23. Dritarastra Selalu Cemas
M elihat Pandawa
berangkat meninggalkan kerajaan menuju hutan tempat mereka dibuang,
rakyat merasa sedih. Mereka keluar rumah berjajar di pinggir jalan, naik
ke pohon-pohon dan atap rumah-rumah, hendak mengucapkan selamat jalan
kepada Pandawa. Para pedagang dan putra-putra bangsawan yang sedang
melintas dengan menunggang gajah atau kuda segera berhenti dan menepi,
memberi jalan kepada Pandawa. Mereka memberi salam hormat dan simpati.
Pandawa yang biasanya keluar istana menunggang kuda gagah atau naik
kereta megah, kini berjalan dengan kaki telanjang dan pakaian kumal
menuju hutan belantara .
Raja Dritarastra memanggil Widura dan memintanya menceritakan suasana keberangkatan Pandawa ke tempat pengasingan mereka .
Berkatalah Widura,
“Yudhistira berjalan dengan wajah ditutupi sehelai kain. Bhima berjalan
di sebelahnya dengan wajah tertunduk. Arjuna berjalan paling depan
sambil menaburkan pasir sepanjang jalan. Nakula dan Sahadewa berjalan di
belakang Yudhistira. Badan mereka penuh debu. Draupadi berjalan di
samping Dharmaputra. Rambutnya yang indah panjang terurai menutupi
wajahnya yang basah karena air mata. Resi Dhaumya mengiringkan mereka
sambil mengidungkan madah suci Sama yang ditujukan kepada Batara Yama,
Dewa Kematian.”
Mendengar cerita Widura, Dritarastra semakin sedih dan cemas. Ia bertanya lagi, “Bagaimana reaksi rakyat?”
Widura
menjawab, “Tuanku Raja, aku akan ulangi kata-kata yang mereka ucapkan.
Mereka berasal dari semua lapisan dan golongan masyarakat:
‘Pemimpin kita telah meninggalkan kita. Celakalah bangsa Kuru yang
membiarkan ini terjadi! Anak-anak Dritarastra, terkutuklah kalian karena
telah mengusir putra-putra Pandu ke hutan.’
“Sementara
rakyat menuduh dan menyalahkan kita, dunia menjadi gelap, langit
diliputi mendung tebal, guruh menggelegar, halilintar menyambar-nyambar,
dan bumi bergoncang. Semua itu pertanda buruk yang mengusik ketenangan
hati rakyat.”
Bhagawan Narada
Ketika Dritarastra dan Widura sedang bercakap-cakap, tiba-tiba Bhagawan Narada
muncul di hadapan mereka dan bersabda, “Empat belas tahun yang akan
datang, terhitung dari hari ini, Kaurawa akan punah, terkikis habis dari
dunia akibat perbuatan jahat Duryodhana.”
Setelah bersabda begitu, Bhagawan Narada lenyap dari pandangan .
Duryodhana
dan saudara-saudaranya menjadi cemas. Mereka buru-buru menemui Drona,
memohon padanya agar jangan meninggalkan mereka apa pun yang akan
terjadi .
Dengan sedih Drona menjawab, “Aku percaya pada
mereka yang bijaksana, yang mengatakan bahwa Pandawa berasal dari
keturunan suci dan tidak mungkin dikalahkan. Tetapi, kewajibanku adalah
bertempur di pihak putraputra Dritarastra yang telah mengangkatku
sebagai mahaguru mereka. Jiwa dan ragaku kupersembahkan bagi tanah ini
karena hasil buminya telah menghidupiku selama ini. Aku akan berjuang
untuk kalian, tapi ajalku ada di tangan Yang Kuasa. Kelak, Pandawa pasti
akan kembali dari pembuangan dengan amarah dan dendam yang tak
terlukiskan .
“Aku tahu apa artinya perasaan itu, sebab
aku telah menggulingkan dan menghina Raja Drupada karena kemarahan dan
dendamku kepadanya. Dengan dendam memba ra yang tak dapat diredakan
lagi, Drupada melakukan upacara korban agar dianugerahi anak laki-laki
yang kelak akan membunuhku. Kabarnya anak itu diberi nama Dristadyumna.
Seperti telah ditakdirkan, ia menjadi ipar Pandawa dan sekutu
terpercaya mereka. Segala sesuatu bergerak sesuai garis takdir.
Demikianlah, semua perbuatanmu menuju ke arah itu dan hari-harimu dapat
dihitung. Sebab itu, jangan buang-buang waktu untuk berbuat kebajikan karena engkau mampu melakukannya. Lakukan
upacara-upacara korban besar. Bersenang-senanglah kalian dengan segala
macam kesenangan yang tak tercela dan tak terkutuk. Berikan sedekah
kepada mereka yang membutuhkan. Segala kutuk dan laknat akan mengepung
kalian di tahun keempat belas .
“Wahai Duryodhana, berdamailah
engkau dengan Yudhistira. Ingat baik-baik nasihatku ini. Tapi, sudah
tentu engkau dapat melakukan apa pun yang kauinginkan.”
Duryodhana sangat kecewa mendengar kata-kata Drona .
Sementara
itu, Sanjaya, sais kereta pribadi Raja Dritarastra bertanya kepada
tuannya, “Tuanku Raja, kenapa Tuanku kelihataan bersusah hati?”
Dritarastra menjawab, “Bagaimana aku tidak sedih mengetahui Pandawa dihina dan dilukai hatinya?”
Sanjaya bertanya, “Apa yang Tuanku katakan itu benar.
Orang yang menyimpang dari jalan kebenaran berarti lupa daratan, tidak
tahu mana yang buruk dan mana yang baik. Waktu memusnahkan segalanya,
tanpa menggunakan gada atau menghantam kepala orang sampai pecah.
Tetapi, dengan menghancurkan pertimbangan baiknya, orang menjadi gila
dan mengundang kehancurannya sendiri. Secara keterlaluan putra-putra
Tuanku telah menghina Panchali, putri dari Kerajaaan Panchala, alias
Draupadi. Mereka telah menyediakan jalan mereka sendiri menuju
kemusnahan.”
Dritarastra berkata, “Aku tidak
mengikuti jalan menuju kebajikan dharma dan pemerintahan yang baik,
tetapi membiarkan diriku dibawa ke jalan salah oleh anakku yang gila
harta dan kuasa. Seperti katamu, kita telah mempercayakan diri kita
diseret waktu menuju jurang keruntuhan.”
Biasanya Widura
memberi nasihat kepada Dritarastra secara jujur. Ia sering berkata bahwa
Duryodhana telah melakukan kesalahan-kesalahan besar dan baru-baru ini
telah menipu Dharmaputra. Widura juga berkata bahwa adalah kewajiban
Drona untuk membawa Kaurawa ke jalan benar dan menjauhkan mereka dari
jalan kejahatan. Selanjutnya ia menyarankan agar Yudhistira dan
saudarasaudaranya dipanggil dari hutan pengasingan untuk berdamai dengan
dia. Tegasnya, harus ada yang menghentikan Duryodhana untuk berbuat
yang bukan-bukan dan, bila perlu, sekali-sekali dengan kekerasan .
Pada
mulanya Dritarastra diam saja dan menyimak kata-kata Widura. Meski
demikian, dengan hati sedih ia mengakui bahwa sesungguhnya Widura lebih
bijaksana daripada dirinya. Widura selalu mengharapkan hal-hal yang baik
bagi Dritarastra. Ia senantiasa berdoa untuk kesehatan dan keselamatan
rajanya. Tetapi lama-lama kesabaran Dritarastra hilang karena bosan
mendengar khotbah-khotbah tentang pekerti luhur .
Pada
suatu hari, ketika kesabarannya sudah habis dan dia bosan mendengar
nasihat-nasihat Widura, Dritarastra berkata lantang, “Hai Widura,
diamlah! Engkau selalu bicara dengan nada memihak Pandawa dan
menjelek-jelekkan anak-anakku. Engkau tidak pernah menghargai kebaikan
kami. Ketahuilah, Duryodhana terlahir dari darah dagingku. Bagaimana
mungkin aku mengenyahkan dia? Apa perlunya engkau menasihatiku tentang
pekerti-pekerti luhur? Aku tidak percaya lagi padamu dan aku tidak
membutuhkan engkau lagi. Kalau kau mau, kau bebas mengikuti Pandawa ke
mana pun.”
Sambil berkata demikian ia bangkit membelakangi Widura, lalu masuk ke balai peristirahatannya .
Widura,
putra Bhagawan Wyasa, terkenal sebagai orang paling bijaksana di antara
kaum cendekiawan. Ia juga menjadi penasihat Kaurawa dan Pandawa. Dengan
sedih ia membayangkan kehancuran bangsa Kuru yang tak terhindarkan.
Mendengar kata-kata Dritarastra, ia bergegas keluar istana, mengambil
keretanya, lalu melecut kudanya agar berlari sekencang-kencangnya.
Demikianlah, ia melesat cepat bagaikan menunggang angin, menyusupi hutan
rimba untuk menemui Pandawa dalam pembuangan .
Sepeninggal
Widura, hati Dritarastra semakin gundah. Ia sangat menyesal karena
tidak menghalang-halangi putranya. Dengan penyesalan yang amat dalam, ia
berkata pada dirinya sendiri, “Apa yang telah aku perbuat? Aku malah
menambah kekuatan Pandawa dengan mengusir Widura yang bijaksana dan
membuatnya memihak mereka.”
Pikirannya semakin kalut dan
sedih hatinya tak tertahankan lagi. Akhirnya ia mengutus Sanjaya,
menteri kepercayaannya, untuk menemui Widura dan menyampaikan
penyesalannya. Sanjaya juga harus berkata bahwa Dritarastra mengharapkan
mereka kembali ke Hastinapura .
Sanjaya, utusan istimewa
itu, segera berangkat ke hutan. Di dalam hutan, di sebuah pertapaan, ia
bertemu dengan Pandawa. Saat itu Pandawa mengenakan pakaian dari kulit
kijang dan dikelilingi banyak resi dan pendita. Ia juga bertemu Widura
di sana. Setelah dipersilakan duduk, Sanjaya menyampaikan pesan
Dritarastra dan menambahkan bahwa raja buta itu akan mangkat dengan
perasaan putus asa jika Widura tidak bersedia kembali ke Hastinapura .
Widura
yang berhati seputih kapas dan selalu memegang teguh dharma, merasa
terharu. Ia menyatakan bersedia kembali ke Hastinapura .
Demikianlah,
Widura kembali ke Hastinapura bersama Sanjaya. Sampai di istana, ia
langsung dipeluk oleh Dritarastra dengan air mata berlinang-linang.
Mereka berjanji untuk melupakan perseteruan mereka dan menghapus semua kenangan buruk dari ingatan masing-masing .
***
Pada suatu hari Resi Maitreya datang ke istana Raja Dritarastra dan diterima dengan penuh kehormatan. Dritarastra sangat mengharapkan restu resi itu. Katanya,
“Wahai
Resi yang kuhormati, aku yakin, Resi pasti bersua dengan anak-anak
Pandawa yang kucintai di rimba Kurujanggala. Apakah mereka sehat-sehat?
Apakah rasa saling mengasihi dalam keluarga kami takkan pernah berkurang
sedikit pun?”
Resi Maitreya menjawab, “Kebetulan aku
bertemu dengan Yudhistira di hutan Kamyaka. Para resi di hutan itu
berdatangan menemui dia. Dari sana aku tahu apa yang telah terjadi di
Hastinapura. Aku sangat terkejut karena peristiwa itu bisa terjadi dan
dibiarkan terjadi ketika Tuanku Raja dan Bhisma masih ada.”
Kemudian
Resi Maitreya menemui Duryodhana. Ia menasihati Duryodhana demi
kebaikan pangeran itu sendiri. Dinasihatinya Duryodhana untuk tidak
bermusuhan dengan Pandawa karena kecuali sakti dan perkasa, Pandawa juga
bersekutu dengan Drupada dan Krishna. Tetapi Duryodhana yang keras
kepala, gila harta dan gila kuasa itu hanya tertawa, menepuk-nepuk
pahanya dan meludah dengan congkak. Ia tidak menyahut apa-apa dan pergi
begitu saja .
Resi Maitreya menjadi berang. Sambil memandang Duryodhana, ia berkata,
“Dasar sombong! Kau menyombongkan diri, menepuk pahamu dan meludah
sembarangan untuk menghina orang yang mendoakan segala kebaikan dan
keselamatan untukmu. Ingatlah, pahamu yang engkau tepuk itu akan belah
menjadi dua ditusuk tombak Bhimasena dan engkau sendiri akan mati dalam
pertempuran.”
Mendengar kutuk-pastu
Resi Maitreya itu, Dritarastra melompat berdiri lalu menyembah Resi itu,
memintakan maaf untuk anaknya. Tetapi Resi Maitreya yang sakti itu
berkata, “Kutuk pastu-ku tidak akan mempan jika putramu mau
berdamai dengan Pandawa. Tetapi kalau tidak, beranikah engkau menghadapi
akibatnya?!”
Setelah berkata demikian, Resi Maitreya meninggalkan istana dengan perasaan kecewa .
***
BERSAMBUNG
0 komentar :
Posting Komentar