17. Sayembara Memperebutkan Draupadi
Sementara
Pandawa dan Dewi Kunti masih tinggal diEkacakra dan masih menyamar
sebagai brahmana, mereka mendengar berita tentang sayembara
memperebutkan Draupadi, putri mahkota Kerajaan Panchala .
Menurut
tradisi agung pada jaman itu, seorang raja yang mempunyai putri yang
sudah dewasa wajib menyelenggarakan sayembara untuk mencari calon
mempelai yang pantas bagi putrinya. Demikianlah, Raja Drupada dari
Kerajaan Panchala yang makmur mengumumkan sayembara untuk memperebutkan
Draupadi, putrinya yang terkenal cantik, anggun, dan berbudi halus. Para
putra mahkota dan pangeran dari berbagai kerajaan diundang untuk
mengikuti sayembara itu. Pemenangnya berhak menyunting Dewi Draupadi
sebagai istrinya.
Sebagai ibu yang bijaksana, Dewi Kunti
tahu bahwa anak-anaknya ingin pergi ke Panchala untuk mengikuti
sayembara itu. Agar putra-putranya tidak malu mengutarakan isi hati,
dengan halus ia berkata kepada Dharmaputra, “Sudah lama kita tinggal di
negeri ini. Sudah waktunya kita pergi dan melihat-lihat negeri lain. Ibu
sudah bosan melihat gunung, lembah, sungai dan alam sekitar sini.
Sedekah yang kita peroleh semakin lama semakin sedikit. Jadi, tak ada
gunanya kita tinggal lebih lama di sini. Marilah kita pergi ke Kerajaan
Panchala yang subur dan makmur.”
Maka berangkatlah Pandawa
bersama para brahmana lainnya, meninggalkan Ekacakra menuju Panchala.
Setelah menempuh perjalanan berhari-hari, akhirnya mereka tiba di
ibukota Kerajaan Panchala yang indah. Pandawa menumpang di rumah seorang
tukang kendi dan tetap menyamar sebagai brahmana agar tidak menarik
perhatian .
Tibalah hari sayembara. Rakyat berduyun-duyun
memadati arena sayembara di Panchala untuk menyaksikan para kesatria
yang ingin menyunting Draupadi mengadu nasib dan mempertaruhkan nama
mereka. Di tengah arena, di atas panggung yang kokoh, diletakkan sebuah
busur raksasa yang sangat berat, lengkap dengan anak panahnya.
Barangsiapa
mampu mengangkat busur itu, merentangnya, memasang anak panah, lalu
mengenai sasaran yang telah ditentukan dengan anak panah itu, dialah
yang berhak menyunting Draupadi. Sasaran itu digantungkan di belakang
roda cakra yang terus diputar tanpa henti. Tepat di tengah cakra itu ada
satu lubang sempit yang hanya cukup untuk satu anak panah. Hanya
kesatria yang mampu memusatkan pikiran dan memiliki kecakapan memanah
melebihi kemampuan manusia biasa yang bisa memenangkan sayembara itu .
Di
sisi lain arena didirikan panggung yang lebih luas dan megah untuk
upacara perkawinan agung. Panggung itu dihias sangat indah, dikelilingi
bangunan-bangunan peristirahatan untuk para tamu. Berbagai hiburan dan
pesta meriah sudah disiapkan untuk merayakan pernikahan Draupadi.
Menurut rencana, keramaian itu akan dilangsungkan selama empat belas
hari .
Para pangeran yang tampan dan sakti berdatangan
dari mana-mana. Anak-anak Dritarastra juga hadir, begitu pula Krishna,
Sisupala, Jarasandha, dan Salya. Semua berniat mengikuti sayembara itu.
Gamelan ditabuh bertalu-talu, rakyat berdiri berjejal-jejal sambil
bersorak-sorai .
Tiba-tiba bunyi gamelan menjadi lirih,
dari arah gerbang istana muncul arak-arakan megah. Paling depan tampak
Dristadyumna menunggang kuda gagah, disusul Draupadi yang duduk di
singgasana di punggung gajah yang tak kalah gagahnya. Gajah itu diberi
pakaian dari sutera warna-warni bertatahkan emas dan permata. Dengan
wajah segar setelah dibasuh air kembang dan mengenakan pakaian putri
mahkota dari sutera berjulai-julai, Draupadi tersenyum tersipu-sipu
memandang rakyat yang berjejaljejal di sepanjang jalan dari gerbang
istana ke arena. Dengan sikap halus nan anggun, Draupadi turun dari
punggung gajah lalu naik ke panggung upacara. Dengan kalung bunga di
tangan, sesaat sebelum duduk di atas panggung, Draupadi sempat melempar
pandang ke arah para pangeran peserta sayembara yang membalasnya dengan
pandang takjub terpesona .
Gong ditabuh keras menggelegar,
tanda sayembara akan segera dimulai Para brahmana maju ke depan,
mengucapkan mantra-mantra upacara dan kidung-kidung suci. Suasana terasa
damai. Gamelan ditabuh lirih dan khusyuk .
Setelah
upacara persembahyangan untuk kemakmuran, ketenteraman dan kedamaian
selesai, Dristadyumna menuntun Draupadi ke tengah arena, ke dekat tempat
busur raksasa diletakkan. Kemudian, dengan suara lantang dan jernih
Dristadyumna mengumumkan, “Para putra mahkota yang kami muliakan, yang
hadir di sini dengan segala kebesaran, kami ucapkan selamat datang dan
selamat mengikuti sayembara ini .
“Kami mohon perhatian
Yang Mulia semua. Di sini terletak busur, di sana anak-anak panah, dan
di seberang sana, di ketinggian itu terpasang sasaran yang harus
Tuan-Tuan kenai dengan anak panah. Barangsiapa mampu mengenai sasaran
itu, melewati lubang di pusat cakra itu sebanyak lima kali
berturut-turut, dan berasal dari kelahiran serta keluarga baik-baik,
dialah yang memenangkan sayembara ini. Dia berhak menyunting adikku,
Draupadi.”
Kemudian Dristadyumna menoleh kepada adiknya
lalu menyampaikan nama dan riwayat masingmasing putra mahkota yang
mengikuti sayembara itu .
Setelah Dristadyumna selesai
menyampaikan peraturan sayembara, satu per satu para putra mahkota maju
ke depan. Mereka bergantian mencoba mengangkat busur itu dan memasang
sebatang anak panah. Tetapi busur itu terlalu berat, begitu pula anak
panahnya. Dengan perasaan malu dan menyesal mereka kembali ke tempat
duduk masing-masing. Di antara yang tidak berhasil adalah Sisupala,
Jarasandha, Salya, dan Duryodhana .
Ketika Karna tampil ke
depan, para penonton bersoraksorai. Karna sangat terkenal akan
kepandaiannya memanah. Mereka berharap, kali ini ada yang berhasil
memenangkan sayembara. Sayang, Karna gagal. Anak panahnya meleset
seujung rambut. Kecuali itu, busur mendesing terpelanting begitu anak
panah dilepaskan. Hadirin berteriak-
teriak riuh. Ada yang berseru
bahwa sayembara itu terlalu berat dan tak mungkin ada yang bisa
memenangkannya. Yang lain menuduh, sayembara itu sengaja diadakan untuk
menjatuhkan nama para putra mahkota yang mengikutinya .
Demikianlah, keributan itu berlangsung beberapa lama.
Tiba-tiba
orang-orang dikagetkan oleh seorang brahmana muda yang bangkit berdiri,
menguak kerumunan penonton, lalu maju ke tengah arena. Ketika ia
menghampiri busur itu, sorak-sorai penonton menggemuruh seakan hendak
merobohkan langit. Para brahmana saling berpandangan. Siapakah brahmana
muda yang berani tampil itu? Mereka berdebat. Ada yang berpendapat bahwa
sungguh baik jika golongan mereka ada yang mewakili. Yang lain
berpendapat, seorang brahmana tidak pantas mengikuti sayembara seperti
itu dan bersaing dengan para pangeran. Kesatria sakti seperti Karna dan
Salya saja gagal, apalagi seorang brahmana yang tak menguasai ilmu olah
senjata .
Di antara hiruk-pikuk suara-suara orang
berbantah, ada yang berkata lantang setelah melihat sikap, bentuk badan
dan raut wajah brahmana muda itu, “Tunggu dan perhatikan dia. Melihat
sikapnya yang mantap dan keberaniannya maju ke arena, aku yakin dia tahu
benar apa yang dilakukannya. Siapa tahu, di dalam tubuhnya tersimpan
segunung tenaga. Apalagi, sebagai brahmana dia pasti sangat terlatih
dalam samadi dan memusatkan pikiran. Beri dia kesempatan!”
Orang itu lalu berteriak lantang, menyuruh penonton diam .
Dari tempat busur itu, brahmana itu mendekati Dristadyumna lalu bertanya, “Bolehkah seorang brahmana mengangkat panah itu?”
Dristadyumna menjawab,
“Wahai
brahmana muda, adikku bersedia dipersunting oleh pemenang sayembara
ini. Siapa pun dia, asalkan berasal dari kelahiran dan keluarga
baik-baik. Apa yang sudah terucap tak boleh ditarik lagi. Silakan
mencoba, jika kau mau.”
Brahmana
muda yang sebenarnya adalah Arjuna itu diam sejenak, mengheningkan
cipta, memusatkan perhatian dan memohon restu para dewata, terutama
restu Narayana, Hyang Widhi. Kemudian dia mengangkat busur itu dan
menyiapkan lima anak panah pada talinya. Semua itu dilakukannya dengan
gerakan yang ringan, anggun dan tangkas. Orang-orang terpesona. Mereka
diam, menahan napas. Suasana hening .
Sebelum membidik,
brahmana muda itu memandang sekeliling sambil tersenyum. Kemudian ia
kembali memusatkan perhatian, mengarahkan busur ke sasaran. Lalu ...
secepat kilat dan nyaris tak tertangkap mata, lima anak panah melesat
lepas berurutan, menembus lubang cakra yang terus berputar. Anak panah
pertama tepat mengenai sasaran. Anak panah kedua menembus anak panah
pertama, yang ketiga menembus yang kedua, dan seterusnya sampai lima
anak panah. Cakra itu belah, jatuh ke tanah .
Keheningan
pecah. Sorak-sorai membahana. Gamelan ditabuh bertalu-talu. Sasaran
telah jatuh. Sayembara dinyatakan selesai. Seorang brahmana muda keluar
sebagai pemenangnya .
Para brahmana yang duduk di
sekeliling arena bersorak- sorak gembira sambil melambai-lambaikan
selendang mereka yang terbuat dari kulit menjangan. Mereka merasa, kemenangan brahmana muda itu juga merupakan kemenangan golongan mereka .
Sorak-sorai
semakin meriah ketika Draupadi, yang mengenakan pakaian sutera kemilau
bertatahkan emas permata, bangkit dari tempat duduknya. Wajahnya
bersinar- sinar bahagia. Dengan lembut ia memandang Arjuna, melangkah
anggun mendekatinya, lalu mengalungkan karangan bunga di lehernya.
Yudhistira, Nakula dan Sahadewa meloncat kegirangan lalu lari menemui
ibu mereka. Hanya Bhima yang tinggal, menunggu Arjuna kalau-kalau
terjadi apa-apa. Siapa tahu para pangeran menjadi marah karena merasa
terhina.
Benarlah. Seperti dikhawatirkan Bhima, para
putra raja menjadi marah. Mereka berteriak, “Sayembara apa ini?
Kemungkinan terpilih sebagai pengantin laki-laki tidak berlaku bagi kaum
brahmana. Jika tidak mau disunting seorang putra raja, Draupadi harus
tetap perawan sampai ia melakukan satya, terjun ke dalam api pembakaran
jenazah. Tak pantas brahmana menyunting putri raja. Kami menentang
perkawinan itu. Kami minta sayembara dibatalkan demi mempertahankan
aturan yang benar. Siapa tahu brahmana itu sesungguhnya berniat jahat!”
Rupa-rupanya
keributan tidak bisa dihindarkan. Dengan tangkas Bhima mencabut
sebatang pohon untuk senjata. Lalu ia berdiri di samping Arjuna dengan
sikap siap sedia. Draupadi ketakutan. Ia tak kuasa berkata-kata, hanya
berdiri di samping Arjuna sambil memegangi jubahnya yang terbuat dari
kulit menjangan .
Krishna dan Balarama mencoba menyabarkan
para putra raja yang marah dan membuat keributan. Sementara itu,
diam-diam Arjuna mengundurkan diri keluar arena, diiringkan Draupadi dan
dikawal oleh Bhima. Mereka pulang ke penginapan Pandawa di rumah tukang
kendi .
Tanpa mereka ketahui, Dristadyumna membuntuti
mereka. Ia melihat segala sesuatu yang terjadi di rumah tukang kendi
itu. Setelah mengetahui siapa sebenarnya para brahmana itu, ia merasa
sangat lega dan gembira .
Diam-diam ia kembali ke istana
untuk melapor kepada Raja Drupada. Katanya, “Ayahanda, aku yakin,
brahmana yang memenangkan sayembara itu sebenarnya adalah Arjuna dan
brahmana pengawalnya yang perkasa itu adalah Bhima. Aku melihat sendiri,
Draupadi sama sekali tidak merasa canggung berada bersama mereka. Aku
juga melihat seorang wanita yang berwibawa agung. Wanita itu pasti Dewi
Kunti. Ya, Ayahanda, para brahmana itu sebenarnya adalah Pandawa.”
Mendengar
laporan putranya, Raja Drupada segera mengutus Dristadyumna dan
beberapa punggawa untuk menjemput dan membawa Pandawa ke istana Panchala
.
Atas undangan Raja Drupada, Dewi Kunti dan kelima
putranya datang ke istana. Di hadapan raja itu, Dharmaputra mengaku
bahwa mereka adalah Pandawa. Ia juga menyampaikan keputusan Pandawa
bahwa mereka berlima akan menikah dengan Draupadi. Ketika tahu bahwa
mereka Pandawa, Raja Drupada sangat senang. Tetapi, ketika mendengar
bahwa mereka berlima akan menikahi Draupadi, ia sangat kaget dan kecewa .
Raja
Drupada menentang perkawinan itu. Katanya, “Sungguh perbuatan yang
tidak patut? Sungguh tidak bermoral dan bertentangan dengan tradisi
serta kesusilaan? Bagaimana mungkin pikiran seperti itu bisa merasuki
kalian?”
Yudhistira menjawab, “Daulat, Paduka
Raja, maafkanlah kami. Ketika hidup sengsara dan terlunta-lunta, kami
bersumpah bahwa kami akan membagi segala sesuatu yang kami miliki. Kami
tidak bisa melanggar sumpah itu. Ibu kami sudah memberikan restunya.”
Mendengar penjelasan itu, Raja Drupada akhirnya mengerti dan perkawinan agung pun dilangsungkan .
***
BERSAMBUNG
0 komentar :
Posting Komentar