24. Sumpah Setia Krishna
alwa sangat marah
ketika mendengar berita terbunuh-Snya Sisupala oleh Krishna pada waktu
upacara besar rajasuya yang diadakan Yudhistira di Indraprastha. Salwa,
sahabat Sisupala, tahu benar bahwa Krishna dan Sisupala memang
bermusuhan walaupun mereka saudara sepupu karena Basudewa, ayah Krishna,
kakak-beradik dengan Srutadewi, ibu Sisupala. Pangkal permusuhan itu
adalah Dewi Rukmini, kekasih Sisupala yang dilarikan dan diperistri oleh
Krishna .
Sebagai teman sejati yang ingin membalas dendam
atas kematian Sisupala, Salwa dan pasukannya menyerang Dwaraka, ibukota
kerajaan Krishna. Ketika itu Krishna masih berada di Indraprastha dan
semua urusan seharihari kerajaan dilaksanakan oleh Ugrasena. Walaupun
sudah lanjut usia, dengan sekuat tenaga Ugrasena mempertahankan ibukota
Dwaraka dari serangan Salwa .
Ibukota Dwaraka dikelilingi
benteng yang sangat kuat dan didirikan di sebuah pulau yang dilengkapi
persenjataan luar biasa. Di dalam benteng didirikan kemah-kemah untuk
menyimpan persenjataan dan persediaan makanan dalam jumlah sangat besar.
Balatentara Dwaraka yang sangat banyak jumlahnya dipimpin oleh
perwira-perwira yang cakap. Ugrasena mengumumkan keadaan perang. Pada
malam hari rakyat dianjurkan untuk tidak pergi ke tempat-tempat hiburan.
Semua jembatan dan pantai dijaga ketat. Kapal-kapal dilarang berlabuh.
Semua jalan keluar masuk ibukota dipasangi rintangan
berupa batang-batang pohon berduri. Penjagaan diperketat. Setiap orang
yang keluar atau masuk ibukota diperiksa, tanpa kecuali. Singkatnya,
segala sesuatu diterapkan dengan keras dan tegas agar ibukota bisa
dipertahankan. Balatentara Dwaraka diperbanyak dengan memanggil
pemuda-pemuda yang sudah teruji kebugaran dan ketangkasannya berolah
senjata .
Tetapi... pertahanan sekokoh itu tak mampu
menahan serangan balatentara Salwa yang perkasa dan bersenjata lengkap.
Serangan mereka begitu hebat sehingga ibukota Dwaraka rusak berat.
Ketika kembali, Krishna sangat kaget dan marah melihat ibukota Dwaraka
telah dihancurkan balatentara Salwa. Ia lalu mengerahkan kekuatan yang
ada untuk membalas serangan Salwa .
Setelah bertempur
dengan sengit, balatentara Dwaraka berhasil mengalahkan balatentara
Salwa. Ketika itulah Krishna mendengar berita tentang kekalahan Pandawa
dalam permainan dadu di Hastinapura. Segera ia bersiap untuk menemui
Pandawa di hutan tempat pengasingan mereka. Banyak yang ikut bersamanya,
antara lain orang-orang terkemuka dari Bhoja, Wrishni dan
Kekaya, dan Raja Dristaketu dari Kerajaan Chedi. Dristaketu adalah anak
Sisupala, tetapi ia sangat kecewa mendengar tentang kebusukan hati
Duryodhana. Ia meramalkan bahwa bumi ini akan menghisap darah
manusia-manusia jahat seperti putra Dritarastra itu .
Draupadi
mendekati Krishna dan menceritakan penghinaan yang dialaminya dengan
suara terputus-putus dan air mata berlinang-linang. “Aku diseret ke
depan persidangan. Anak-anak Dritarastra menghinaku dengan sangat keji.
Mereka menelanjangi aku dan mengira aku akan sudi menjadi budak mereka.
Mereka perlakukan aku seperti perlakuan mereka terhadap dayang-dayang di
Hastinapura. Lebih menyakitkan hati adalah sikap Bhisma dan Dritarastra
yang seolah-olah lupa akan asal kelahiranku dan hubunganku dengan
mereka .
“Wahai,
Janardana*, suami-suamiku pun tidak melindungi aku dari penghinaan
manusia-manusia bejat itu. Kekuatan raga Bhima yang perkasa dan senjata
Gandiwa Arjuna yang sakti tak ada artinya. Orang yang paling lemah
sekali pun, jika mendapat penghinaan sekeji itu pasti akan bangkit
melawan. Tetapi ... Pandawa yang terkenal sebagai pahlawan-pahlawan
masyhur malah tidak melakukan apaapa. Aku, putri raja dan menantu Raja
Pandu, diseret ke depan persidangan dengan rambut dicengkeram. Aku,
istri lima pahlawan besar merasa terhina sehina-hinanya. Wahai
Madhusudana*, engkau pun telah meninggalkan aku.”
Sambil berkata-kata demikian, sekujur tubuh Draupadi bergetar karena marah dan sakit hati yang tak tertanggungkan .
Krishna
sangat terharu dan mencoba menghibur Draupadi yang menangis
tersedu-sedu. Katanya, “Mereka yang telah menghinamu kelak akan binasa
dalam perang besar yang penuh pertumpahan darah. Hapuslah air matamu!
Aku berjanji, segala penghinaan yang menimpamu akan dibalas setimpal.
Aku akan menolong Pandawa dalam segala hal. Engkau pasti akan menjadi
permaisuri Rajadiraja Yang Agung. Langit boleh runtuh, Gunung Himalaya
boleh terbelah, bumi boleh retak, lautan boleh kering, tetapi
kata-kataku ini akan kupegang teguh! Aku bersumpah di hadapanmu.”
Demikianlah
Krishna bersumpah di hadapan Draupadi, seperti dinyatakan dalam
kitab-kitab suci, “Demi melindungi kebenaran, dimusnahkanlah kejahatan.
Demi memegang teguh dharma, aku dilahirkan ke dunia dari abad ke abad.”
Dristadyumna
menghibur Draupadi dengan berkata, “Hapuslah air matamu, adikku. Aku
akan membunuh Drona, Srikandi akan menewaskan Bhisma, Bhima akan
melenyapkan nyawa Duryodhana dan saudara-saudaranya, sedangkan Arjuna
akan menamatkan Karna, anak sais kereta kuda itu.”
Krishna
berkata lagi, “Ketika peristiwa sedih itu menimpa dirimu, aku sedang
berada di Dwaraka. Andaikata aku ada di Hastinapura, aku pasti takkan
membiarkan kecurangan itu terjadi. Walaupun tidak diundang, kalau tahu
aku pasti akan datang untuk mengingatkan Drona, Kripa, dan para kesatria
tua lainnya akan tugas kewajiban mereka yang suci. Aku pasti akan
mencegah permainan curang itu dengan jalan apa pun. Ketika Sakuni
menipumu, aku sedang bertempur melawan Raja Salwa yang menyerang
Dwaraka. Aku baru mendengar tentang ini setelah mengalahkannya. Aku
sangat sedih mendengarnya, lebih-lebih karena aku tak kuasa segera
menghapus dukamu. Ibarat membetulkan bendungan rusak, tidak bisa
langsung selesai dan untuk sementara air tetap merembes.”
Setelah
berkata demikian, Krishna minta diri untuk kembali ke Dwaraka bersama
Subadra, adiknya yang diperistri Arjuna dan Abimanyu, keponakannya .
Dristadyumna
kembali ke Panchala, membawa anakanak Draupadi dari kelima suaminya,
yaitu: Pratiwindhya anak Yudhistira, Srutasoma anak Bhima, Srutakritti
anak Arjuna, Satanika anak Nakula, dan Srutakarman anak Sahadewa .
***
* Krishna juga dipanggil Janardana, artinya ‘kesayangan manusia’ dan Madhusudana, artinya ‘pembunuh raksasa bernama Madhu’ .
BERSAMBUNG
0 komentar :
Posting Komentar