30. Telaga Ajaib
Tahun
pengasingan yang kedua belas sudah hampir berakhir. Pandawa berunding,
mencari cara untuk melewatkan tahun ketiga belas tanpa dikenali siapa
pun. Ketika itu, datanglah seorang brahmana meminta bantuan mereka untuk
menangkap seekor menjangan yang melarikan pedupaannya .
Demikianlah kisahnya .
Seekor
menjangan datang mendekati pedupaan milik sang brahmana. Mungkin karena
gatal atau mungkin karena kedinginan, ia menggosok-gosokkan badannya
pada pedupaan itu. Brahmana yang melihat itu, segera menghalaunya.
Menjangan itu terlonjak kaget, lalu berlari menjauh. Pedupaan itu
tersangkut pada tanduknya dan terbawa lari .
“Wahai Pandawa,
menjangan itu membawa lari pedupaanku. Tolonglah aku, aku tidak mampu
mengejar menjangan itu,” kata brahmana itu kepada Yudhistira .
Pandawa
kemudian memburu menjangan itu beramairamai dan mengepungnya dari
berbagai arah. Tetapi, rupanya itu bukan sembarang menjangan. Ia terus
berlari menjauh dan selalu berhasil lolos dari kepungan. Tanpa sadar
Pandawa telah jauh masuk ke dalam hutan dan menjangan itu seakan hilang
ditelan rimba raya. Pandawa yang lelah menghentikan pengejaran dan
beristirahat di bawah sebatang pohon beringin hutan yang rindang .
Nakula mengeluh, “Alangkah merosotnya kekuatan kita
sekarang.
Menolong seorang brahmana dalam kesulitan sekecil ini saja kita tidak
bisa. Bagaimana dengan kesulitan yang lebih besar?”
“Engkau benar.
Ketika Draupadi dipermalukan di depan orang banyak seharusnya kita
bunuh saja manusia-manusia kurang ajar itu! Tetapi... kita tidak berbuat
apa-apa. Dan sekarang inilah akibatnya,” kata Bhima sambil memandang
Arjuna .
Dengan sikap membenarkan, Arjuna berkata, “Ya
benar, aku juga tidak berbuat apa-apa ketika dihina oleh anak sais
kereta itu. Inilah upahnya sekarang!”
Yudhistira merasakan
kesedihan hati saudara-saudaranya. Mereka kehilangan semangat juang
mereka. Untuk melengahkan pikiran, ia berkata kepada Nakula, “Adikku,
panjatlah pohon itu. Lihatlah baik-baik, barangkali di dekat-dekat sini
ada sungai atau telaga. Aku haus sekali.”
Nakula naik ke
pohon yang tinggi. Setelah melihat sekelilingnya, ia berteriak, “Di
kejauhan kulihat ada air tergenang dan burung-burung bangau. Mungkin itu
telaga!”
Yudhistira menyuruhnya turun dan pergi mengambil
air. Nakula pergi dan memang menemukan sebuah telaga. Karena sangat
haus, ia berpikir untuk minum dulu sebelum membawakan air untuk
saudara-saudaranya. Baru saja ia hendak mencelupkan tangannya ke dalam
air, tibatiba terdengar suara, “Janganlah engkau tergesa-gesa. Telaga
ini milikku, hai anak Dewi Madri! Jawablah dulu pertanyaanku! Jika kau
bisa menjawab, barulah kau boleh minum.”
Nakula terkejut
mendengar suara itu, tetapi karena sangat haus, ia tidak mempedulikan
suara itu. Ia langsung mencedokkan tangannya, mengambil air dan
meminumnya. Seketika itu juga ia jatuh tidak sadarkan diri .
Setelah lama menunggu dan Nakula tak juga kembali, Yudhistira menyuruh Sahadewa mencarinya. Setelah mencari-cari
beberapa lama, Sahadewa terkejut melihat Nakula terbaring tak sadarkan
diri di tepi telaga. Tetapi karena merasa haus, ia memutuskan untuk
minum dulu. Tiba-tiba suara tadi terdengar lagi,
“Wahai Sahadewa, telaga ini telagaku. Jawab dulu pertanyaanku, baru engkau boleh menghilangkan dahagamu.”
Sahadewa
tidak peduli. Ia mencedokkan tangannya mengambil air yang jernih segar
itu. Begitu minum seteguk, ia jatuh tersungkur tak sadarkan diri .
Bingung
memikirkan kedua saudaranya yang belum kembali, Yudhistira menyuruh
Arjuna mencari Nakula dan Sahadewa. “Tetapi jangan lupa untuk kembali
membawa air,” katanya kepada Arjuna .
Arjuna pergi berlari
dan menemukan kedua saudaranya terbaring tak sadarkan diri. Ia sangat
terkejut, mengira mereka tewas dianiaya musuh. Ia marah dan ingin
menghancurkan yang telah membunuh saudara-saudaranya. Tetapi, karena
haus, Arjuna memutuskan untuk minum dulu. Tiba-tiba suara itu terdengar
lagi, “Jawab dulu pertanyaanku sebelum engkau minum air telaga ini.
Telaga ini milikku. Kalau engkau tidak menurutiku, nasibmu akan sama
dengan nasib saudara-saudaramu.”
Arjuna sangat marah mendengar suara itu dan berteriak, “Hai, siapa engkau?! Tunjukkan dirimu! Jangan pengecut! Kubunuh kau!”
Sambil
berkata demikian, Arjuna membidikkan panahnya ke arah datangnya suara
itu. Suara itu tertawa mengejek, “Panahmu hanya akan melukai angin.
Jawab pertanyaanku dulu, baru kau boleh memuaskan dahagamu. Bila engkau
minum air tanpa menjawab pertanyaanku, engkau akan mati!”
Arjuna
senang bisa berhadapan dengan pembunuh adik-adiknya. Tetapi, ia tak
kuasa menahan rasa hausnya. Apa hendak dikata, setelah minum seteguk ia
langsung rebah tak sadarkan diri .
Setelah lama menunggu
dan Arjuna tak juga kembali, Yudhistira berkata kepada Bhima, “Bhimasena
saudaraku, Arjuna belum juga datang. Sesuatu yang aneh mungkin terjadi.
Bintang-bintang kita hari ini memang tampak buruk. Carilah mereka. Dan
bawakan air untukku. Aku haus sekali.”
Begitu mendapat
perintah Yudhistira, Bhima segera berangkat. Sampai di tepi telaga, ia
sedih melihat ketiga saudaranya terbaring tak bergerak. “Ini pasti
perbuatan para jin dan raksasa jahat,” pikirnya. “Akan kumusnahkan
mereka! Tapi aku sangat haus. Setelah minum, akan kutamatkan pembunuh
itu.”
Lalu ia turun ke tepi telaga .
Suara gaib itu
terdengar lagi, “Hati-hatilah, hai Bhimasena. Engkau boleh minum,
setelah menjawab pertanyaanku. Kamu akan mati jika tidak mau
mendengarkan kata-kataku.”
Mendengar itu Bhima berteriak, “Siapa engkau? Berani benar memerintah aku!”
Lalu
ia minum air telaga itu. Seketika itu otot dan tulang Bhima yang liat
bagai kawat baja dan keras bagai besi menjadi lemas. Seperti
saudarasaudaranya, ia jatuh tak sadarkan diri .
Yudhistira
menunggu dan menunggu dengan cemas. Dahaganya serasa tak tertahankan.
Terbayang dalam pikirannya, “Apakah mereka terkena kutuk-pastu? Apakah
mereka lenyap ditelan rimba dan tak tahu jalan kembali? Apakah mereka
mati karena kehausan?” Kemudian Yudhistira bangkit dan berjalan
mengikuti jejak-jejak kaki saudara-saudaranya. Ia memperhatikan setiap
semak yang dilaluinya dengan teliti. Ia melihat jejak menjangan dan babi
hutan, semuanya menuju arah yang sama. Ia menengadah melihat
burung-burung bangau beterbangan, pertanda ada bentang air di dekat situ
.
Setelah berjalan beberapa lama, ia sampai ke tanah
terbuka. Di depannya terbentang telaga. Airnya berkilau jernih bagaikan
cermin cemerlang. Dan ... di pinggir telaga ia melihat keempat
saudaranya tergeletak tak bergerak. Dihampirinya satu per satu,
dirabanya kaki, tangan, dahi, dan denyut jantung mereka. Yudhistira
berkata dalam hati, “Apakah ini berarti akhir dari sumpah yang harus
kita jalani? Hanya beberapa hari sebelum berakhirnya masa pengasingan
kita, kalian mati mendahului aku. Rupanya para dewata hendak membebaskan
kita dari kesengsaraan.”
Menatap wajah Nakula dan
Sahadewa, pemuda-pemuda yang di masa hidupnya periang dan perkasa tapi
kini terbujur dingin tak bergerak, hati Yudhistira sedih. “Haruskah
hatiku terbuat dari baja agar aku tidak menangisi kematian
saudara-saudaraku? Apakah hidupku masih ada gunanya setelah keempat
saudaraku mati? Untuk apa aku hidup? Aku yakin, ini bukan peristiwa
biasa,” gumam Yudhistira. Ia tahu, tak seorang kesatria pun akan mampu
membunuh Bhima dan Arjuna tanpa melewati pertarungan hebat .
“Tak
ada luka di badan mereka. Wajah mereka tidak seperti wajah orang yang
kesakitan. Mereka kelihatan tenang, seperti sedang tidur dalam damai.”
Hatinya
terus bertanya-tanya. “Sama sekali tak ada jejak kaki, apalagi
bekas-bekas tanah atau rumput yang terinjak-injak dalam perkelahian. Ini
pasti peristiwa gaib! Mungkinkah ini tipu muslihat Duryodhana?
Mungkinkah Duryodhana telah meracuni air telaga ini?”
Dengan
berbagai pikiran di kepalanya, perlahan-lahan ia turun ke tepi telaga.
Ia ingin melepaskan dahaganya yang sudah tak tertahankan lagi. Tiba-tiba
suara gaib itu terdengar lagi, “Saudara-saudaramu telah mati karena tak
menghiraukan kata-kataku. Jangan engkau ikuti mereka. Jawab dulu
pertanyaanku, setelah itu baru puaskan hausmu. Telaga ini milikku.”
Yudhistira yakin, suara itulah yang menyebabkan saudara-saudaranya
mati. Pikirnya, ini pasti suara yaksa. Ia berpikir, mencari cara untuk
mengatasi situasi itu. Kemudian Yudhistira berkata kepada suara yang
tidak berwujud itu .
Yudhistira : “Silakan ajukan pertanyaanmu.”
Suara gaib : “Apa yang menyebabkan matahari bersinar setiap hari?”
Yudhistira : “Kekuatan Brahman.”
Suara gaib : “Apa yang dapat menolong manusia dari semua marabahaya?”
Yudhistira : “Keberanian adalah pembebas manusia dari marabahaya.”
Suara gaib : “Mempelajari ilmu apakah yang bisa membuat manusia jadi bijaksana?”
Yudhistira
:”Orang tidak menjadi bijaksana hanya karena mempelajari kitab-kitab
suci. Orang menjadi bijaksana karena bergaul dan berkumpul dengan para
cendekiawan besar.”
Suara gaib : “Apa yang lebih mulia dan lebih menghidupi manusia daripada bumi ini?”
Yudhistira : “Ibu, yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, lebih mulia dan lebih menghidupi daripada bumi ini.”
Suara gaib : “Apa yang lebih tinggi dari langit?”
Yudhistira : “Bapa.”
Suara gaib : “Apa yang lebih kencang dari angin?”
Yudhistira : “Pikiran.”
Suara gaib : “Apa yang lebih berbahaya dari jerami kering di musim panas?”
Yudhistira : “Hati yang menderita duka nestapa.”
Suara gaib : “Apa yang menjadi teman seorang pengembara?”
Yudhistira : “Kemauan belajar.”
Suara gaib : “Siapakah teman seorang lelaki yang tinggal di rumah?”
Yudhistira : “Istri.”
Suara gaib : “Siapakah yang menemani manusia dalam kematian?”
Yudhistira : “Dharma. Hanya Dialah yang menemani jiwa dalam kesunyian perjalanan setelah kematian.”
Suara gaib : “Perahu apakah yang terbesar?”
Yudhistira : “Bumi dan segala isinya adalah perahu terbesar di jagad ini.”
Suara gaib : “Apakah kebahagiaan itu?”
Yudhistira : “Kebahagiaan adalah buah dari tingkah laku dan perbuatan baik.”
Suara gaib : “Apakah itu, jika orang meninggalkannya ia dicintai oleh sesamanya?”
Yudhistira : “Keangkuhan. Dengan meninggalkan keangkuhan orang akan dicintai sesamanya.”
Suara gaib : “Kehilangan apakah yang menyebabkan orang bahagia dan tidak sedih?”
Yudhistira : “Amarah. Kehilangan amarah membuat kita tidak lagi diburu oleh kesedihan.”
Suara gaib : “Apakah itu, jika orang membuangnya jauhjauh, ia menjadi kaya?”
Yudhistira : “Hawa nafsu. Dengan membuang hawa nafsu orang menjadi kaya.”
Suara
gaib : “Apakah yang membuat orang benar-benar menjadi brahmana? Apakah
kelahiran, kelakuan baik atau pendidikan sempurna? Jawab dengan tegas!”
Yudhistira
: “Kelahiran dan pendidikan tidak membuat orang menjadi brahmana; hanya
kelakuan baik yang membuatnya demikian. Betapapun pandainya seseorang,
ia tidak akan menjadi brahmana jika ia menjadi budak kebiasaan jeleknya.
Betapapun dalamnya penguasaannya akan kitab-kitab suci, tapi jika
kelakuannya buruk, ia akan jatuh ke kasta yang lebih rendah.”
Suara gaib : “Keajaiban apakah yang terbesar di dunia ini?”
Yudhistira
: “Setiap orang mampu melihat orang lain pergi menghadap Batara Yama,
namun mereka yang masih hidup terus berusaha untuk hidup lebih lama
lagi. Itulah keajaiban terbesar.”
Demikianlah yaksa itu
menanyakan berbagai masalah dan Yudhistira menjawab semuanya tanpa ragu.
Pertanyaan terakhir yang diajukan yaksa itu langsung berkaitan dengan
saudara-saudaranya .
Suara gaib : “Wahai Raja, seandainya
salah satu saudaramu boleh tinggal denganmu sekarang, siapakah yang
engkau pilih? Dia akan hidup kembali.”
Yudhistira :
(Berpikir sesaat, kemudian menjawab.) “Kupilih Nakula, saudaraku yang
kulitnya bersih bagai awan berarak, matanya indah bagai bunga teratai,
dadanya bidang dan lengannya ramping. Tetapi kini ia terbujur kaku bagai
sebatang kayu jati.”
Suara gaib : (Belum puas akan
jawaban Yudhistira, yaksa itu bertanya lagi.) “Kenapa engkau memilih
Nakula, bukan Bhima yang kekuatan raganya enam belas ribu kali kekuatan
gajah? Lagi pula, kudengar engkau sangat mengasihi Bhima. Atau, mengapa
bukan Arjuna yang mahir menggunakan segala macam senjata, terampil olah
bela diri dan jelas dapat melindungimu? Jelaskan, mengapa engkau memilih
Nakula!”
Yudhistira : “Wahai Yaksa, dharma adalah
satu-satunya pelindung manusia, bukan Bhima bukan Arjuna. Apabila dharma
tidak diindahkan, manusia akan menemui kehancuran. Dewi Kunti dan Dewi
Madri adalah istri ayahku dan mereka adalah ibuku. Aku, anak Kunti,
masih hidup. Jadi Dewi Kunti tidak kehilangan keturunan. Dengan
pertimbangan yang sama dan demi keadilan, biarkan Nakula, putra Dewi
Madri, hidup bersamaku.”
Yaksa itu puas sekali mendengar
jawaban Yudhistira yang membuktikan bahwa ia adil dan berjiwa besar.
Akhirnya, yaksa itu menghidupkan kembali semua saudara Yudhistira .
Ternyata,
menjangan dan yaksa itu adalah penjelmaan Batara Yama, Dewa Kematian,
yang ingin menguji kekuatan batin dan dharma Yudhistira .
Batara
Yama berdiri di depan Yudhistira lalu memeluknya sambil berkata,
“Beberapa hari lagi masa pengasinganmu di hutan rimba akan selesai. Di
tahun ketiga belas, kalian harus hidup dengan menyamar. Yakinlah, masa
itu pun akan dapat kalian lewati dengan baik. Tidak seorang musuh pun
akan mengetahui keberadaan kalian. Kalian pasti lulus dalam ujian yang
berat ini. Dharma akan selalu menyertaimu, Yudhistira.”
Setelah berkata demikian, Batara Yama menghilang .
Pengalaman
Arjuna dalam perjalanan mencari senjata pamungkas yang sakti,
pengalaman Bhima bertemu dengan Hanuman dan Dewa Ruci, dan pengalaman
Yudhistira bertemu dengan Batara Yama, menambah kekuatan jasmani,
keyakinan batin serta kemuliaan rohani Pandawa. Secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama mereka semakin tekun menjalani dan mengagungkan
dharma .
***
BERSAMBUNG
0 komentar :
Posting Komentar