16. Bakasura Terbunuh
Dengan menyamar sebagai
brahmana, Pandawa tinggal di Ekacakra. Mereka menyambung hidup dengan
meminta-minta di jalan-jalan yang telah ditetapkan untuk para brahmana.
Setelah seharian meminta-minta, mereka pulang sambil membawa makanan
pemberian untuk ibu mereka. Jika mereka terlambat pulang, Dewi Kunti
menjadi cemas, takut kalau-kalau malapetaka menimpa mereka .
Semua makanan yang diperoleh dari hasil memintaminta oleh Dewi Kunti dibagi dua, satu bagian untuk Bhima
dan satu bagian lainnya dibagi berlima di antara keempat Pandawa
lainnya dan sang ibu. Bhima, putra Dewa Bayu atau Dewa Angin, mempunyai
nafsu makan yang sangat besar, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi, gagah
dan perkasa. Itu sebabnya kecuali disebut Bhimasena, ia juga dijuluki Wrikodara,
artinya “perut serigala”. Maksudnya, berapa pun banyaknya makanan yang
dimakannya, perutnya selalu merasa lapar. Karena makanan yang mereka
peroleh tak pernah cukup, badan Bhima menjadi kurus. Melihat itu, ibu
dan saudara-saudaranya menjadi cemas .
Suatu hari Bhima
berkenalan dengan seorang pembuat kendi. Bhima menyukai orang itu dan
suka menolongnya menggali dan mengangkut tanah liat. Sebagai ungkapan
terima kasih, tukang kendi itu memberinya sebuah periuk besar untuk
meminta-minta. Gara-gara periuk itu, Bhima menjadi sasaran ejekan dan
cemoohan orang-orang .
Pada suatu hari, ketika
saudara-saudaranya pergi meminta-minta, Bhimasena tinggal di rumah
bersama ibunya. Tiba-tiba mereka mendengar tangis pilu dari kamar
pemilik rumah. Sesuatu yang menyedihkan telah menimpa keluarga itu,
pikir Dewi Kunti. Ia lalu memberanikan diri menyelinap masuk, ingin
mengetahui apa yang terjadi dan jika perlu memberikan pertolongan. Di
dalam ia melihat brahmana pemilik rumah itu sedang berbicara dengan
istrinya.
Brahmana itu berkata kepada istrinya, “Wahai
perempuan malang dan dungu, sudah berulang kali kukatakan bahwa kita
harus pergi dari kota ini selama-lamanya. Tetapi engkau tidak setuju.
Engkau selalu berkata bahwa engkau lahir dan dibesarkan di sini. Di sini
pula orangtuamu hidup dan mati, dan di sini pula engkau ingin tinggal.
Aku tak sanggup berpisah darimu, wahai istriku, teman hidupku dan ibu
anak-anakku tercinta. Kau segalanya bagiku Aku tak mungkin membiarkan
engkau pergi menjemput maut, sementara aku hidup sendirian di sini .
“Wahai,
istriku, lihatlah anak perempuan kita. Pada waktunya dia akan kita
serahkan kepada lelaki yang pantas menerimanya. Jangan jadikan dia
sebagai korban, karena dia adalah pemberian Hyang Widhi untuk
melanjutkan keturunan kita. Kita juga tak mungkin mengorbankan anak
laki-laki kita. Bagaimana kita bisa hidup setelah mengorbankan anak-anak
kita? Siapa yang kelak akan melakukan upacara kematian bagi kita dan
melanjutkan keturunan kita?
“Engkau tidak mau mendengarkan
kata-kataku, dan inilah buah perbuatanmu yang mengerikan. Kalau aku
serahkan hidupku, anak-anak kita pasti akan segera mau karena tak punya
gantungan hidup. Apa yang bisa kita perbuat? Satu-satunya jalan terbaik
adalah kita mati bersama.”
Demikianlah kata brahmana itu sambil menangis .
Istrinya
menjawab, “Aku telah melakukan kewajibanku sebagai istrimu dan ibu
anak-anakmu Aku tidak bisa melindungi mereka, tetapi engkau bisa. Ibarat
sisa makanan yang dibuang dan disambar burung gagak rakus, demikian
pula nasib seorang janda; dengan mudah dia menjadi mangsa lelaki hidung
belang. Ibarat sepotong tulang yang diperebutkan anjing, demikian pula
nasib seorang janda, dia akan menjadi permainan lelaki-lelaki jahat,
diseret-seret dari satu tangan ke tangan yang lain. Aku tak sanggup
melindungi mereka tanpa ayah mereka. Mereka akan mati kelaparan seperti
ikan di kolam kering. Sebaiknya, kita serahkan saja anak-anak kita
kepada raksasa itu .
“Bagi wanita yang suaminya masih
hidup, mati lebih dulu akan membuahkan keagungan. Begitu tertulis di
dalam kitab-kitab suci. Ucapkan selamat jalan kepadaku. Jagalah
anak-anak kita. Aku bahagia hidup bersamamu dan mengabdikan diriku
kepadamu dengan setia. Aku yakin, aku pasti akan diterima di surga. Bagi
seorang wanita yang telah menjadi istri yang baik, kematian bukan
sesuatu yang mengerikan. Kalau aku mati, carilah istri lagi. Teguhkan
hatiku dengan senyum ikhlasmu. Restui aku dan kirim aku kepada raksasa
itu.”
Mendengar kata-kata itu, sang brahmana memeluk
istrinya dengan penuh kasih. Ia terharu melihat keberanian istrinya. Ia
menangis tersedu-sedu seperti anak kecil dan dengan susah payah berkata,
“Wahai
istriku tercinta dan teragung, aku tak sanggup hidup tanpa engkau.
Tugas pertama seorang laki-laki yang telah beristri adalah melindungi
istrinya. Aku akan dianggap lelaki durhaka yang paling hina kalau
menyerahkan engkau menjadi mangsa raksasa itu.”
Mendengar percakapan orangtuanya, sambil tersedusedu si anak perempuan berkata perlahan,
“Wahai,
Ibu dan Ayah, dengarkan kata-kataku walau aku ini hanya anak kecil.
Lakukanlah apa yang seharusnya dilakukan. Hanya aku yang pantas
diberikan kepada raksasa itu. Dengan mengorbankan satu jiwa, jiwaku,
Ayah dan Ibu bisa menolong yang lain. Jadikan aku perahu untuk membawa
Ayah dan Ibu menyeberangi sungai malapetaka ini. Kalau Ayah dan Ibu
meninggal, kami berdua akan cepat mati karena hidup sebatang kara di
dunia. Jika karena pengorbanan jiwaku keluargaku dapat diselamatkan, aku
pasti bahagia. Ayah dan Ibu, sekarang juga, berikan aku kepada raksasa
itu.”
Mendengar kata-kata itu, brahmana dan istrinya
memeluk putri mereka sambil menangis. Anak laki-lakinya yang masih bocah
berkata kepada orangtuanya dengan lidah petah, “Ayah jangan nangis. Ibu
jangan nangis. Kakak jangan nangis.”
Sambil berkata demikian ia
bangkit lalu mengambil sepotong kayu api kecil. Kayu itu
diacungacungkannya sambil berteriak-teriak dengan suara bocahnya, “Akan
kubunuh raksasa itu dengan tongkat ini.”
Kata-kata dan tingkah lakunya membuat ayah, ibu dan kakaknya tersenyum sedih. Mata mereka berkaca-kaca .
Dewi
Kunti, yang diam-diam menyimak percakapan itu, berpendapat bahwa
kinilah saat yang tepat untuk menyela pembicaraan mereka. Ia mengetuk
pintu, lalu masuk dan bertanya mengapa mereka bersedih dan apakah dia
boleh melakukan sesuatu untuk menolong mereka .
Brahmana itu berkata,
“Wahai,
Ibu, kami tertimpa malapetaka besar. Tak mungkin Ibu dapat membantu
kami. Di luar kota ini ada sebuah gua. Di gua itu tinggal raksasa buas
bernama Bakasura. Sudah tiga belas tahun ia menguasai kota dan kerajaan
ini dan memperlakukan penduduk dengan kejam. Raja kami melarikan diri ke
Wetrakiya, karena tak dapat membela dan melindungi kami .
“Setiap
kali merasa lapar, raksasa itu keluar dari gua lalu memangsa orang, tak
peduli laki-laki atau perempuan, orang dewasa atau anak-anak. Penduduk
Ekacakra lalu mengajukan usul kepada raksasa itu, untuk menghindari
pembunuhan yang kejam.Kata mereka, ‘Janganlah engkau membunuh kami
dengan sewenang-wenang. Seminggu sekali kami akan serahkan makanan dan
minuman cukup untukmu. Makanan dan minuman itu akan kami kirim dalam
sebuah kereta yang ditarik dua ekor kerbau dan seorang manusia. Engkau
boleh menyantap makanan, kerbau, dan orang itu, tapi kau tak boleh lagi
membunuh dengan sewenang-wenang.’
“Raksasa itu setuju. Sejak itu,
si raksasa menguasai kota ini. Ia mengenyahkan semua musuh dari luar
dan membunuh binatang-binatang liar yang mengancam penduduk .
“Tidak
seorang pun dapat membebaskan kota dan kerajaan kami dari malapetaka
besar ini. Dengan mudah raksasa itu bisa membunuh siapa saja yang
mencoba melawannya .
“Wahai, Ibu, raja kami saja tak
sanggup melindungi kami. Rakyat yang rajanya lemah lebih baik tidak
kawin dan tidak punya anak. Kehidupan yang baik dengan kebudayaan yang
luhur hanya mungkin terjadi dalam kerajaan yang diperintah oleh raja
yang perkasa dan berwatak kuat. Istri, kekayaan, dan harta benda apa pun
tidak akan aman jika tak ada pemerintah kuat yang melindunginya.
Sekarang tiba giliran kami untuk mengirimkan salah seorang dari kami
untuk dijadikan mangsa raksasa itu .
“Kami tidak mampu
membeli atau membayar pengganti diri kami. Jika salah satu dari kami
mati secara mengenaskan, kami tak bisa hidup dengan hati didera rasa
bersalah. Karena itu, kami putuskan untuk menyerahkan seluruh keluarga
kami, serentak. Biarlah raksasa itu kenyang dan puas atas pengorbanan
kami .
“Maaf, Ibu, kami telah membuat orang lain sedih
dengan cerita ini. Tetapi, karena Ibu ingin tahu, maka kami ceritakan
pada Ibu apa adanya. Hanya Hyang Widhi yang dapat menolong kami. Tetapi
untuk itu pun kami sudah tak punya harapan.”
Dewi Kunti
lalu memanggil Bhimasena. Ia menceritakan apa yang telah didengarnya.
Setelah berunding dengan Bhima, Dewi Kunti menemui brahmana itu lagi.
Katanya,
“Wahai Brahmana budiman, janganlah putus asa. Dewata Maha
Agung dan Maha Besar. Aku punya lima anak laki-laki. Salah satu anakku
akan membawakan makanan untuk raksasa itu.”
Brahmana itu
terkejut dan terlompat kegirangan, tetapi segera duduk lagi sambil
menahan diri. Ia menggelenggelengkan kepala dan berkata bahwa hal itu
tidak boleh terjadi. Tidak seharusnya seorang asing mengorbankan diri
dan menggantikannya menjadi mangsa raksasa itu .
Dewi Kunti melanjutkan,
“Wahai,
Brahmana, janganlah engkau khawatir. Anakku ini manusia sakti. Ia
memiliki kekuatan melebihi manusia yang diperolehnya dengan mengucapkan
mantra-mantra. Yakinlah, dia pasti bisa membunuh raksasa itu. Tetapi
engkau harus merahasiakan hal ini. Ingat, jika kau membocorkan rahasia
ini, kekuatan anakku tidak akan muncul.”
Sesungguhnya Dewi
Kunti takut kalau-kalau hal itu sampai terdengar dan tersebar sampai
keluar wilayah kerajaan itu. Siapa tahu, berita itu tersebar sampai ke
telinga kaki tangan Duryodhana, yang lalu menghubungkan berita tentang
lima brahmana asing dan seorang wanita tua yang datang ke Ekacakra
dengan Pandawa .
Bhima senang dan tak sabar ingin segera
melaksanakan perintah ibunya. Ketika saudara-saudaranya pulang dari
meminta-minta, mereka heran melihat wajah Bhima berseri-seri. Tidak
seperti biasa. Yudhistira menemui ibunya, menanyakan apa yang membuat
Bhima tampak gembira dan bersemangat.
Yudhistira yang dijuluki Dharmaputra alias putra Batara Dharma
berkata, “Bagaimana ini? Janganlah gegabah dan tergesa-gesa. Apakah
kekuatan Bhima benar-benar dapat diandalkan? Apakah kita akan membiarkan
dia bertarung melawan raksasa itu, sementara kita tidur-tiduran dan
melupakan bahaya dan kesusahan? Bukankah kita berharap dapat merebut
kembali Kerajaan Hastina dengan kekuatan dan keberanian Bhima? Bukankah
karena kekuatan Bhima kita dapat lolos dari istana yang terbakar itu?
Mengapa sekarang Ibu merelakan nyawanya demi keselamatan orang lain?
Jika Bhima mati, siapa yang akan melindungi kita? Aku khawatir,
jangan-jangan rasa iba membuat Ibu tak bisa berpikir jernih.”
Dewi
Kunti menjawab, “Cukup lama kita hidup aman di rumah brahmana ini.
Kewajiban kita membalas kebajikannya dengan perbuatan baik. Ibu tahu
benar keperkasaan Bhima dan Ibu sama sekali tidak cemas. Ingatlah, dalam
perjalanan dari Waranawata di tengah hutan, sambil menggendong dan
menggandeng kita, adikmu mampu membunuh raksasa Hidimbi. Jangan engkau
cemas, anakku. Kita wajib berbuat kebajikan bagi keluarga brahmana ini.
Adikmu pasti mampu membunuh raksasa itu.”
Penduduk
mengumpulkan makanan dan minuman yang kemudian dimuat ke dalam kereta
yang ditarik dua ekor kerbau. Setelah semuanya siap, Bhima mengendarai
kereta itu ke gua sang raksasa. Penduduk mengiringkannya sampai batas
kota .
Sampai di mulut gua, Bhima menghentikan keretanya.
Dia melihat sekelilingnya. Di depan mulut gua berserakan tulang
belulang, tengkorak manusia, dan sisa-sisa makanan yang sudah membusuk.
Bermacam-macam serangga mengerumuni sisa-sisa makanan, sementara
burung-burung bangkai memperebutkan sisa-sisa mayat yang sudah busuk .
Cepat-cepat
Bhima membuka bungkusan makanan yang diperuntukkan bagi raksasa itu
sambil menggerutu, “Aku habiskan saja makanan ini. Jangan sampai
berceceran tak berguna. Kalau aku kalah dan mati, aku sudah kenyang
makan. Kalau dia kalah dan mati, makanan ini pasti kotor kena darahnya
dan tak bisa dimakan lagi.”
Mengendus bau makanan di luar
gua, raksasa itu keluar. Melihat Bhima sedang menghabiskan makanan, dia
sangat berang lalu mengamuk. Bhima pura-pura tidak melihatnya. Dia terus
makan dengan lahap .
Dengan tubuh amat besar,
kumis-jenggot-rambut merah awut-awutan, mulut lebar menganga
mengeluarkan bau busuk, dan taring tajam menonjol keluar, raksasa itu
mendekati Bhima yang sedang makan sambil membela kangi gua. Bhima
menoleh, tersenyum, lalu meneruskan makan. Berkali-kali raksasa itu
meninju punggung Bhima, tetapi putra Pandu itu terus makan tanpa
menghiraukannya. Kemudian raksasa itu mencabuti pohon-pohon besar dan
melemparkan ke arah Bhima, tetapi semua dapat ditangkis Bhima dengan
mudah .
Setelah makanan itu habis, Bhima bangkit dan
menyeka mulutnya. Dengan perut kenyang, ia siap bertarung melawan
raksasa itu. Maka terjadilah pertarungan sengit antara dua makhluk
perkasa. Bhima seperti bermain-main menghadapi raksasa itu. Ia meninju,
membanting dan melemparkan raksasa itu jauh-jauh, kemudian menyeretnya
mendekat. Berkali-kali begitu, sampai raksasa itu babak belur dan tak
mampu bangkit lagi. Akhirnya, Bhima mengerahkan kesaktiannya lalu
membanting raksasa itu keras-keras ke tanah. Tubuh raksasa itu hancur,
tulangnya remuk .
Raksasa itu meraung kesakitan,
memuntahkan darah, lalu mati. Bhima menyeret mayatnya sampai ke pintu
gerbang kota. Ia kembali ke rumah brahmana tempatnya menumpang,
membersihkan diri, kemudian memberi tahu ibunya .
***
BERSAMBUNG
CATATAN TAMBAHAN:
VERSI INDIA
Hidimbi
bertemu dengan Bima saat ia berkelana dalam hutan bersama Pandawa
bersaudara dan ibu Kunti. Kakak Hidimbi yang bernama Hidimba,
menyuruhnya untuk membawa daging manusia, namun ketika menjumpai Bima
yang sedang duduk di tengah hutan, ia jatuh cinta dan tidak tega
membunuhnya.
Ia berubah menjadi wanita cantik, tinggi,
berkulit gelap, dan menghampiri Bima. Ketika Hidimba datang untuk
membunuh Bima, ia mencoba untuk menyerang Hidimbi namun Hidimbi
dilindungi oleh Bima, yang kemudian membunuh Hidimba.
Kemudian
Bima melamar Hidimbi. Hidimbi tinggal di hutan bersama para Pandawa dan
kemudian memberi Bima seorang putera bernama Gatotkaca. Saat Pandawa
meninggalkan hutan, Bima harus meninggalkannya sebab mereka dalam
persiapan perang. Bertahun-tahun kemudian mereka bertemu kembali.
Dengan kemiripan nama, Hidimba dan Hidimbi dianggap merupakan saudara kembar.
Hidimbi dalam pewayangan Jawa
Dalam Mahabharata,
Dewi Arimbi atau Hidimbi adalah putri kedua Prabu Arimbaka,
raja rakshasa negara Pringgandani, dengan Dewi Hadimba. Ia mempunyai
tujuh orang saudara kandung, bernama Arimba alias Hidimba, Arya
Prabakesa, Brajadenta, Brajamusti, Brajalamatan, Brajawikalpa dan
Kalabendana.
Dewi Arimbi menikah
dengan Bima alias Werkudara, salah seorang dari lima ksatria Pandawa,
putra Prabu Pandu, raja negara Astina dari permaisuriDewi Kunti. Dari
perkawinan itu ia mempunyai seorang putera yang diberi nama Gatotkaca.
Dewi
Arimbi menjadi ratu negara Pringgandani, menggantikan kedudukan
kakaknya, Prabu Arimba, yang tewas dalam peperangan melawan Bima. Namun
karena Dewi Arimbi lebih sering tinggal di Kesatrian Jodipati mengikuti
suaminya, kekuasaan negara Pringgandani diwakilkan kepada adiknya,
Brajadenta sampai Gatotkaca dewasa dan diangkat menjadi raja negara
Pringgandani bergelar Prabu Kacanegara.
Dewi
Arimbi mempunyai kesaktian, antara lain dapat beralih rupa dari wujudnya
berupa rakshasa menjadi putri cantik jelita. Kesaktian ini ia dapatkan
dari sabda Dewi Kunti karena Werkodara menolak mengawini Dewi Arimbi
yang saat itu masih berujud rashaksi (rakshasa perempuan) yang
menyeramkan. Ia mempunyai sifat jujur, setia, berbakti dan sangat sayang
terhadap puteranya. Akhir dari kehidupannya diceritakan, dia gugur di
medan Perang Bharatayuddha membela putranya, Gatotkaca, yang sebelumnya
gugur terkena Panah Kunta Wijayandanu atau Konta milik AdipatiKarna,
raja negara Awangga.
0 komentar :
Posting Komentar