang ahli tafsir dari Negeri
Mithila. Dalam acara perdebatan, ternyata Kagola tidak dapat menandingi
Wandi. Karena malu, ia bunuh diri dengan menceburkan diri ke laut.
Kelak, kekalahan Kagola akan ditebus oleh anaknya .
“Astawakra
tumbuh makin besar. Tubuhnya cacat, tetapi pikirannya cerdas luar
biasa. Dia diasuh oleh Resi Uddalaka, kakeknya. Waktu umurnya dua belas
tahun, ia sudah tamat mempelajari kitab-kitab suci Weda dan tafsir
Wedanta .
“Pada suatu hari ia mendengar berita bahwa
Janaka, raja Negeri Mithila, akan mengadakan upacara besar. Dalam
rangkaian upacara itu akan diadakan acara mabebasan, yaitu lomba membaca
dan menafsirkan kitabkitab Sastra. Para mahaguru, ahli-ahli pikir, dan
ahli-ahli tafsir terkenal akan datang dari mana-mana. Astawakra ingin
sekali ikut berlomba. Maka pergilah ia ke Negeri Mithila diantarkan
pamannya, Swetaketu, yang sedikit lebih tua darinya .
“Dalam
perjalanan menuju Negeri Mithila, mereka berpapasan dengan rombongan
Raja. Pengawal-pengawal raja memerintahkan agar orang-orang minggir,
tetapi Astawakra malah berkata dengan berani, ‘Wahai pengawal
kerajaan
yang budiman, seorang raja yang adil dan bijaksana akan memberi jalan
kepada orang buta, orang cacat, para wanita, pembawa beban berat dan
para brahmana, seperti diajarkan dalam kitab-kitab suci Weda.’
“Ketika
mendengar kata-kata luhur itu, Raja menasihati para pengawalnya, ‘Apa
kata brahmana itu benar. Api adalah api; kecil atau besar tetap punya
kekuatan untuk membakar.’
“Tatkala Astawakra dan Swetaketu hendak
memasuki ruangan upacara, mereka ditahan oleh penjaga pintu, karena
anak-anak yang belum cukup umur dilarang masuk. Hanya mereka yang
benar-benar ahli kitab-kitab suci Weda diperbolehkan masuk .
“Astawakra
berkata, ‘Kami bukan anak-anak lagi. Kami telah bersumpah menjadi
brahmana dan telah mempelajari kitab-kitab suci Weda. Mereka yang telah
mendalami tafsir Wedanta tidak akan menilai seseorang dari umur dan
wajahnya.’
“Penjaga pintu itu membentak karena menganggap
Astawakra masih bocah dan omong besar. Tetapi si bongkok Astawakra
melawan, ‘Maksudmu, badanku ini bogel seperti labu tua yang tak ada
isinya? Tinggi badan bukan ukuran untuk menilai dalamnya pengetahuan
sese-orang, begitu pula usia. Biarkan aku masuk!’
“Tetapi penjaga pintu itu tetap melarang Astawakra untuk masuk. Mereka berbantah sengit.
“Rambut
beruban bukan cerminan kematangan jiwa seseorang. Orang yang
betul-betul matang jiwanya adalah orang yang telah mempelajari dan
memahami Weda dan tafsir Wedanta, menguasai seluruh isinya dan meresapi
inti ajarannya. Aku datang untuk menantang Wandi, sang ahli tafsir,”
kata Astawakra .
“Kebetulan, saat itu Raja Janaka lewat
dan mendengar perdebatan itu. Raja mengenali si bongkok dan bertanya,
‘Tahukah engkau bahwa Wandi, sang ahli pikir dan ahli tafsir, telah
mengalahkan banyak ahli dan mahaguru di masa lampau. Di akhir
perdebatan, mereka yang kalah menanggung malu. Ada yang
menerjunkan diri ke laut karena tak tahan menanggung malu. Apakah itu
tidak mengecutkan hatimu? Masih beranikah engkau mengikuti lomba ini?’
“Astawakra
menjawab, ‘Wandi, si ahli tafsir, belum pernah menghadapi orang seperti
aku. Ia menjadi sombong karena dapat dengan mudah mengalahkan
orang-orang lain. Aku datang ke sini untuk membayar kekalahan ayahku.
Riwayatnya kudengar dari ibuku. Aku yakin, Wandi pasti dapat kukalahkan.
Ijinkan kami masuk dan menemuinya.’
“Kemudian Astawakra
menghadapi Wandi yang menjadi kebanggaan Negeri Mithila. Perlombaan
dimulai. Mereka berdebat tentang hal yang paling muskil yang sudah
ditentukan sebelumnya. Perdebatan berlangsung seru, masingmasing
mempertahankan pandangannya .
“Di akhir lomba, para ahli
tafsir memutuskan bahwa kemenangan ada di tangan Astawakra. Wandi
menderita kekalahan. Wandi menyembah Astawakra, kemudian pergi ke laut
untuk menyerahkan diri kepada Baruna, sang Dewa Laut, yang menguasai
seluruh perairan di dunia.”
Resi Lomasa berkata kepada
Yudhistira, “Seorang anak tidak perlu sama dengan ayahnya. Seorang ayah
yang lemah raganya bisa saja mempunyai anak yang kuat dan perkasa.
Seorang ayah yang dungu bisa saja mempunyai anak yang sangat cerdas.
Sungguh keliru menilai kebesaran seseorang dari tinggi badan dan lanjut
umurnya. Kenyataan luar dapat menipu, seperti halnya Kagola dan
Astawakra.”
***
Dalam perjalanan berikutnya, Resi Lomasa bercerita tentang kisah cinta dan kesetiaan Sawitri kepada suaminya .
“Terkisahlah
bahwa Raja Aswapati punya seorang putri yang cantik dan baik hati
bernama Sawitri. Nama itu sesuai dengan nama satu nyanyian suci untuk
upacara
pemujaan. Setelah Sawitri cukup dewasa, Raja
Aswapati membebaskan putrinya untuk memilih sendiri calon suaminya.
Sawitri senang karena maksud baik ayahnya. Setelah mendapat restu
ayahnya, ia melakukan perjalanan ke negeri-negeri jauh, naik kereta
emas, didampingi seorang panasihat tua kepercayaan ayahnya dan sejumlah
pengawal .
“Dalam perjalanan itu ia singgah di berbagai
negeri dan kerajaan. Sayangnya, setelah melihat banyak pangeran dan
pemuda bangsawan, hati Sawitri tetap dingin. Tidak seorang pun
membuatnya terpikat .
“Pada suatu hari, rombongan Sawitri
sampai ke sebuah pertapaan di tepi hutan. Pertapaan itu milik Raja
Dyumatsena yang telah ditaklukkan musuh dan kehilangan kerajaannya.
Kekalahan berat itu menyebabkan ia lekas menjadi tua dan buta. Ia
mengundurkan diri dari keramaian hidup di ibukota, pergi ke hutan, lalu
menjalankan tapa brata ditemani istrinya dan putranya yang bernama
Satyawan. Ia sendiri yang membangun pertapaan itu .
“Sawitri
bertemu dengan Satyawan di dalam hutan. Hatinya langsung terpikat
melihat pemuda itu, anak raja yang menjadi pertapa. Beberapa waktu
kemudian, setelah kembali ke istana, Sawitri menghadap ayahnya untuk
menceritakan pengalamannya .
“Raja Aswapati bertanya, ‘Anakku Sawitri, ceritakanlah. Siapa pemuda yang telah menawan hatimu?’
“Sawitri
menjawab dengan tersipu-sipu, ‘Baiklah, Ayahanda. Ia putra Raja
Dyumatsena yang telah kehilangan kekuasaan dan kerajaannya dan kini
hidup sebagai per-
tapa di hutan. Pemuda itu rajin membantu ayah-ibunya mengumpulkan umbi-umbian, daun-daunan dan buahbuahan untuk dimakan.’
“Setelah
mendengar cerita putrinya, Raja Aswapati meminta nasihat kepada Resi
Narada. Resi itu berkata bahwa pilihan Sawitri membawa firasat yang
menyedihkan. Katanya, ‘Dua belas bulan dari sekarang anak muda itu akan
meninggal dunia.’
“Mendengar firasat buruk yang
disampaikan Resi Narada, Aswapati segera menemui anaknya dan berkata,
‘Anakku Sawitri, anak muda itu akan menemui ajalnya dua belas bulan dari
sekarang. Jika kau menikah dengannya, engkau akan segera menjadi janda.
Pikirlah masakmasak! Batalkan pilihanmu, anakku sayang. Aku tidak tega
melihat engkau menjadi janda dalam waktu begitu singkat.’
“Dengan
hati mantap Sawitri menjawab, ‘Jangan Ayahanda risaukan hal itu. Jangan
pula Ayahanda berharap aku mau kawin dengan orang lain dan mengorbankan
pengabdian serta cintaku yang telah kuserahkan kepada Satyawan. Dialah
pemuda pilihanku. Dalam hidup ini, se-orang perempuan hanya dipilih dan memilih sekali. Aku sudah menentukan pilihanku. Aku tidak akan mengingkarinya.’
“Melihat
kemantapan putrinya, sebagai ayah Raja Aswapati tak dapat berbuat
apa-apa kecuali menikahkannya dengan pemuda pilihannya. Setelah upacara
perkawinan usai, Sawitri mengikuti Satyawan masuk ke hutan untuk
mengabdi pada mertuanya yang buta dan sudah tua .
“Sawitri
tahu bahwa malapetaka akan menimpa suaminya. Tetapi ia tidak berkata
apa-apa kepada Satyawan. Dengan tulus, ikhlas, dan rajin setiap hari
Sawitri ikut suaminya menjelajahi hutan untuk mengumpulkan umbiumbian,
daun-daunan, dan buah-buahan untuk orangtua mereka. Demikianlah
kehidupan mereka setiap hari .
“Menjelang hari yang telah diramalkan itu, Sawitri tekun
berpuasa dan bersamadi. Ia melewatkan malam tanpa tidur. Sambil berurai
air mata ia bersujud, memohon karunia kekuatan dari dewata. Pada hari
terakhir hidup suaminya, sedikit pun Sawitri tidak bisa mengalihkan
pandangannya dari suaminya.
“Hari itu, seperti biasa mereka pergi
mengumpulkan umbi-umbian, daun-daunan, dan buah-buahan. Tiba-tiba
Satyawan mengeluh dan berkata kepada Sawitri, ‘Kepalaku pening, panca
indraku serasa berpusing, pandanganku kabur. Wahai Sawitri, kantuk yang luar biasa memberatkan langkahku. Biarlah aku berhenti dan beristirahat sesaat.’
“Sawitri
cemas, karena tahu apa yang akan terjadi. Tetapi, ia terus berusaha
menenangkan suaminya. Katanya, ‘Suamiku, jantung hatiku, baringkanlah
kepalamu di
pangkuanku.’
“Sesaat setelah Satyawan
membaringkan kepalanya di pangkuan Sawitri, ia tertidur. Mula-mula badan
dan kepalanya terasa bagai terbakar api, kemudian rasa panas itu
berangsur reda dan berubah menjadi dingin. Sawitri memeluk suaminya yang
tak sadarkan diri sambil menangis tersedu-sedu .
“Di
tengah hutan yang sunyi, Sawitri memeluk Satyawan. Roh-roh kematian
berdatangan, hendak mencabut nyawa Satyawan. Tetapi, berkat lingkaran
api gaib yang mengelilingi Satyawan dan Sawitri, makhluk-makhluk
pencabut nyawa itu tidak berani mendekat. Mereka berbalik dan pergi
menghadap Batara Yama, Dewa Kematian, untuk melaporkan bahwa mereka
gagal mencabut nyawa Satyawan .
“Batara Yama, Dewa
Kematian, datang sendiri untuk mencabut nyawa Satyawan. Kepada Sawitri
ia berkata, ‘Anakku, lepaskan raga yang telah mati itu. Ketahuilah,
kematian pasti dialami semua makhluk hidup. Aku ini makhluk hidup yang
mati pertama kali di dunia ini. Sejak itu setiap makhluk hidup harus
mati. Mati adalah batas akhir hidup makhluk hidup.’
“Mendengar
sabda sang Dewa Kematian, Sawitri rela melepaskan tubuh Satyawan yang
sudah tidak bernyawa. Setelah mengambil nyawa Satyawan, Batara Yama
pergi meninggalkan tempat itu. Tetapi setiap kali melangkah maju, ia
mendengar langkah orang mengikutinya dari belakang. Ia menoleh,
dilihatnya Sawitri mengikutinya. Ia berkata, ‘Wahai anakku Sawitri,
kenapa engkau mengikuti aku? Sudah ditakdirkan, setiap manusia pasti
mati.’
“‘Aku tidak mengikuti engkau, Dewata,’ jawab Sawitri .
“Memang
sudah suratan bagi kaum wanita; ia akan ikut ke mana pun cintanya
membawanya. Dan hukum alam yang abadi tidak akan memisahkan laki-laki
dari istrinya yang mencintainya dengan setia .
“Batara Yama berkata lagi, ‘Anakku, mintalah anugerah apa saja, kecuali jiwa suamimu.’
“Sawitri menjawab, ‘Kalau demikian, aku mohon agar mertuaku yang buta dapat melihat lagi dan hidup bahagia.’
“‘Permohonanmu
kukabulkan, Anakku yang patuh dan setia,’ kata Batara Yama lalu
meneruskan perjalanan membawa nyawa Satyawan. Tetapi, kembali ia
mendengar langkah-
langkah kaki mengikutinya. Ia menoleh dan melihat Sawitri. ‘Anakku Sawitri, mengapa engkau masih juga mengikuti aku?’ tanyanya .
“‘Ya
Dewata, aku tidak bisa berbuat lain selain ini. Aku sudah mencoba untuk
pulang, tetapi jiwa dan ragaku selalu mengikuti suamiku. Jiwa suamiku
telah kauambil, tetapi jiwaku selalu mengikutinya. Oh, Batara Yama,
cabutlah juga jiwa dari ragaku ini. Bawalah jiwaku bersama jiwa
suamiku,’ demikian jawab Sawitri .
“‘Sawitri yang setia
dan berbudi, peganglah kata-kataku. Mintalah anugerah lagi, tetapi
jangan jiwa suamimu,’ kata Dewa Kematian .
“‘Kalau begitu, aku mohon agar kekayaan dan kerajaan mertuaku dikembalikan kepadanya,’ jawab Sawitri .
“‘Anakku
yang penuh kasih dan cinta, permintaanmu kukabulkan. Pulanglah, sebab
manusia yang hidup tidak mungkin terus mengikuti Dewa Kematian,’ kata
Batara Yama lalu meneruskan perjalanannya .
“Tetapi
Sawitri yang setia tetap mengikuti suaminya yang telah mati. Batara Yama
menoleh lagi, dan berkata, ‘Sawitri yang berhati luhur, jangan ikuti
cintamu yang siasia.’
“Sawitri menjawab, ‘Aku tidak dapat memilih jalan lain kecuali mengikuti Engkau yang telah mengambil jiwa suamiku tercinta.’
“‘Baiklah, Sawitri! Andaikata suamimu orang terkutuk
penuh dosa dan harus masuk neraka, apakah engkau akan mengikutinya ke neraka?’ tanya Dewa Kematian .
“‘Dengan senang hati akan kuikuti dia, hidup atau mati, ke surga atau ke neraka,’ demikian jawab Sawitri .
“‘Anakku,
engkau kurestui. Peganglah kata-kataku ini. Mintalah anugerah sekali
lagi, tetapi ingat, yang sudah mati tak bisa dihidupkan lagi,’ kata
Batara Yama .
“‘Kalau demikian, aku mohon berilah mertuaku
seorang putra yang akan meneruskan kelangsungan kerajaannya. Ijinkan
kerajaannya diwarisi oleh anak Satyawan,’ kata Sawitri .
“Batara
Yama tersenyum mendengar permintaan Sawitri. Ia berkata, ‘Anakku,
engkau akan memperoleh segala keinginanmu. Terimalah jiwa suamimu, ia
akan bidup kembali. Ia akan menjadi ayah dan anak-anakmu kelak akan
memerintah kerajaan kakeknya. Telah terbukti, cinta dapat mengalahkan
kematian. Tak ada perempuan yang mencintai suaminya seperti engkau
mencintai suamimu. Cintamu yang tulus dan sangat besar telah mengalahkan
maut. Bahkan aku, sang Dewa Kematian, tidak berdaya melawan kekuatan
cinta sejati yang bertakhta dalam jiwamu.’”
Demikianlah, Resi
Lomasa menceritakan riwayat Sawitri kepada Yudhistira dalam salah satu
perjalanan ziarahnya di dalam hutan. Sang Resi menekankan bahwa cinta
dan kesetiaan seorang istri adalah harta paling berharga yang bisa
dimiliki seorang lelaki .
***
BERSAMBUNG
Best Merkur 34C Review 2020 | Expert Review & Ratings
BalasHapusMerkur 34C Review 2020. Read our expert Merkur 34C febcasino review, 메리트 카지노 get 메리트 카지노 쿠폰 latest reviews, get free upgrades, photos & more.