31. Hidup dalam Penyamaran
“W ahai Brahmana
yang budiman, tahun ketiga belas masa pengasingan kami telah tiba. Kini
tiba waktunya untuk berpisah. Selama dua belas bulan mendatang kami
harus hidup tanpa diketahui dan dikenali oleh matamata Duryodhana. Kami
tidak tahu, kapan kita bisa bertemu lagi tanpa sembunyi-sembunyi dan
dalam keadaan bebas dan damai. Sekarang, sebelum berpisah, kami mohon
restumu. Doakan kami, semoga kami terhindar dari pengkhianatan
orang-orang pengecut yang menginginkan hadiah dari Duryodhana,” kata
Yudhistira kepada Resi Dhaumya yang setia menyertai Pandawa dalam
pengasingan. Pangeran itu tak dapat menahan rasa harunya. Suaranya
bergetar dan wajahnya sedih .
Resi Dhaumya menghibur,
“Berpisah memang berat. Bahaya dan malapetaka akan bertambah banyak dan
bertambah besar. Tetapi, engkau orang yang bijaksana dan terlatih, tak
dapat digoyahkan atau digertak musuh. Menyamarlah! Setelah dikalahkan
raksasa, Batara Indra hidup menyamar sebagai brahmana dan tinggal di
Negeri Nishada tanpa diketahui atau dikenali oleh siapa pun. Setelah
menjalani penyamaran dengan baik, Batara Indra dikaruniai kemampuan
untuk menghancurkan musuhmusuhnya. Demikian pula Batara Wishnu yang
menyamar menjadi bayi Aditi untuk merampas kembali kerajaannya dari
Maharaja Bali. Batara Narayana menyamar masuk ke dalam senjata Indra
untuk menghancurkan Writa, raja raksasa yang kejam. Batara Wishnu pernah
menyamar menjadi anak Dasaratha agar dapat memusnahkan Rahwana.
“Demikianlah, banyak dewa dan kesatria agung di jaman dulu yang menyamar
demi tujuan yang baik dan luhur. Engkau pun hendaknya demikian,
menyamar, menghancurkan musuh-musuhmu dan memenangkan kemakmuran bagi
saudara-saudara dan rakyatmu.”
Akhirnya Yudhistira
berpisah dengan Resi Dhaumya. Semua pengikut Pandawa diminta kembali ke
negeri masing-masing. Kemudian ia mengumpulkan saudara-saudaranya di
suatu tempat tersembunyi untuk membicarakan langkah-langkah yang akan
mereka tempuh. Pertemuan itu sangat rahasia, sebab jika sampai ketahuan
oleh Kaurawa, mereka harus menjalani pengasingan selama dua belas tahun
lagi .
Yudhistira berkata kepada Arjuna, “Dua belas tahun
sudah kita jalani dengan selamat. Di tahun ketiga belas ini, kita harus
hidup menyamar. Di antara kita, engkau yang punya pengalaman paling
banyak dan engkau pula yang mengetahui keadaan dunia. Menurut
pendapatmu, negeri manakah yang paling cocok untuk tempat tinggal kita?”
“Kakanda
Raja, engkau telah direstui Batara Yama. Menurutku, tak sulit bagi kita
untuk mencari tempat persembunyian. Banyak negeri yang baik untuk
tempat bersembunyi, misalnya Panchala, Matsya, Salwa, Wideha, Bhalika,
Dashrana, Surasena, Kalingga dan Magadha. Terserah padamu, mana yang
akan dipilih. Tetapi, jika kau minta pendapatku, Matsya, negeri Raja
Wirata, adalah pilihanku,” jawab Arjuna .
“Wirata adalah
raja yang berpendirian kuat dan bersimpati kepada kita. Ia berpandangan
luas, ahli tata kerajaan, taat kepada dharma dan selalu melaksanakan
kebajikan dalam perbuatan nyata. Ia tidak akan dapat dipengaruhi atau
ditakut-takuti dengan gertakan Duryodhana. Ya, aku setuju kita hidup
menyamar di negeri itu,” Yudhistira menanggapi .
“Jika demikian, pekerjaan apakah yang akan engkau pilih dalam penyamaran ini?” tanya Arjuna .
Yudhistira tampak
sedih karena kini ia harus bekerja untuk orang lain. Katanya, “Aku akan
memohon kepada Raja Wirata untuk menjadi pelayan pribadinya. Aku
bersedia menjadi temannya bercakap-cakap, misalnya ketika ia punya waktu
senggang. Aku akan menyamar sebagai sanyasin dan menghiburnya
dengan membacakan ramalan, membicarakan wasiat, membacakan tafsir Weda
dan Wedanga, atau menemaninya mendalami falsafah, budi pekerti, ilmu
tata kerajaan dan hal-hal lain. Tentu aku harus hati-hati,
tetapi jangan kuatirkan diriku. Dalam suatu kesempatan akan kuceritakan
kepadanya bahwa aku kenal Yudhistira dan pernah belajar banyak darinya
sewaktu mendapat kesempatan melayaninya .
“Hai, Bhima,
pekerjaan apakah yang akan kaucari di negeri Raja Wirata? Carilah
pekerjaan yang seimbang dengan kekuatanmu. Kau telah membunuh naga
Antaboga dan Nawatnawa, memusnahkan Rukmukha, Rukmakhala, Bakasura,
Hidimba dan Jatasura—semua raksasa perkasa yang kejam. Engkau begitu
hebat dan mudah dikenali. Bagaimana engkau bisa menyamar untuk
menyembunyikan badanmu yang begitu besar?” kata Yudhistira dengan murung
dan tak dapat menahan air matanya .
Bhima menjawab tanpa ragu dan dengan wajah berseriseri, “Aku
akan menyamar menjadi juru masak di istana. Kalian tahu, aku doyan
makan dan pandai memasak. Aku terampil memasak untuk orang banyak,
misalnya untuk pesta-pesta. Aku bisa mencari kayu api dan kuat
memikulnya sendiri dari hutan. Jika ada acara adu kekuatan otot, aku
akan ikut bertarung. Kemenangan pasti ada di tangan wakil Negeri Matsya
dan Raja Wirata pasti akan senang.”
Meskipun Bhima
menjawab dengan riang dan mantap, Yudhistira tetap kuatir.
Jangan-jangan, jika Bhimasena ikut adu kekuatan otot, lawannya akan mati
dia banting. Jika itu terjadi, penyamaran mereka bisa terbongkar.
Mengetahui kekhawatiran Yudhistira, Bhima berjanji akan berhati-hati
jika ikut adu kekuatan otot .
“Aku juga bisa menolong rakyat yang hidup di pinggir hutan jika mereka diserang binatang buas,” sambung Bhima .
Kemudian Yudhistira bertanya kepada Arjuna, “Pekerjaan apa yang hendak kauambil, hai kesatria sakti?”
“Kakanda
yang kuhormati, aku akan menyamar menjadi perempuan pelayan dan guru
tari. Bekas-bekas tali busur di tanganku akan kututupi dengan baju
wanita lengan panjang. Dulu waktu aku menolak tawaran asmara Urwasi
dengan alasan dia kuanggap sebagai ibuku, ia mengutuk pastu aku menjadi
banci. Untunglah, berkat restu Batara Indra dan karena
kutuk-pastu itu, kapan saja aku mau, aku bisa bertingkah laku seperti
perempuan. Aku akan mengenakan gelang, kalung, dan anting-anting. Aku
akan merias wajahku seperti perempuan. Selain mengajar menari, aku juga
akan mengajar menyanyi,” jawab Arjuna .
Terbayang oleh
Yudhistira, betapa merosotnya keadaan mereka sekarang. Padahal, mereka
adalah keturunan Bharata yang seharusnya tak terkalahkan oleh siapa pun.
Keturunan Bharata seharusnya perkasa seperti Gunung Mahameru yang kokoh
tinggi menjulang. Tetapi nyatanya, mereka terpaksa hidup di pengasingan
dan kini harus menyamar seperti penjahat yang dikejar-kejar .
Kemudian Yudhistira bertanya kepada Sahadewa, “Engkau ahli kitab-kitab suci dan ilmu pendidikan, apa yang akan engkau kerjakan di Negeri Matsya?”
Sahadewa menjawab singkat, “Biarlah Nakula menjadi tukang kuda dan aku menjadi gembala sapi. Aku gemar dan punya pengalaman memelihara ternak.”
Memandang Draupadi,
Yudhistira tak mampu bertanya. Ia tertunduk. Ia tak sanggup
membayangkan permaisurinya hidup menyamar. Ia malu dan putus asa karena
tidak mampu menempatkan Draupadi pada kedudukannya sebagai ratu .
Tetapi Draupadi yang bijaksana berkata tanpa ditanya,
“Wahai Rajaku, janganlah sedih dan mencemaskan aku. Aku akan menyamar menjadi Sairandri,
pelayan permaisuri Raja Wirata. Kalau ditanya, akan kukatakan bahwa aku
pernah menjadi juru rias dan pelayan permaisuri di Kerajaan
Indraprastha.”
Sesuai nasihat Resi Dhaumya, Pandawa membuat pedoman tentang apa saja yang harus mereka pegang teguh selama dalam penyamaran .
Yudhistira
berkata, “Kita harus selalu waspada dan bekerja tanpa banyak cakap;
hanya memberi pandangan atau pendapat jika diminta, tidak boleh
memaksakan pendapat kita sendiri, dan harus bisa memuji raja di
saat-saat yang tepat. Segala sesuatu, sekecil apa pun, hanya boleh
dilakukan setelah disetujui raja, karena kita ini ibarat api yang mudah
terbakar. Api tidak boleh terlalu dekat dengan raja, tetapi tidak boleh
terkesan menjauhi atau menghindarinya. Betapapun besarnya kepercayaan
yang diberikan raja, kita harus pandai menjaga diri karena sewaktu-waktu
raja bisa memecat kita .
“Sungguh bodoh jika kita terlalu
bergantung pada kepercayaan raja. Jangan gegabah jika duduk di dekat
raja dan beranggapan bahwa raja sangat senang dan sayang kepada kita.
Kita tidak boleh sedih atau kesal jika dimarahi dan tidak boleh terlalu
senang atau takabur jika dipuji .
“Kita harus pandai
menjaga rahasia. Jangan mau disuap oleh siapa pun. Kita tak boleh iri
pada pekerja lain, karena raja mungkin menempatkan orang tolol sebagai
orang kepercayaannya dan menggeser orang-orang yang pandai dan berbudi
baik. Hal-hal semacam itu tak perlu kita hiraukan. Kita tidak boleh
terlalu dekat dengan wanita-wanita yang ada hubungannya dengan raja. Sikap kita terhadap wanita-wanita istana harus samar dan bebas dari segala keruwetan .
“Kita
harus bisa bertahan hidup menyamar selama satu tahun. Segala kesulitan
akan teratasi dengan kerendahan hati dan kebesaran jiwa.”
Demikian petunjuk yang digariskan Yudhistira untuk dirinya sendiri dan saudara-saudaranya, termasuk untuk Dewi Draupadi .
***
Arjuna sebagai Brihannala
Yudhistira lalu mengenakan pakaian sanyasin, Arjuna berdandan seperti perempuan dan memilih nama Brihannala, sementara
Bhima, Nakula dan Sahadewa mempersiapkan diri masing-masing sesuai
dengan pekerjaan yang mereka pilih selama satu tahun masa penyamaran.
Mereka berlatih cara berjalan, berbicara, bertingkah laku dan berbagai
kebiasaan lain yang sesuai dengan penyamaran yang mereka pilih. Setelah
dirasa cukup mempersiapkan diri, mereka memasuki Negeri Matsya dengan
penuh keyakinan .
Pandawa berpencar, berusaha melamar
pekerjaan sendiri-sendiri. Tapi alangkah sulitnya mendapat pekerjaan.
Meski sudah berusaha menyamar sebaik-baiknya, jika diperhatikan dengan
saksama, sifat, wibawa dan gerakgerik mereka sebagai putra-putra raja
masih bisa terlihat .
Yudhistira, Bhima dan Draupadi
akhirnya berhasil masuk ke lingkungan istana dan diterima bekerja di
sana. Yudhistira menjadi pengawal pribadi raja, Bhima menjadi juru masak
istana, dan Draupadi menjadi pelayan pribadi Ratu Sudesha, permaisuri
Raja Wirata .
Sementara itu, Arjuna diterima sebagai guru
tari dan seni suara di sanggar tempat putra-putri bangsawan belajar.
Sahadewa menemui pengawas gembala yang bertugas mengawasi ribuan ternak
raja. Setelah diuji, Sahadewa diterima menjadi pembantunya. Pengawas
gembala itu senang karena Sahadewa rajin, cekatan dan cepat menguasai
pekerjaannya. Nakula menemui panglima prajurit berkuda dan diterima
sebagai tukang kuda .
Kedudukan panglima tertinggi Negeri
Matsya dipegang oleh Kicaka yang gagah perkasa. Ia adik Ratu Sudesha. Di
tangannya terletak keamanan Raja Wirata dan pertahanan Negeri Matsya.
Sehari-hari ia sangat berkuasa. Begitu berkuasanya dia hingga rakyat
berpendapat bahwa penguasa negeri itu sesungguhnya adalah Kicaka, bukan
Wirata .
Setelah beberapa bulan Sairandri bekerja melayani
Ratu Sudesha, Panglima Kicaka tampak sering muncul di istana tanpa
diketahui Sairandri. Diam-diam panglima itu tertarik melihat kecantikan
pelayan kakaknya .
Lama kelamaan Sairandri tahu bahwa Kicaka menyukai
dirinya. Ia berusaha untuk tidak memberi kesempatan, tetapi panglima
tampan itu sudah jatuh cinta kepadanya dan tak dapat menyembunyikan
perasaannya. Ia sering mencari-cari alasan untuk menemui Ratu Sudesha
agar bisa bertemu dengan Sairandri. Kicaka lupa, sebagai Mahasenapati
Negeri Matsya ia tak pantas menjalin cinta dengan seorang pelayan .
Kicaka merayu Sairandri
Sairandri
takut dan malu, tak berani mengatakan hal itu kepada Ratu Sudesha atau
kepada pelayan lain. Ia sadar, siapa dirinya dan bagaimana keadaannya
sekarang. Tetapi Kicaka terus berusaha menemui dan merayunya, meskipun
Sairandri selalu menghindari, menjauhi dan menolaknya. Untuk mengelabui,
Sairandri berkata kepada Kicaka bahwa dia sudah bersuami dan suaminya
raksasa yang sakti dan perkasa. Ia takut suaminya yang sakti itu secara
gaib akan membunuh siapa pun yang berani menggangunya. Tetapi Kicaka
tidak peduli .
Tingkah laku Kicaka yang semakin kurang
ajar membuat Sairandri terpaksa mengadukannya kepada Ratu Sudesha dan
memohon pertolongannya. Mengetahui itu, tanpa malu-malu Kicaka
menggunakan pengaruh kakaknya dan berkata kepada Ratu Sudesha bahwa ia
menaruh hati pada pelayannya. Ia berharap Ratu menolongnya dengan
memerintahkan pelayannya untuk menuruti perintah Kicaka .
Kicaka
berkata, “Kakakku, aku tertarik pada pelayanmu yang ayu. Semakin hari
aku semakin terpikat padanya. Makan tak enak, tidur tak nyenyak. Engkau
harus menolongku dengan meyakinkan pelayanmu bahwa aku sungguh
mencintainya dan tidak akan mempermainkannya. Tolonglah aku. Aku tak
sanggup lagi menahan gejolak asmaraku.”
Mula-mula Ratu
Sudesha menasihati saudaranya agar tidak menuruti perasaannya, karena
Sairandri sudah bersuami dan suaminya raksasa. Tetapi Kicaka tak bisa
dinasihati dan malah akan nekat. Akhirnya Ratu Sudesha menemukan gagasan
untuk menolong adiknya. Mereka lalu menyiapkan perangkap .
Pada
suatu malam, Kicaka mengadakan pesta di kediamannya. Berbagai makanan
hangat dan minuman keras disediakan untuk tamu-tamunya. Ratu Sudesha
menyuruh Sairandri mengantar kendi emas berisi minuman istimewa ke kamar
Kicaka. Mula-mula Sairandri menolak dengan alasan malu dan takut .
Sampai
di kamar Kicaka, rupanya panglima itu sudah siap menjebaknya. Ia
meminta Sairandri menginap di rumahnya. Dengan kesal Sairandri berkata,
“Mengapa Panglima yang bangsawan menghiraukan aku, pelayan keturunan
kasta terendah? Janganlah Panglima menempuh jalan yang salah. Mengapa
Panglima menghendaki perempuan yang sudah kawin seperti aku? Suamiku
raksasa, ia pasti tahu kalau istrinya diganggu orang dan ia pasti akan
membunuh pengganggu istrinya.”
Meskipun dibujuk-bujuk dan
dijanjikan akan diberi hadiah-hadiah, Sairandri tetap menolak. Dengan
kesal Kicaka mencoba memegang tangan Sairandri waktu pelayan itu
meletakkan kendi emas yang dibawanya. Dengan cepat Sairandri mengelak,
lalu lari. Kicaka mengejarnya. Berkali-kali ia hampir berhasil menangkap
pelayan itu, tetapi Sairandri selalu lolos.
Akhirnya
Kicaka marah dan menendang Sairandri sampai jatuh. Banyak yang melihat
kejadian itu, tapi tidak seorang pun berani berbuat sesuatu karena
Kicaka adalah Mahasenapati Negeri Matsya. Tidak seorang pun memikirkan
peristiwa itu sebagai kejadian serius .
Sairandri marah
dan sedih diperlakukan seperti itu. Dendam hatinya membuatnya lupa akan
bahaya yang dapat menimpa Pandawa jika mereka dikenali sebelum masa
penyamaran selesai. Malam itu juga ia pergi menemui Bhima, si juru
masak, dan menceritakan apa yang dialaminya.
Katanya, “Aku
tidak tahan lagi menghadapi Kicaka. Bunuhlah manusia terkutuk itu. Demi
kepen tingan kita, aku relakan diriku menjadi pelayan Ratu Sudesha.
Semua tugas pelayan kujalani dengan ikhlas. Aku sudah relakan diriku
menyiapkan segala sesuatu untuk Raja dan Ratu Sudesha. Tapi aku tak sudi
melayani manusia bejat itu. Jika dibiarkan, dia akan semakin kurang
ajar. Jika aku tak dapat menahan diri lagi, bisa-bisa kita semua
binasa!”
Sambil berkata demikian ia memperlihatkan tangannya yang kini kasar karena banyak bekerja .
Bhima
kaget dan geram mendengar cerita Sairandri. Ia perhatikan tangan
Sairandri yang dulu halus lembut dan kini menjadi kasar dan
tergores-gores, penuh bekas parut. Sambil menghapus air mata
Sairandri, ia berkata dengan geram, “Aku tak peduli nasihat Yudhistira
dan janji Arjuna. Aku tidak peduli apa pun yang akan terjadi. Aku akan
bunuh Kicaka malam ini juga!”
Setelah berkata begitu, Bhima bangkit dan siap pergi .
Sairandri
menahannya dan menasihatinya agar jangan tergesa-gesa. Kemudian mereka
menyusun rencana untuk menghabisi Kicaka. Bhima akan menunggu di
kegelapan, dekat sanggar tempat berlatih menabuh gamelan, pada malam
yang sudah ditentukan. Ia akan menyamar sebagai perempuan. Jadi, bukan
Sairandri yang akan menemui Kicaka, melainkan Bhima .
Beberapa
hari kemudian lagi-lagi Kicaka mencoba merayu Sairandri dan mengatakan
bahwa ia tidak bisa lagi menahan perasaannya. Katanya dengan wajah
memerah penuh nafsu,
“Wahai Sairandri, aku terpaksa
menendangmu malam itu karena engkau selalu menghindariku. Aku bisa
berbuat lebih kasar dari itu. Adakah yang akan menolongmu? Ketahuilah,
Wirata hanya raja dalam sebutan. Kekuasaan yang sebenarnya ada di
tanganku, Mahasenapati Negeri Matsya. Sekarang, jangan berpurapura atau
bersikap keras kepala. Mari puaskan dahaga asmara kita dan engkau akan
menikmati kebesaran sebagai Ratu Negeri Matsya.”
Sairandri
pura-pura menerima tawaran itu dengan berkata, “Mahasenapati Kicaka,
sebenarnya aku tidak dapat menolak permintaanmu. Tetapi, jangan sampai
ada orang tahu mengenai hubungan kita. Kalau engkau mau bersumpah untuk
merahasiakan hubungan kita, aku akan menuruti kemauanmu.”
Mendengar jawaban itu, bukan main senangnya hati Kicaka. Ia segera berjanji akan memenuhi semua syarat yang diajukan Sairandri .
Sairandri
berkata lagi, “Setiap sore, biasanya para putri belajar menari di ruang
gamelan. Malam hari mereka pulang dan tempat itu menjadi kosong, sepi,
dan gelap. Datanglah sendirian ke sana nanti malam. Aku menunggumu di
sana.”
Kicaka senang sekali. Malam itu ia mandi
sebersih-bersihnya, mengenakan pakaian terbaiknya, dan memerciki
tubuhnya dengan air wangi. Setelah hari gelap, ia pergi ke sanggar
tempat putri-putri bangsawan berlatih menari. Tempat itu kosong dan
gelap. Dengan berjingkat-jingkat ia masuk ke ruangan, melangkah maju
sampai ke sudut gelap tempat Sairandri berjanji menunggu. Dalam
kegelapan ia mengulurkan tangannya, meraba-raba. Benarlah, di sudut ia
melihat sosok wanita berdiri menunggu. Ia mempercepat langkahnya, tak
sabar ingin memeluk perempuan pujaan hatinya. Tapi... alangkah kagetnya
ia ketika menyentuh tubuh itu! Bukan kulit halus lembut yang tersentuh
tetapi kulit kasar dan tubuh berotot. Begitu disentuh, sosok itu
menyergapnya bagaikan singa galak menyergap mangsa .
Kicaka
bukan pengecut. “Ini pasti raksasa suami Sairandri yang akan
membunuhku,” pikirnya. Ia tak tahu bahwa orang itu adalah Bhima. Dia
melawan mati-matian. Terjadilah perkelahian hebat di malam yang gelap.
Kicaka memang perkasa. Kekuatannya setara dengan kekuatan Balarama atau
Bhima. Meskipun sakti dan perkasa, malam itu Kicaka tidak siap
berkelahi. Sebaliknya, Bhima memang sudah berniat membunuh Kicaka. Dalam
waktu singkat Bhima bisa menundukkan Kicaka. Dibantingnya tubuh panglima itu beberapa kali, dicekiknya, kaki dan tangannya dipatahkan hingga tubuhnya hancur tak berbentuk .
Demikianlah, Kicaka menemui ajalnya di tangan Bhima .
Bhima
segera pergi menemui Sairandri untuk memberitahu bahwa Kicaka telah
tewas. Setelah itu ia kembali lagi ke dapur, mandi membersihkan badannya
lalu tidur nyenyak .
Sementara itu, Sairandri
berlari-lari ke balai penjagaan hendak melaporkan bahwa Kicaka mati
dibunuh suaminya karena mahasenapati itu sering mengganggunya. Dengan
suara bergetar pura-pura ketakutan ia berkata, “Mahasenapati Kicaka
sering menggangguku. Padahal sudah berkali-kali kukatakan bahwa aku
sudah bersuami dan suamiku raksasa sakti. Tetapi Mahasenapati terus saja
menggangguku. Akhirnya ia mati di tangan suamiku. Oh, penjaga, lihatlah
Panglima di ruang gamelan yang gelap.”
Para penjaga
beramai-ramai pergi ke ruang gamelan. Ada yang membawa obor, ada yang
membawa golok, parang, tombak atau senjata lainnya. Mereka mendapati
Mahasenapati Negeri Matsya tidak bernyawa lagi, tubuhnya hancur tak
berbentuk. Mereka membicarakan kematian itu sambil berbisik-bisik .
Peristiwa
itu segera tersebar ke seluruh negeri. Orang mulai lebih memperhatikan
Sairandri. Di mana-mana orang membicarakan dan mengutuk Sairandri
sebagai perempuan yang berbahaya. Kaum wanita berbisik-bisik, “Perempuan
itu memang cantik, pandai dan menarik di mata laki-laki, tetapi ia
berbahaya. Apalagi dia bersuamikan raksasa. Sungguh perempuan yang bisa
membahayakan negeri ini, Ratu Sudesha dan Raja Wirata. Aku yakin, para
raksasa akan dengan mudah membunuhi orang-orang yang dilaporkan
mengganggu perempuan itu. Yang terbaik saat ini adalah mengusir
perempuan jahat itu.”
Pada suatu hari seorang utusan menghadap Ratu Sudesha dan memohon agar Ratu mengusir Sairandri yang membawa malapetaka .
“Perempuan setan,” kata mereka .
Sudesha
memanggil Sairandri dan berkata, “Tingkah lakumu dan kerjamu baik,
kebaikanmu tak perlu diragukan, tetapi kuharap engkau segera
meninggalkan istana dan negeri ini. Kami sudah cukup menerima
kebaikanmu.”
Masa penyamaran hanya tinggal satu bulan.
Sairandri memohon kepada Ratu Sudesha agar diijinkan tinggal kirakira
sebulan lagi. Dalam kurun waktu itu, para raksasa kawan suaminya akan
mengambilnya dari Negeri Matsya. Mereka akan berterima kasih kepada
Wirata dan menawarkan persahabatan untuk menghadapi musuh Negeri Matsya.
Jika sekarang Sairandri diusir, raksasa-raksasa itu pasti mengamuk,
mengobrak-abrik dan menghancurkan Negeri Matsya .
Mendengar
penuturan Sairandri, Ratu Sudesha tak berani memaksa. Pikirnya, apa
jadinya jika raksasa-raksasa itu benar-benar datang menghancurkan
istananya. Karena tidak mempunyai pilihan yang lebih baik, Ratu Sudesha
mengijinkan Sairandri tinggal lebih lama lagi .
***
Sesungguhnya,
sejak tahun ketiga belas tiba, Duryodhana telah menyebar mata-matanya
ke mana-mana. Mereka berusaha melacak dan memasang perangkap rahasia
untuk menangkap Pandawa dalam penyamaran mereka. Enam bulan berlalu...
tujuh bulan, delapan bulan, sembilan bulan, sepuluh bulan ... hingga
bulan kesebelas mereka terus berusaha, tetapi sia-sia. Para mata-mata
itu terpaksa kembali ke Hastinapura dan melaporkan bahwa mereka tidak
bisa menemukan jejak Pandawa. Mungkin Pandawa tersesat di rimba raya
lalu mati dimakan binatang buas atau mati kelaparan, mereka menyimpulkan
.
Pada suatu hari, tersiar kabar sampai ke Hastinapura
bahwa Kicaka, Mahasenapati Negeri Matsya, tewas dalam perkelahian
melawan raksasa... gara-gara seorang perempuan. Semua orang tahu, Kicaka
panglima yang gagah perkasa dan hanya ada dua orang yang mungkin bisa
menandinginya. Salah satunya adalah Bhima dari Pandawa. Siapa tahu
pembunuh Kicaka ternyata adalah Bhima yang dikira raksasa. Duryodhana
menebak-nebak, perempuan yang menjadi gara-gara itu pasti Draupadi.
Kemudian Duryodhana mengundang raja-raja sahabatnya untuk membicarakan
Pandawa yang hidup menyamar di persembunyian .
Dalam
pertemuan itu Duryodhana berkata, “Menurutku sekarang Pandawa tinggal di
ibukota Negeri Matsya. Kalian tahu, Wirata tidak sudi bersahabat dengan
kita. Jadi, baik kalau kita serang negerinya dan kita rampas ternaknya.
Jika benar Pandawa ada di sana, mereka pasti akan muncul membantu
pasukan Wirata karena merasa berhutang budi. Dengan begitu, mungkin kita
bisa membongkar penyamaran Pandawa sebelum tahun ketiga belas habis dan
memaksa mereka hidup di pengasingan selama dua belas tahun lagi.
Tetapi, seandainya Pandawa tidak ada di sana, tak apa-apa.”
Susarma,
raja Negeri Trigata, yang hadir di pertemuan itu menyetujui usul
Duryodhana dengan sepenuh hati. Katanya, “Raja Negeri Matsya adalah
musuhku. Kicaka, mahasenapati negeri itu, selalu mengganggu dan
mengobrak-
abrik kerajaanku dengan sombong. Kematiannya pasti melumpuhkan kekuatan Wirata. Sekarang juga kita serang dia,” katanya .
Karna mendukung usul Susarma. Demikianlah, pertemuan itu menyetujui rencana penyerbuan ke Negeri Matsya .
“Susarma
menyerang Wirata dari selatan. Jadi, prajurit Negeri Matsya pasti akan
dikerahkan ke selatan untuk menghadapi balatentara Susarma. Kemudian,
jika pertempuran di selatan semakin menghebat, Duryodhana dan pasukan
Kaurawa akan melancarkan serangan tiba-tiba dari utara. Wilayah utara
pasti kurang dijaga karena perhatian terpusat pada pasukan Matsya yang
sedang bertempur di selatan,” demikian kesepakatan mereka .
Demikianlah,
Susarma dan balatentaranya menyerang Negeri Matsya dari selatan. Mereka
merampas ternak, merusak dan menghancurkan tanaman di sawah dan ladang
penduduk. Para gembala dan petani lari tunggang langgang mencari
perlindungan. Laporan disampaikan kepada Wirata bahwa wilayah selatan
kerajaan telah diduduki balatentara Susarma. Wirata bingung karena
Kicaka sudah mati. Jika Kicaka masih hidup, Susarma pasti tak berani
menyerang Negeri Matsya .
Mengetahui situasi buruk itu,
Kangka, sanyasin, yang sehari-hari melayani Wirata, berkata kepada raja,
“Tuanku tak perlu khawatir. Walaupun aku ini pertapa atau sanyasin,
sesungguhnya aku juga ahli pertempuran. Aku akan bertempur untuk Tuanku.
Aku akan mengendarai kereta bersenjata lengkap dan mengusir musuh-musuh
Tuanku. Sudilah Tuanku memerintahkan Walala, juru masak istana,
Dharmagranti, si tukang kuda, dan Tantripala, si gembala sapi, untuk
membantu menghadapi musuh. Kudengar mereka pernah menjadi kesatria
perang. Kalau mereka bisa dikumpulkan dan dipersenjatai, musuhmusuh
Tuanku pasti akan hancur.”
Raja Wirata menyetujui usul
Kangka dan memerintahkan orang-orang itu dipanggil dan dipersenjatai.
Demikianlah, Kangka, Walala, Dharmagranti, dan Tantripala yang tiada
lain adalah Yudhistira, Bhima, Nakula dan Sahadewa masuk ke barisan
tentara Negeri Matsya untuk bertempur menghadapi pasukan Susarma .
Pertempuran
hebat tak terhindarkan. Korban berjatuhan di kedua pihak. Susarma
mencari sasarannya, yaitu Wirata. Ia mengepung kereta Wirata, memaksanya
turun dan menangkapnya. Balatentara Negeri Matsya mundur, kucar-kacir,
dan takut bertempur karena raja mereka ditawan musuh. Tetapi Kangka
memerintahkan Walala untuk langsung menggempur Susarma, membebaskan
Wirata, dan mengumpulkan kembali balatentaranya .
Mendengar perintah itu, Walala segera bersiap hendak mencabut sebatang pohon besar untuk dijadikan senjata .
Begitulah
memang kebiasaan Bhima jika bertempur. Tetapi Kangka melarangnya,
“Jangan berbuat demikian! Ingat, kau jangan berteriak-teriak dalam
pertempuran ini! Penyamaranmu akan terbongkar jika orang mengenalimu
dari kebiasaan-kebiasaanmu. Bertempurlah sebagai orang biasa, sebagai
prajurit biasa yang naik kereta dan bersenjata panah dan tombak.”
Patuh
akan perintah kakaknya, Walala naik kereta dan maju bertempur. Ia
berhasil membebaskan Wirata, menangkap Susarma dan menyatukan kembali
pasukan Matsya. Pertempuran di daerah selatan makan waktu berhari-hari,
membuat penduduk ibu kota Negeri Matsya prihatin. Begitu berita
kemenangan sampai ke ibu kota, rakyat lega dan gembira. Mereka turun ke
jalan-jalan, bergembira dan menghias ibu kota seindah-indahnya .
Ketika
penduduk ibu kota Negeri Matsya sedang sibuk mempersiapkan penyambutan
untuk Raja Wirata yang kembali dari medan pertempuran di daerah selatan,
datang berita bahwa dari utara mereka diserang oleh Duryodhana dan
pasukannya. Mereka menyerang, merampas harta benda, ternak, dan
mengobrak-abrik beberapa desa di perbatasan. Akhirnya mereka menduduki
wilayah kerajaan di utara!
Para gembala dan petani
berlarian ke ibu kota. Mereka melaporkan kepada Pangeran Uttara, putra
mahkota Negeri Matsya, bahwa balatentara Kaurawa menyerbu dari utara.
Mereka memohon,
“Wahai Pangeran Uttara, balatentara Kaurawa
menyerbu dari utara, merampas sapi, biribiri, kambing dan harta-benda
kami, sementara Paduka Raja Wirata bertempur di selatan, mengusir
balatentara Negeri Trigata. Kami tak punya tempat mengadu kecuali
Pangeran. Kami mohon, lindungilah kami dan usirlah mereka! Pulihkan
kedaulatan Negeri Matsya demi kehormatan keluarga Tuanku!”
Mendengar itu, Pangeran Uttara
berkata dengan sombong di depan permaisuri dan putri-putri istana,
“Kalau saja aku bisa mendapat seorang sais handal, aku akan usir semua
musuh itu sendirian. Akan aku kembalikan semua ternak dan harta-benda
yang mereka rampas. Kalian harus tahu, aku ahli menggunakan senjata. Di
dunia ini, hanya Arjuna yang mungkin dapat menandingi aku, Uttara.
Sayangnya, aku tidak punya sais kereta.”
Waktu itu
Sairandri sedang berada di kamar Ratu Sudesha. Mendengar Pangeran Uttara
berkata demikian, ia keluar menemui Uttari dan berkata, “Tuanku Putri
Uttari, negeri kita ditimpa malapetaka besar. Jika saudaramu tidak bisa
mendapat sais kereta, panggil saja Brihannala si guru tari. Aku
dengar, ia pernah menjadi pengemudi kereta di Negeri Indraprastha dan
pernah melayani Arjuna. Ia banyak belajar dari Arjuna tentang siasat perang dan pertarungan.”
Uttari
menemui saudaranya dan berkata, “Aku dengar dari Sairandri bahwa dulu
Brihannala adalah sais kereta yang cekatan. Ia bahkan pernah menjadi
sais kereta Arjuna di Indraprastha. Panggillah dia dan majulah bersama
dia. Usir musuh kita! Kalau tidak, Negeri Matsya akan punah.”
Pangeran Uttara menyetujui usul Uttari. Ia segera menyuruh orang memanggil Brihannala .
Uttari
berkata kepada guru tari itu, “Pasukan Kaurawa memasuki wilayah negeri
kita dari utara, merampas kekayaan dan harta benda milik rakyat di
perbatasan. Kata Sairandri engkau pernah menjadi sais kereta Arjuna.
Pergilah bersama saudaraku untuk mengusir musuh. Uttara akan
melindungimu dari hantaman musuh.”
Brihannala pura-pura
lupa bagaimana caranya menggunakan senjata dan memegang kendali kuda.
Tetapi ia berkata bahwa dirinya akan senang jika diijinkan ikut
berperang. Sambil mengemudikan kereta, ia berkata kepada para wanita
yang mengantar Pangeran Uttara berangkat ke medan perang, “Putra Mahkota
pasti menang. Kami akan hancurkan musuh. Jubah mereka yang bersulam
benang emas akan kami rampas dan kami persembahkan kepada kalian.”
Setelah
berkata demikian, ia melecut kudanya dan melarikan kereta dengan
kencang. Para wanita itu terheran-heran. Siapa sebenarnya guru tari yang
menjadi sais kereta itu?
***
BERSAMBUNG
CATATAN TAMBAHAN (ADMIN)
1.
Yudhistira menyamar sebagai sanyasin dan menghiburnya dengan
membacakan ramalan, membicarakan wasiat, membacakan tafsir Weda dan
Wedanga, atau menemaninya mendalami falsafah, budi pekerti, ilmu tata
kerajaan dan hal-hal lain.
Karena: Yudistira memang yang paling
religius di antara semua Pandawa... ilmu kebatinannya tinggi, dia
paling mendalami falsafah, budi pekerti, dan dia paham akan tata
kerajaan karena sudah pernah menjadi MAHARAJA
2. Bhima
menyamar sebagai JURU MASAK di istana. Kalian tahu, aku doyan makan dan
pandai memasak. Aku terampil memasak untuk orang banyak, misalnya
untuk pesta-pesta.
3. Arjuna menyamar menjadi perempuan pelayan dan guru tari, karena 2 hal penting:
a.
Dia harus menutupi lengannya dari bekas goresan tali busur panah, yang
meninggalkan bekas parut... dengan pakaian wanita, semua bekas
parutnya akan tertutup oleh baju, selendang dan gelang-gelang.
b.
Karena menolak tawaran asmara Urwasi dengan alasan dia kuanggap sebagai
ibunya (Urwasi pernah berhubungan asmara dengan kakek moyang Arjuna),
ia mengutuknya pastu menjadi banci seumur hidup, tapi hukuman itu
dilunakkan oleh Batara Indra (ayah biologis Arjuna) menjadi 1 tahun,
Arjuna boleh memilih waktunya.
4. Nakula: dalam
Mahabharata dia dikenal sebagai Pandawa yang paling tampan rupanya
(bukan Arjuna), selain itu dia mahir dalam melatih kuda. Sehingga dia
menyamar menjadi TUKANG KUDA
5. Sahadewa: dalam
Mahabharata dia dikenal sebagai Pandawa yang otaknya paling encer!!!
Jarang ada yang tahu ttg hal ini... selain itu dia gemar memelihara
ternak, sehingga dia menjadi gembala sapi
Hal lain yang perlu diketahui mengenai Sahadewa: dia bisa melihat /menerawang ke masa lalu
0 komentar :
Posting Komentar