25. Arjuna dan Pasupata
Di tempat pengasingan di dalam hutan, Bhima dan Draupadi sering
bercakap-cakap dengan Yudhistira. Mereka berkata bahwa amarah yang
didasari kebenaran adalah benar sedangkan bersikap sabar menerima
penghinaan dan pasrah menerima penderitaan bukanlah sifat kesatria
sejati. Mereka berdebat sengit sambil mengutip pendapat para arif
bijaksana untuk membenarkan pendapat masing-masing. Tetapi, dengan
mantap Yudhistira berkata bahwa seorang kesatria haruslah teguh memegang
janjinya, bahwa tahan uji adalah kebajikan paling mulia dari segala
sifat manusia .
Bhima sudah tidak sabar ingin segera
menyerang Duryodhana dan merebut kembali kerajaan mereka. Baginya tidak
ada gunanya menjadi kesatria perkasa jika harus hidup mengembara di
hutan, tanpa berperang, hanya bertapa bersama para resi dan pendita .
Bhima
berkata kepada Yudhistira, “Engkau seperti mereka yang berulang-ulang
melantunkan kidung suci Weda dengan suara merdu dan puas mendengar
suaramu sendiri walaupun engkau tak mengerti artinya. Otakmu jadi kacau.
Engkau dilahirkan sebagai kesatria, tetapi tidak berpikir dan bertindak
seperti kesatria. Tingkah lakumu seperti brahmana. Seharusnya kau tahu,
dalam kitabkitab suci tertulis bahwa teguh dalam kemauan dan ulet
berusaha adalah ciri-ciri kaum kesatria. Kita tidak boleh membiarkan
anak-anak Dritarastra berbuat curang seenaknya. Sia-sialah kelahiran
seseorang sebagai kesatria jika ia tak dapat menundukkan musuh yang
licik. Inilah pendapatku ."
“Bagiku, masuk neraka karena
memusnahkan musuh yang jahat dan licik sama artinya dengan masuk surga.
Hatimu yang lemah membuat kami panas hati. Aku dan Arjuna tidak terima.
Hati kami bergejolak. Siang dan malam kami tak bisa tidur.”
Ia
berhenti sebentar, menghela napas, lalu melanjutkan, “Mereka
orang-orang laknat yang merampas kerajaan kita dengan licik. Kini mereka
hidup bergelimang kekayaan dan pesta pora. Tapi... engkau? Lihatlah
dirimu! Engkau tergolek pulas seperti ular kobra kekenyangan, tak bisa
bergerak. Katamu, kita harus setia pada janji kita. Bagaimana mungkin
Arjuna yang masyhur bisa hidup dengan menyamar? Mungkinkah Gunung
Himalaya disembunyikan dalam segenggam rumput? Bagaimana bisa Arjuna,
Nakula dan Sahadewa yang berhati singa hidup dengan sembunyisembunyi?
Apa mungkin Draupadi yang termasyhur lewat tanpa dikenali orang? Apa pun
usaha kita untuk menyamar, Kaurawa pasti bisa menemukan kita melalui
matamata mereka. Jadi, tidak mungkin kita bisa memenuhi janji ini. Semua
ini hanya alasan untuk mengusir kita selama tiga belas tahun. Kitab
suci Sastra membenarkan katakataku, yaitu: janji berdasarkan kecurangan
bukanlah janji. Engkau harus putuskan untuk menggempur musuhmusuh kita
sekarang juga! Bagi kesatria, tak ada kewajiban yang lebih mulia
daripada itu.”
Tak jemu-jemunya Bhima mendesak-desakkan
pendapatnya. Draupadi juga sering mengingatkan Yudhistira betapa ia
telah dijamah oleh tangan-tangan kotor Duryodhana, Karna dan Duhsasana.
Ia juga sering mencoba memanas-manasi Yudhistira dengan mengutip
nukilannukilan kitab-kitab suci .
Yudhistira menjawab
dengan sabar bahwa ia harus memperhitungkan semua kekuatan lawan dengan
cermat. Ia menambahkan, “Musuh-musuh kita mempunyai sekutu terpercaya
seperti Bhurisrawa, Bhisma, Drona, Karna dan Aswatthama. Mereka semua
ahli perang dan olah senjata. Banyak raja yang kuat, besar atau kecil,
kini ada di pihak mereka. Memang Bhisma dan Drona tidak senang pada
watak Duryodhana, tetapi mereka tidak akan meninggalkan dia. Mereka
bersedia mengorbankan jiwa raga demi kemenangan Kaurawa .
“Perang tak dapat diramalkan, kemenangan tak dapat ditentukan. Tak ada gunanya tergesa-gesa!”
Demikianlah, Yudhistira terus-menerus berusaha menenangkan saudara-saudaranya yang lebih muda .
Atas nasihat Bhagawan Wyasa, Arjuna pergi ke Gunung Himalaya untuk bertapa, memohon agar dikaruniai senjata-
senjata baru oleh para dewata. Ia minta diri kepada saudara-saudaranya dan Panchali .
Panchali berkata,
“Wahai
Dananjaya, semoga engkau berhasil menjalankan tugasmu. Semoga Dewata
memberimu semua yang diidam-idamkan ibumu, Dewi Kunti, sejak dulu.
Hidup, kebahagiaan, kehormatan dan kemakmuran kami semua tergantung
padamu. Kembalilah engkau setelah memperoleh senjata-senjata baru.”
Setelah
mendapat restu dari saudara-saudaranya, Arjuna memulai perjalanannya.
Ia menuruni jurang yang dalam, menembus hutan belantara, mendaki
tebing-tebing terjal, hingga sampai di puncak Gunung Indrakila .
Di sana ia bersua dengan seorang brahmana tua. Brahmana itu tersenyum dan berkata kepadanya,
“Wahai
anakku, engkau mengenakan pakaian prajurit dan membawa senjata.
Siapakah engkau? Di sini, senjata tidak pernah digunakan. Sebagai
kesatria, apa yang kaucari di tempat ini, tempat pertapaan orang-orang
suci dan para pendita yang telah menaklukkan amarah dan nafsu?”
Sesungguhnya brahmana tua itu adalah Batara Indra, raja semua dewata dan
ayah Arjuna sendiri, yang sedang menyamar. Lega menemukan putranya
dalam keadaan baik, ia melepaskan samarannya dan menjelma kembali
menjadi Batara Indra .
Arjuna menjawab, “Aku datang dengan maksud mencari senjata. Berilah aku senjata.”
Batara
Indra berkata, “Oh, Dananjaya, apa gunanya senjata? Mintalah kesenangan
atau carilah tempat yang lebih tinggi di dunia ini untuk
bersenang-senang.”
Arjuna menjawab,
“Wahai Raja
segala dewata, aku tidak menginginkan kesenangan, atau dunia yang lebih
tinggi. Aku datang ke sini meninggalkan Panchali dan saudarasaudaraku di
hutan. Aku hanya menginginkan senjata.”
Kemudian Batara
Indra menyarankan, “Pergilah bertapa, memohon karunia Batara Shiwa, sang
Dewata Bermata Tiga. Semoga engkau dikaruniai senjata mahasakti.”
Setelah
berkata demikian, Batara Indra menghilang dan Arjuna meneruskan
perjalanannya ke Gunung Himalaya. Ia bertapa di punggung gunung itu,
memohon anugerah senjata sakti dari Batara Shiwa .
Ketika
Arjuna sedang bertapa, datanglah Batara Shiwa dan Dewi Uma, sakti-nya,
ke dalam hutan itu dengan menyamar sebagai pemburu. Mereka berburu
dengan ribut. Seekor babi hutan lari kalang kabut menuju tempat Arjuna
bertapa. Melihat babi liar itu lari mendekat, Arjuna mengangkat
busurnya, membidikkan anak panahnya. Bersamaan dengan lepasnya anak
panah dari busur Arjuna, meluncur pulalah panah Pinaka milik Batara
Shiwa. Dua-duanya tepat mengenai sasaran .
Arjuna
berteriak lantang, “Siapakah engkau? Mengapa engkau pergi berburu
bersama istrimu? Kenapa engkau lancang memanah babi hutan yang kupanah?”
Pemburu
itu menjawab dengan tenang, “Hutan ini kepunyaan kami yang hidup di
sini dan sejak dulu ini memang hutan perburuan. Engkau kelihatan tak
sesigap pemburu pada umumnya. Keseluruhan dirimu menunjukkan bahwa
engkau biasa hidup nyaman di kota. Sesungguhnya, akulah yang lebih
pantas bertanya, apa yang kaucari di sini. Lagi pula, akulah yang
membunuh babi hutan itu.”
Mendengar itu Arjuna tersinggung. Ia menantang pemburu itu untuk bertarung. Si pemburu menerima tantangannya .
Dengan
tangkas Arjuna melompat, mengangkat busur lalu melepaskan anak-anak
panah dengan cepat, susulmenyusul seperti ular menjulur mematuk pemburu
itu. Tetapi alangkah kagetnya Arjuna, pemburu itu bisa mengelak dengan
mudah. Ibarat air hujan jatuh di pasir, semua anak panahnya lenyap tak
berbekas. Ketika anak panahnya habis, Arjuna menggunakan busurnya untuk
menyerang, tetapi pemburu itu menepisnya sambil tertawa. Kini Arjuna tak
punya panah dan busur lagi. Ia heran melihat pemburu sederhana yang
sakti luar biasa itu. Arjuna menghunus pedangnya lalu menikam pemburu
itu beberapa kali. Bukannya pemburu itu terluka, malahan pedang Arjuna
yang patah berkeping-keping. Arjuna tak punya senjata lagi. Tetapi ia
terus melawan. Tiba-tiba pemburu itu menyambarnya, memegangnya erat-erat
dan mengikatnya dengan rantai besi hingga Arjuna lemas tak bisa
berkutik lagi .
Dalam keadaan tak berdaya, Arjuna
mengheningkan cipta dan memohon kepada Batara Shiwa. Seketika itu,
muncul seleret cahaya berkilat dalam jiwanya dan ... tampak olehnya
sosok Batara Shiwa. Arjuna tersadar, pemburu itu adalah Batara Shiwa
yang menyamar. Maka ia segera bersimpuh dan menyembahnya, memohon ampun
atas kesalahannya yang tak disengaja. Batara Shiwa mengampuninya dan
mengembalikan Gandiwa dan pedang Arjuna .
Dalam
perkelahian dengan Batara Shiwa, badan Arjuna berulang-ulang bersentuhan
dengan Batara mahasakti bermata tiga itu. Karena itu, tanpa setahunya,
ia menjadi lebih kuat dan cekatan seratus kali lipat .
Sebelum
kembali ke kahyangan, Batara Shiwa menghadiahkan Pasupata, senjata yang
sangat ampuh, sambil berkata, “Pergilah ke kahyangan dan temui ayahmu,
Batara Indra, untuk menyampaikan hormat dan baktimu kepadanya.”
Setelah
berkata demikian Batara Shiwa pun lenyap dari pandangan. Sesaat
kemudian Matali, pengemudi kereta Batara Indra, menjemput Arjuna untuk
dibawa ke kerajaan para dewata .
***
BERSAMBUNG
0 komentar :
Posting Komentar