2. Kutukan Mahaguru Sukra
Pada suatu sore
setelah puas bermain di taman istana, Dewayani dan putri-putri
Wrishaparwa, raja para raksasa, pergi mandi ke telaga di tepi hutan yang
jernih dan sejuk airnya. Sebelum menceburkan diri ke dalam air yang
segar, mereka menanggalkan pakaian dan menyimpan pakaian itu di tepi
telaga. Tiba-tiba angin puting beliung berembus kencang, menerbangkan
pakaian mereka dan membuatnya menjadi satu tumpukan. Setelah mandi dan
berpakaian, ternyata terjadi kekeliruan. Tanpa sengaja Sarmishta, putri
Wrishaparwa, mengenakan pakaian Dewayani. Melihat itu Dewayani berkata,
“Alangkah tidak pantasnya putri seorang murid mengenakan pakaian milik
putri gurunya.”
Walaupun kata-kata itu diucapkan dengan
lembut, Sarmishta merasa disindir dan tersinggung. Ia marah dan dengan
angkuh berkata, “Tidakkah engkau sadar bahwa ayahmu setiap hari dengan
hinanya berlutut menyembah ayahku? Bukankah ayahmu menggantungkan
hidupnya pada belas kasihan ayahku? Lupakah kau bahwa aku ini anak raja
yang dengan murah hati memberikan tumpangan hidup bagimu dan bagi
ayahmu? Hai, Dewayani, sesungguhnya kau hanya keturunan peminta-minta!
Lancang benar kata-katamu kepadaku.”
Memang benar apa yang
dikatakan Sarmishta. Sebagai resi atau pandeta, Mahaguru Sukra berkasta
brahmana. Sesuai adat, ia hidup dari belas kasihan orang lain. Jika memerlukan
sarana hidup, seorang brahmana hanya boleh meminta-minta. Meskipun
demikian, sesungguhnya bagi kasta brahmana hal itu dianggap perbuatan
yang mulia .
Dewayani tidak menanggapi kata-kata
Sarmishta. Sebaliknya, Sarmishta yang terbakar oleh kata-katanya
sendiri, menjadi semakin marah. Tak dapat mengendalikan diri, tangannya
terayun, menampar pipi Dewayani. Ia bahkan mendorong putri resi itu
sampai jatuh ke parit yang dalam. Sarmishta, yang mengira Dewayani sudah
mati, segera kembali ke istana .
Sementara itu, Dewayani
merasa cemas dan sedih karena tidak bisa keluar dari parit yang dalam
itu. Kebetulan, Maharaja Yayati, seorang keturunan Bharata, sedang
berburu di tepi hutan dan melewati tempat itu. Karena haus, ia mencari
air. Dilihatnya ada parit berair jernih di dekat situ. Dia turun dari
kudanya, mendekati parit itu, lalu membungkuk hendak mengambil airnya.
Ketika itulah ia melihat sesuatu yang bercahaya di dasar parit. Yayati
memperhatikan dengan lebih saksama dan terkejut melihat seorang putri
jelita terpuruk di dalam parit .
Lalu ia bertanya,
“Siapakah engkau ini, hai putri jelita dengan anting-anting berkilau dan
kuku bercat merah indah? Siapakah ayahmu? Keturunan siapakah engkau?
Bagaimana engkau bisa jatuh ke dalam parit ini?”
Dewayani menjawab
sambil mengulurkan tangan kanannya, “Namaku Dewayani. Aku putri Resi
Sukra. Tolonglah aku keluar dari dalam parit ini.”
Yayati menyambut tangan yang halus itu lalu menolong Dewayani keluar .
Dewayani
tidak ingin kembali ke ibukota kerajaan raksasa. Ia merasa tinggal di
sana sudah tidak aman lagi, lebih-lebih jika ia ingat perbuatan
Sarmishta. Karena itu, ia berkata kepada Yayati, “Kau telah memegang
tangan kanan seorang putri, berarti engkau harus menikahinya. Aku yakin,
dalam segala hal kau pantas menjadi suamiku.”
Yayati menjawab,
“Wahai putri jelita, aku seorang kesatria
dan engkau seorang brahmana.* Bagaimana aku bisa mengawini engkau? Apa
mungkin putri Resi Sukra yang disegani di seluruh dunia menjadi istri
seorang kesatria seperti aku? Putri yang agung, kembalilah pulang.”
Setelah berkata demikian, Yayati kembali ke ibukota kerajaannya .
Sepeninggal Yayati, Dewayani tetap bertekad untuk tidak pulang ke istana. Ia memilih tinggal di hutan, di bawah sebatang pohon .
Sementara
itu, Resi Sukra sia-sia menunggu putrinya pulang. Beberapa hari
berlalu, tetapi Dewayani tak kunjung pulang. Akhirnya Resi Sukra
menyuruh seseorang mencari putri kesayangannya .
Utusan
itu mencari ke mana-mana. Setelah menempuh perjalanan cukup jauh,
akhirnya dia menemukan Dewayani yang duduk di bawah sebatang pohon di
tepi hutan. Putri itu tampak sangat sedih. Matanya merah karena lama
menangis. Wajahnya keruh karena marah. Utusan itu lalu bertanya, apa
yang telah terjadi .
Dewayani menjawab, “Kembalilah engkau
dan sampaikan kepada ayahku bahwa aku tak sudi lagi menginjakkan kakiku
di ibukota kerajaan Wrishaparwa.”
Setelah mohon pamit, utusan itu kembali ke istana untuk melaporkan hal itu kepada Resi Sukra .
Mendengar
laporan utusannya, Resi Sukra sangat sedih. Ia segera menemui anaknya
dan menghiburnya sambil berkata, “Anakku sayang, kebahagiaan dan
kesengsaraan seseorang merupakan akibat dari perbuatannya sendiri. Kalau
kita bijaksana, kebajikan atau kejahatan orang lain tidak akan
mempengaruhi kita.”
Demikianlah Resi Sukra mencoba menghibur anaknya .
- * Menurut tradisi kuno yang disebut anuloma, perempuan dari kasta kesatria boleh menikah dengan laki-laki dari kasta brahmana. Tetapi, perempuan dari kasta brahmana tidak dibenarkan menikah dengan lakilaki dari kasta kesatria. Tradisi kuno yang disebut pratilonia ini untuk menjaga agar kaum wanita tidak direndahkan derajatnya ke status kasta yang lebih rendah. Hal ini dinyatakan dalam kitab-kitab suci Sastra .
Tetapi
Dewayani menjawab dengan sedih bercampur dengki, “Ayahku, biarkanlah
segala kebaikan dan keburukanku bersama diriku karena semua itu urusanku
sendiri. Tetapi jawablah pertanyaanku ini. Kata Sarmishta, anak
Wrishaparwa, ayahku seorang ‘budak penyanyi’ yang kerjanya hanya
menyanjung-nyanjung tuannya. Benarkah? Katanya, aku ini anak seorang
peminta-minta yang hidup dari belas kasihan orang. Benarkah? Sarmishta
sungguh kasar. Tidak puas mengata-ngatai aku, ia menampar dan
mendorongku ke dalam parit. Aku bersumpah, aku takkan sudi hidup di
wilayah kekuasaan ayahnya.”
Dewayani menangis tersedu-sedu .
Dengan tenang dan penuh martabat, Mahaguru Sukra berkata,
“Wahai
anakku Dewayani, engkau bukan anak ‘budak penyanyi’ raja. Ayahmu tidak
hidup dengan meminta-minta, mengemis belas kasihan orang. Engkau putri
seorang resi yang dihormati dan hidup dimanja di seluruh dunia. Batara
Indra, raja semua dewa, tahu akan hal ini. Wrishaparwa tidak membutakan
mata terhadap hutang budinya kepada ayahmu. Tetapi, orang yang bijaksana
tidak pernah mengagung-agungkan kebesarannya sendiri .
“Sudahlah,
Ayah tidak akan mengatakan apa-apa lagi tentang jasa-jasa Ayah.
Bangkitlah, wahai mutiara nan kemilau. Kaulah yang paling jelita di
antara semua wanita. Engkau akan membawa kebahagiaan bagi keluargamu.
Bersabarlah dan marilah kita pulang.”
Tetapi Dewayani tetap berkeras tidak mau pulang .
Resi
Sukra menasihatinya lagi, “Sungguh mulia orang yang dengan sabar
menerima caci maki. Orang yang dapat menahan amarah ibarat kusir yang
mampu menaklukkan dan mengendalikan kuda liar. Orang yang dapat membuang
amarah jauh-jauh seperti ular yang mengelupas kulitnya. Orang yang
tidak gentar menerima siksaan akan berhasil mencapai cita-citanya.
Seperti disebutkan dalam kitab-kitab suci, orang yang tidak pernah marah
lebih mulia daripada orang yang taat melakukan upacara sembahyang
selama seratus tahun. Pelayan, teman, saudara, istri, anak-anak,
kebajikan dan kebenaran akan meninggalkan orang yang tak mampu
mengendalikan amarahnya. Orang yang bijaksana tidak akan memasukkan
kata-kata anak muda ke dalam hatinya.”
Mendengar itu,
Dewayani bersujud menyembah ayahnya, “Ayahanda, aku masih muda.
Nasihat-nasihat Ayahanda masih sulit kupahami. Tetapi, sungguh tidak
pantas bagiku untuk hidup bersama orang yang tidak mengenal sopan
santun. Orang yang bijaksana tidak akan bersahabat dengan orang yang
selalu menjelek-jelekkan keluarganya. Orang jahat, walaupun kaya raya,
sesungguhnya adalah hina dan tidak berkasta. Orang yang taat beribadah
tidak pantas bergaul dengan mereka. Hatiku sangat marah karena
keangkuhan anak Wrishaparwa. Segores luka lambat laun akan sembuh,
tetapi luka hati karena kata-kata tajam akan meninggalkan goresan pedih
yang seumur hidup takkan hilang.”
Setelah gagal membujuk
putrinya untuk pulang, Resi Sukra kembali ke istana Wrishaparwa. Sampai
di hadapan Raja, dengan mata tajam ia memandangnya sambil berkata,
“Walaupun
dosa seseorang tidak akan segera mendapat balasan, lambat laun dosa itu
pasti akan menghancurkan sumber kekayaannya. Kacha, anak Wrihaspati dan
seorang brahmacharin, telah menaklukkan pancaindranya dan tidak pernah
berbuat dosa. Ia telah melayani aku dengan penuh kepatuhan dan tidak
pernah melanggar sumpahnya. Para raksasa rakyatmu beberapa kali berusaha
membunuh dia, tetapi aku menghidupkannya lagi. Kini, anakku yang
memegang teguh susila dicaci-maki oleh anakmu, Sarmishta. Ia bahkan
mendorong anakku sampai jatuh ke parit yang dalam. Ia tidak tahan lagi
tinggal dalam lingkungan kerajaanmu. Dan karena aku tidak bisa hidup
tanpa dia, aku akan pergi meninggalkan kerajaanmu.”
Mendengar
itu, Wrishaparwa merasa terancam malapetaka. Ia berkata, “Aku tidak
mengerti mengapa engkau melontarkan tuduhan itu. Tetapi, kalau engkau
pergi aku akan terjun ke dalam api.”
Resi
Sukra menjawab, “Yang kuinginkan hanyalah kebahagiaan anakku. Aku tidak
peduli nasibmu dan nasib para raksasa rakyatmu. Dewayani anakku
satu-satunya, anak yang kukasihi melebihi hidupku sendiri. Engkau
kuijinkan mencoba menenangkan dia dan membujuknya agar mau tetap tinggal
di sini. Jika dia mau, aku tidak akan pergi.”
Maka
pergilah Wrishaparwa diiringkan beberapa pengawal. Mereka hendak menemui
Dewayani di tepi hutan. Sesampainya di depan gadis itu, Wrishaparwa
menyembah dan memohon agar Dewayani tidak meninggalkan kerajaannya .
Tetapi
Dewayani berkata acuh tak acuh, “Sarmishta, yang mengata-ngatai aku
anak pengemis harus menjadi dayang-dayang di rumahku dan harus menjadi
pengiringku waktu aku dinikahkan oleh ayahku.”
Wrishaparwa
menerima tuntutan itu dan memerintahkan pengiringnya menjemput
Sarmishta. Putri raja itu mengakui kesalahannya, lalu menyembah sambil
berkata, “Baiklah aku akan menjadi dayang-dayang Dewayani seperti yang
dikehendakinya. Tidak seharusnya ayahku kehilangan mahagurunya dan
menerima balasan atas kesalahanku.”
Dewayani menerima permintaan maaf Sarmishta. Mereka berdamai dan semua kembali ke istana Wrishaparwa .
Pada
suatu hari Dewayani bertemu dengan Yayati. Ia mengulangi permintaannya
dan berkata bahwa Yayati harus mengawini dia karena pernah memegang
tangan kanannya erat-erat. Yayati menolak. Katanya, sebagai kesatria ia
tidak dibenarkan mengawini seorang wanita berkasta brahmana. Memang
kitab-kitab suci Sastra tidak membenarkan hal itu, tetapi sekali
perkawinan seperti itu terjadi, tak ada yang boleh membatalkannya dan
perkawinan itu sah .
Akhirnya, setelah mendapat restu dari Resi Sukra, Yayati bersedia menikahi Dewayani. Mereka hidup berbahagia
bertahun-tahun lamanya. Sarmishta menepati janjinya. Ia setia melayani
Dewayani sebagai dayang-dayangnya, sampai pada suatu malam diam-diam ia
menemui Yayati dan meminta pria itu mengawininya. Yayati tak kuasa
menolaknya. Diam-diam Sarmishta dijadikan istrinya .
Ketika
mengetahui hal itu, Dewayani marah sekali. Ia mengadu kepada ayahnya.
Resi Sukra berang, lalu mengutuk Yayati menjadi orang tua ubanan sebelum
waktunya dan pria itu akan kehilangan masa mudanya .
Mengetahui
dirinya dikutuk mertuanya yang sangat sakti, Yayati takut sekali. Ia
pergi menghadap Resi Sukra, menyembah dan memohon ampun. Tetapi,
Mahaguru Sukra belum lupa akan penghinaan yang pernah diterima anaknya .
Resi Sukra berkata,
“Wahai, Tuanku Raja, engkau akan kehilangan masa mudamu dan kemegahanmu. Kutukpastu yang
telah kulontarkan tak dapat dibatalkan. Tetapi, engkau bisa minta
tolong seseorang yang bersedia menukar ketuaanmu dengan kemudaannya. Hal
ini bisa terjadi.”
Demikianlah, sejak menerima kutukan mertuanya, Yayati berubah menjadi lelaki tua renta yang kehilangan keperkasaannya .
***
BERSAMBUNG
0 komentar :
Posting Komentar