18. Membangun Ibukota Indraprastha
Ketika
berita tentang kejadian di Kerajaan Panchala sampai ke Hastinapura,
Widura merasa gembira. Ia segera menemui Dritarastra dan berkata,
“Tuanku Raja, keluarga kita akan bertambah kuat sebab putri Raja Drupada
telah menjadi menantu kita. Sungguh kita ini dinaungi bintang
keberuntungan.”
Dritarastra yang merasa amat gembira
mengira bahwa Widura mengabarkan kemenangan Duryodhana dalam sayembara
itu dan keberhasilannya menyunting Draupadi. Karena itu ia berkata,
“Sungguh benar apa yang kaukatakan. Saat ini adalah saat yang baik bagi
kita. Pergilah segera dan bawa Draupadi kemari. Kita akan mengadakan
upacara penyambutan yang megah untuk putri Kerajaan Panchala itu.”
Widura
sadar, Dritarastra keliru mengartikan kata-katanya. Segera ia berkata,
“Paduka Raja, sesungguhnya Pandawa yang mendapat perlindungan Yang Maha
Kuasa masih hidup. Arjunalah yang memenangkan sayembara itu dan berhak
menyunting Draupadi. Kelima Pandawa menyunting putri itu bersama-sama
dan perkawinan mereka telah dianggap sah karena sesuai dengan yang
tertulis dalam kitab-kitab Sastra. Bersama ibu mereka, kini mereka hidup
bahagia di bawah lindungan Raja Drupada.”
Dritarastra
sangat kecewa mendengar penjelasan Widura. Kebencian menggelegak di
dalam hatinya, tetapi ia berusaha menutupinya. Katanya,
“Wahai
Widura, aku senang mendengar ceritamu. Jadi, Pandawa sebetulnya masih
hidup? Padahal kita telah mengadakan upacara berkabung untuk mereka.
Berita yang engkau sampaikan ibarat air yang menyejukkan hatiku. Jadi,
putri Raja Drupada sekarang menjadi menantu kita? Syukur, syukur.”
Sementara
itu, Duryodhana pulang dari Panchala dengan hati penuh dengki.
Lebih-lebih setelah ia mendengar dari ayahnya bahwa sebenarnya Pandawa
masih hidup. Rupanya mereka lolos dari kebakaran yang memusnahkan istana
kayu di Waranawata dan sejak itu hidup menyamar sebagai brahmana. Kini
mereka semakin kuat karena berada dalam lindungan Raja Drupada .
Duryodhana
mengajak Duhsasana, adiknya, untuk menemui Sakuni. Dengan hati penuh
dendam ia berkata kepada pamannya itu, “Paman, aku merasa sangat
dipermalukan. Aku sungguh kecewa karena mempercayakan pelaksanaan
rencana kita kepada Purochana. Pandawa, musuh kita, lebih cerdik dan
rupa-rupanya nasib baik memihak mereka. Kini Dristadyumna dan Srikandi
juga menjadi sekutu mereka. Apa yang dapat kita lakukan?”
Mendengar pengaduan itu, Sakuni menyarankan agar Duryodhana mengajak Karna menghadap Dritarastra yang buta .
Di
depan ayahnya, putra mahkota Hastina itu berkata, “Ayahanda, engkau
telah berkata kepada Paman Widura bahwa masa depan kita akan menjadi
lebih baik. Apakah masa depan yang baik bagi kita itu berarti bahwa
musuh bebuyutan kita, Pandawa, semakin kuat dan pada suatu waktu akan
menghancurkan kita? Rencana kita gagal karena ternyata sebelumnya mereka
sudah tahu. Ini lebih berbahaya bagi kita. Sekarang kita tak punya
pilihan lagi. Kita hancurkan mereka sekarang atau mereka yang akan
menghancurkan kita lebih dulu. Kami mohon petunjuk Ayahanda.”
Dntarastra
menjawab, “Anak-anakku, apa yang engkau katakan itu benar. Seharusnya
kita tidak mengungkapkan isi hati kita kepada Widura. Itu sebabnya aku
menahan diri di depan dia. Sekarang aku ingin mendengar rencana kalian
selanjutnya.”
Duryodhana berkata, “Aku sangat kecewa dan
pikiranku sangat kacau. Aku belum punya rencana apa-apa. Mungkin kita
bisa mengadu domba mereka. Bukankah mereka terlahir dari dua ibu? Kita
buat anak-anak Madri membenci anak-anak Kunti. Kita bujuk Drupada agar
mau bergabung dengan kita. Walaupun ia telah memberikan anaknya kepada
Pandawa, hal itu tidak menghalangi niat kita untuk mengajaknya
bersekutu. Tanpa kekayaan dan harta benda, tak ada yang bisa mereka
lakukan.”
Karna tersenyum dan berkata, “Itu omong kosong!”
Duryodhana
melanjutkan, “Bagaimanapun juga kita harus mencegah kembalinya Pandawa
untuk menuntut hak mereka atas kerajaan yang sudah ada di tangan kita.
Kita harus menempatkan beberapa brahmana di Panchala untuk menyebarkan
berita bohong. Kita juga harus mengatakan kepada Pandawa, jika berani
kembali ke Hastinapura mereka akan menghadapi bahaya besar. Dengan
begitu Pandawa pasti tidak berani datang ke sini.”
Karna menyela, “Itu juga omong kosong. Engkau tidak dapat menakut-nakuti mereka dengan cara itu.”
Duryodhana
melanjutkan, “Apakah kita tidak bisa memisahkan Pandawa melalui
Draupadi? Bukankah mereka berlima mempunyai satu istri? Perkawinan
seperti itu baik untuk siasat kita. Kita akan membuat mereka ragu,
cemburu dan saling curiga dengan bantuan perempuan-perempuan penjaja
asmara yang cantik dan mempesona. Ya, dengan cara itu kita pasti
berhasil. Kita suruh perempuanperempuan itu menggoda anak-anak Kunti dan
membuat Draupadi cemburu. Jika cemburu, Draupadi pasti akan mengadu
pada ayahnya dan Drupada pasti akan memarahi Pandawa. Setelah itu, kita
undang Draupadi ke Hastinapura dan kita buat dia tercemar.”
Karna
tertawa mengejek dan berkata, “Semua rencanamu pasti gagal. Engkau
takkan bisa memecah belah Pandawa dengan siasat seperti itu. Dulu ketika
mereka masih muda, ibarat anak burung yang belum sempurna sayapnya,
kita bisa menipu mereka. Tetapi sekarang mereka sudah menjadi
kesatria-kesatria sakti. Mereka sudah kenyang hidup sengsara di hutan
belantara. Mereka sekarang dilindungi Drupada. Dengan mudah mereka bisa
menebak rencanamu. Benih perpecahan yang kausebar takkan tumbuh subur di
antara mereka. Engkau juga takkan bisa menyuap Drupada yang bijaksana.
Ia takkan menyerahkan Pandawa begitu saja. Tak mungkin pula membujuk
Draupadi agar mau mengkhianati para suaminya .
“Karena
itu, hanya ada satu jalan bagi kita, yaitu menggempur mereka dan para
sekutu mereka sebelum semakin kuat. Kita harus menyerang mereka dengan
tiba-tiba sebelum Krishna menggabungkan diri bersama pasukan perang
Yadawa yang terkenal. Kita serang mereka dengan terang-terangan. Tipu
muslihat akan sia-sia.”
Seperti biasa, Dritarastra tak bisa mengambil keputusan. Ia meminta pertimbangan Bhisma dan Drona .
Bhisma
senang mendengar bahwa Pandawa masih hidup dan kini menjadi menantu
Raja Drupada serta tinggal di Panchala dalam lindungan raja itu. Ketika
ditanya langkah-langkah apa yang harus diambil Kaurawa untuk melenyapkan
Pandawa, Bhisma yang bijaksana, berpandangan luas, dan ahli tata
negara, berkata dengan sabar, “Penyelesaian yang paling tepat adalah
mempersilakan mereka kembali dan membagi kerajaan ini menjadi dua.
Rakyat juga menghendaki itu. Itulah satu-satunya jalan untuk menjaga
martabat dan kebesaran keluarga kita. Tidak ada gunanya membicarakan
kesalahan masa lalu. Tak ada gunanya menyimpan dendam dan dengki. Kita
semua bisa hidup damai berdampingan jika Pandawa dipersilakan pulang dan
setengah Kerajaan Hastina diberikan kepada mereka. Itulah nasihatku.”
Drona
memberikan nasihat yang sama. Ia mengusulkan agar Kaurawa mengirim
utusan untuk menyampaikan pesan tentang penyelesaian masalah itu secara
damai .
Mendengar itu, Karna naik pitam. Sepenuhnya ia
memihak Duryodhana dan tidak sanggup membayangkan bagaimana jadinya jika
kerajaan dibagi menjadi dua. Katanya kepada Dritarastra, “Aku heran
mendengar usul Drona. Pendita itu telah Paduka angkat derajatnya dan
Paduka anugerahi kehormatan dan harta berlimpah. Seharusnya seorang raja
mendengarkan nasihat para menterinya dengan cermat, mempertimbangkannya
baik-baik, sebelum akhirnya memutuskan untuk menerima atau menolaknya.”
Panas
telinga Drona mendengar kata-kata Karna. Dengan lantang ia berkata,
“Dasar manusia celaka! Kamu telah memberikan nasihat yang keliru kepada
rajamu. Ingat, jika Dritarastra tidak mengikuti nasihat Bhisma dan
nasihatku, dalam waktu dekat Kaurawa akan mengalami kehancuran.”
Kemudian
Dritarastra meminta nasihat Widura dan dijawab, “Nasihat Bhisma,
pengayom bangsa kita, dan nasihat Drona, mahaguru kita, sungguh adil dan
bijaksana. Hendaknya jangan kau abaikan Pandawa adalah kemenakanmu
sendiri. Sadarlah. Mereka yang menasihatkan agar kita menghancurkan
Pandawa sesungguhnya ingin agar bangsa kita menemui kehancuran. Krishna
dan bangsa Yadawa, Drupada dan seisi kerajaannya sudah menjadi sekutu
Pandawa. Kita takkan bisa menaklukkan mereka dalam pertempuran. Usul
Karna salah dan gegabah. Di mana-mana orang sudah tahu bahwa kita pernah
mencoba membunuh mereka dengan membakar istana kayu. Pertama-tama kita
harus membersihkan diri kita dan kutukan karena perbuatan jahat yang
kita lakukan .
“Seluruh rakyat Hastina gembira ketika
mendengar bahwa Pandawa masih hidup. Mereka ingin melihat Pandawa
kembali Jangan hiraukan kata-kata Duryodhana. Karna dan Sakuni masih
hijau, belum memahami seluk beluk tata negara. Mereka belum pantas
memberi nasihat. Ikutilah nasihat Bhisma dan Drona.”
Setelah
mempertimbangkan semua nasihat itu, akhirnya Dritarastra memutuskan
untuk menempuh jalan damai dengan memberikan setengah Kerajaan Hastina
kepada anak-anak Pandu. Kemudian ia mengutus Widura ke Panchala untuk
menjemput Dewi Kunti, Pandawa dan Draupadi .
Sampai di
Panchala, Widura mempersembahkan tanda mata berupa emas permata dari
Dritarastra kepada Raja Drupada. Selanjutnya dia mohon diijinkan menemui
Pandawa untuk menyerahkan surat Raja Hastina kepada mereka.
Dijelaskannya bahwa Dritarastra berniat menempuh jalan damai dan
memberikan setengah kerajaannya kepada Pandawa .
Drupada
yang tidak percaya kepada Dritarastra menjawab ringkas, “Aku tidak
berkuasa atas Pandawa. Mereka bebas berbuat semau mereka.”
Widura lalu pergi menghadap Dewi Kunti. Ibu Pandawa itu menyambutnya sambil berkata,
“Wahai
Widura anak Wichitrawirya, engkau telah menyelamatkan anak-anakku. Kau
telah menganggap mereka anak-anakmu. Aku percayakan keselamatan mereka
kepadamu. Aku akan lakukan apa yang engkau nasihatkan, walaupun aku tak
bisa sepenuhnya mempercayai Dritarastra.”
Widura
meyakinkan wanita itu, “Anak-anakmu tidak akan menemui kemusnahan.
Mereka akan mewarisi kerajaan dan akan memperoleh kebesaran dan
kemasyhuran. Marilah kita pergi.”
Akhirnya Raja Drupada memberikan persetujuannya dan Widura kembali ke Hastinapura bersama Dewi Kunti, Pandawa, dan Draupadi .
Sambutan
meriah telah menunggu putra-putra Pandu yang dicintai rakyat.
Jalan-jalan dihiasi kembang warnawarni dan diperciki air suci. Sesuai
rencana, Dritarastra membagi Kerajaan Hastina menjadi dua, setengahnya
diserahkan kepada Pandawa, dan Yudhistira dinobatkan menjadi raja
setengah kerajaan itu .
Dalam upacara penobatan
Yudhistira, Dritarastra menyampaikan amanat, “Pandu, adikku, telah
menjadikan kerajaan ini makmur dan rakyatnya sejahtera. Mudah mudahan
engkau dapat membuktikan diri sebagai putranya yang berguna. Dulu Pandu
selalu mencintaiku dan senang menerima nasihat-nasihatku. Anak-anakku
sendiri berwatak sombong dan licik. Aku putuskan penyelesaian damai ini
agar tak ada lagi perselisihan dan kebencian di antara kalian semua.
Pergilah ke Kandawaprastha dan bangunlah ibukota kerajaanmu di sana.
Dahulu, Pururawa, Nahusha, dan Yayati, nenek moyang kita, memerintah
kerajaan ini dari sana. Kandawaprastha adalah ibukota kerajaan ini di
jaman dulu. Bangunlah kembali. Berilah nama baru. Kuberikan restuku,
semoga engkau menjadi raja yang arif dan kerajaanmu makmur sentosa.”
Setelah
mohon diri, Pandawa pergi ke Kandawaprastha. Di sanalah Pandawa tinggal
bersama Draupadi, istri mereka dan Dewi Kunti, ibu mereka. Mereka
membangun ibukota dan istana dari puing-puing yang masih ada. Nama
ibukota itu diubah menjadi Indraprastha sedang kerajaannya dinamakan Amarta.
Pandawa memerintah kerajaan itu dengan mematuhi ajaran dharma. Kerajaan
Amarta segera terkenal ke seluruh dunia, rakyatnya hidup damai dan
sejahtera .
***
Catatan Tambahan:
Kota tua Delhi didirikan oleh Pandawa yang termasyur sekitar tahun 1400 SM. Kota ini dulunya bernama Indraprastha.
BERSAMBUNG
0 komentar :
Posting Komentar