32. Kedaulatan Negeri Matsya Dipertaruhkan
Sairandri dan Pangeran Uttara
Uttara
meninggalkan ibukota Negeri Matsya dengan kereta yang dikemudikan
Brihannala. Ia memerintahkan sais itu memacu kuda sekencang-kencangnya
ke arah balatentara Kaurawa. Jauh di kaki langit tampak sebaris titik,
memanjang, melingkar-lingkar, diselimuti debu yang mengepul ke angkasa.
Itu pasti pasukan Kaurawa dalam jumlah besar .
Makin dekat
makin jelas sosok mereka. Mula-mula tampak kereta-kereta yang dinaiki
Bhisma, Drona, Mahaguru Kripa, Duryodhana dan Karna. Melihat rombongan
Kaurawa, hati Uttara tiba-tiba menjadi kecut. Dia menyuruh Brihannala
melambatkan keretanya. Uttara sangat ketakutan. Mulutnya terasa kering,
bulu romanya berdiri, dan keringat dingin mengucur dari dahinya. Tangan
dan kakinya gemetar. Ia menutupi matanya dengan kedua tangannya dan
berkata lirih kepada Brihannala, “Bagaimana mungkin aku sendirian
melawan musuh sebanyak itu? Aku tidak membawa pasukan. Semua prajurit
dibawa ayahku ke selatan. Tidak mungkin aku melawan kesatriakesatria
yang termasyhur ahli berperang itu. Brihannala, berbaliklah! Kita
pulang.”
Brihannala menjawab, “Tuanku, engkau berangkat
dengan semangat berapi-api hendak menghancurkan musuh. Permaisuri,
penghuni istana dan rakyat mempercayakan nasib mereka kepadamu.
Sairandri memuji-muji aku dan membuat engkau mengangkatku menjadi
saismu. Kalau kita kembali sekarang, tanpa merebut ternak kita yang
dirampas musuh, kita akan ditertawakan. Aku tidak akan membelokkan
kereta ini. Mari kita maju terus dan bertempur! Jangan gentar!”
Uttara
berkata dengan gugup, “Aku tidak mau, aku tidak mau! Biarlah Kaurawa
merampas ternak kita, biarlah perempuan-perempuan menertawakan aku, aku
tidak peduli. Apa gunanya melawan musuh yang jauh lebih kuat dan lebih
besar jumlahnya? Itu namanya tolol! Belokkan kereta! Kalau tidak, aku
akan meloncat turun dan pulang dengan berjalan kaki.”
Setelah
mengucapkan kata-kata itu, Uttara membuang senjata-senjatanya sambil
meloncat turun dari kereta. Rasa takut melihat kekuatan musuh mencekam
jiwanya dan membuatnya panik. Ia lari kalang kabut, kembali ke ibu kota .
Brihannala
mengejar Uttara sambil memanggil-manggil agar pangeran itu berbuat
sebagai kesatria. Rambut panjang dan pakaian Brihannala melambai-lambai
ditiup angin kencang. Uttara makin mempercepat larinya. Akhirnya
pangeran itu terkejar juga. Uttara meminta agar Brihannala membiarkannya
pulang .
Uttara berkata dengan suara mengiba,
“Aku satu-satunya anak lelaki ibuku. Aku dibesarkan di pangkuan ibuku.
Aku tak mau meninggalkan ibuku. Aku takut, aku takut sekali! Aku takut
mati bertempur melawan musuh!”
Brihannala
berusaha melepaskan Uttara dari ketakutannya dan membangkitkan
keberaniannya. Ia menggenggam tangan Uttara dan memaksanya naik lagi ke
kereta .
Uttara menangis dan berkata terbata-bata, “Alangkah malunya aku, terlanjur omong besar. Apa jadinya aku nanti?”
Brihannala
menghiburnya, “Jangan takut! Aku yang akan menghadapi Kaurawa. Bantu
aku, pegang tali kekang ini, selebihnya serahkan padaku. Percayalah
padaku, tidak ada gunanya lari dari pertempuran. Akan kita enyahkan
musuhmu dan kita dapatkan kembali semua ternak yang mereka rampas.
Kemenangan pasti di pihak kita. Percayalah!”
Setelah
berkata demikian, Brihannala meminta Uttara agar menghela kereta itu ke
arah sebatang pohon besar di dekat kuburan. Sampai di dekat kuburan,
Brihannala meminta Uttara naik ke pohon besar itu dan mengambil
senjata-senjatanya yang disembunyikannya di sana. Uttara memejamkan
mata, tak berani memanjat pohon itu .
“Kata orang di pohon
ini pernah tergantung mayat nenek tua yang berubah menjadi setan. Aku
tak berani memegang mayat itu. Mengapa kau menyuruhku melakukan ini?”
kata Uttara .
“Dengar, Pangeran, itu tidak benar!
Itu bukan mayat. Itu kantong kulit. Di sana tersimpan senjata-senjata
sakti milik Pandawa. Naiklah dan bawa turun senjata-senjata itu. Cepat!
Jangan buang-buang waktu,” kata Brihannala tegas .
Karena
Brihannala terus mendesak, Uttara terpaksa menurut. Ia memanjat pohon
itu lalu mengambil kantong kulit besar yang disembunyikan di balik
daun-daunan. Alangkah kagetnya dia ketika melihat isi kantong itu:
senjata-senjata yang gemilang! Cepat-cepat dibawanya kantong itu turun
dan diserahkannya kepada saisnya. Brihannala menyuruh Uttara meraba
senjata-senjata itu. Begitu menyentuh senjata-senjata itu, Uttara merasa
ada arus kekuatan gaib merasuki tubuhnya dan menguatkan jiwanya.
Matanya sekarang berbinar memancarkan semangat baru .
Ia
bertanya kepada Brihannala, “Alangkah anehnya! Katamu senjata-senjata
ini milik Pandawa. Bukankah kerajaan mereka dirampas Kaurawa dan mereka
diusir ke hutan oleh Kaurawa? Bagaimana mungkin engkau bisa tahu tentang
senjata-senjata ini?”
Secara ringkas Brihannala berkata
bahwa sebenarnya sudah hampir satu tahun Pandawa tinggal di ibu kota
Negeri Matsya dan bekerja mengabdi Raja Wirata. Mereka adalah Kangka,
Walala, Dharmagranti, Tantripala, dan Sairandri. Brihannala juga
bercerita tentang kematian Mahasenapati Kicaka yang berani menghina
Draupadi .
“Aku ini Arjuna. Putra Mahkota, jangan
takut. Engkau akan melihat bagaimana aku menaklukkan Kaurawa. Biarpun di
pihak Kaurawa ada Bhisma, Drona, Duryodhana dan Aswatthama, kita harus
rebut kembali ternak dan harta yang mereka rampas. Dan engkau akan
menjadi masyhur. Semua ini akan menjadi pelajaran berharga bagimu,” kata Arjuna meyakinkan Uttara .
Uttara
segera mengatupkan kedua telapak tangannya, memberi hormat kepada
Arjuna, dan berkata, “Tak kusangka engkau adalah Arjuna. Alangkah
beruntungnya aku dapat bertemu denganmu. Arjuna, kau kesatria perkasa.
Engkau telah menanamkan keberanian dalam jiwaku. Maafkan kesalahanku
karena kedunguanku.”
Di kereta yang dikemudikan Uttara, Arjuna bercerita tentang kisah-kisah kepahlawanan untuk membangkitkan keberanian Uttara .
Kini kereta semakin mendekati pertahanan pasukan Kaurawa. Arjuna minta agar kereta dihentikan. Kemudian mereka turun. Perhiasan
wanita ditanggalkannya, rambutnya yang panjang diikat, pakaian
perempuan ditukarnya dengan pakaian perang, dan senjata-senjatanya
disiapkan. Dengan menghadap Batara Surya di arah timur, Arjuna bersila
dan bersembahyang, memuja dan berdoa. Setelah selesai, ia berdiri
tegak penuh keagungan, membuat Uttara terkagum-kagum. Pangeran itu
bangkit semangatnya. Ia naik ke kereta. Arjuna mengangkat busur Gandiwa,
memasang anak panah, membidik ke angkasa, menarik tali busur, dan ...
meluncurlah anak panah itu membelah angkasa dengan bunyi
mendesing-desing. Kemudian Arjuna meniup terompet kerangnya yang bernama
Dewadatta. Suaranya menderu menggema ke seluruh penjuru!
Mendengar
bunyi itu, pasukan Kaurawa terkejut. Mereka saling berpandangan. Dengan
telinganya yang tajam, Drona memastikan bahwa suara itu berasal dari
desingan anak panah Gandiwa dan gema terompet kerang Dewadatta milik
Arjuna. Drona membisikkan hal itu kepada Karna yang menanggapi, “Mana
mungkin itu Arjuna? Apa peduli kita kalaupun ia ada di sini? Apa yang
bisa ia lakukan sendirian menghadapi kita, jika Pandawa lainnya bersama
Wirata pergi ke selatan melawan Susarma? Paling-paling ia hanya bersama
Uttara, Putra Mahkota yang pengecut itu!”
Duryodhana
menyambung, “Kenapa kita mesti pusing-pusing? Walaupun itu Arjuna,
paling-paling ia hanya akan menyerahkan diri ke tangan kita untuk
ditemukan sebelum waktunya. Dan, karena itu kita bisa mengirim Pandawa
ke hutan selama dua belas tahun lagi.”
Dari kejauhan
tampak sesuatu bergerak kencang. Debu mengepul bagaikan ekor binatang.
Sekali lagi terdengar desing Gandiwa dan gema Dewadatta .
“Pasukan kita diserbu. Itu Arjuna datang menyerbu mereka,” kata Drona dengan prihatin .
Duryodhana
kesal melihat sikap Drona seperti itu. Ia berkata kepada Karna, “Sumpah
Pandawa adalah menerima pengasingan di hutan selama dua belas tahun dan
setahun bersembunyi tanpa dikenali. Tahun ketiga belas belum habis,
tetapi Arjuna sudah berani muncul. Kenapa kita mesti prihatin? Mereka
harus mengembara di hutan selama dua belas tahun lagi. Drona terlalu
banyak mempelajari falsafah hingga jadi penakut. Biarlah ia bersembunyi
di belakang, kita maju terus!”
Karna mengangguk setuju dan
berkata, “Memang, jika tidak biasa bertempur pasti gemetar. Kalaupun
yang datang memang Arjuna, kenapa kita mesti takut? Parasurama
sekalipun, aku tidak gentar. Aku akan hadang ia kalau ia berani maju.
Balatentara Matsya mungkin bisa merebut kembali ternak mereka, tetapi
Arjuna harus berhadapan dengan aku.”
Kemudian Karna membunyikan terompetnya sendiri dan meledakkan senjatanya tanda ia siap bertempur .
Mahaguru
Kripa yang mendengar kata-kata Karna menasihati, “Jangan berbuat tolol.
Kita harus menyerang Arjuna bersama-sama dan serentak. Hanya dengan
cara itu kita akan berhasil. Jangan omong besar dan berperang tanding
sendirian.”
Karna naik pitam. Ia berkata lantang, “Oh,
Mahaguru Kripa ternyata sudah mulai menyanyikan lagu pujian untuk
Arjuna. Apakah karena takut atau karena sayang kepada Pandawa? Aku tidak
tahu. Yang aku tahu, para tetua semua takut dan menasihatkan agar kita
tak usah bertempur. Kalau begitu, sebaiknya kalian tinggal di belakang
dan menonton saja. Seharusnya, mereka yang telah makan garam di
Hastinapura berani maju bertempur .
“Aku hanya mengenal
cinta kepada kawan dan benci kepada musuh. Aku takkan mundur! Apa guna
mereka mempelajari kitab-kitab suci, jika sampai di sini hanya
memuji-muji musuh?”
Aswatthama, putra Drona dan kemenakan Mahaguru Kripa, tak tahan mendengar sindiran tajam Karna. Ia menyahut, “Kita
belum membawa pulang ternak ke Hastinapura. Kita belum memenangkan
pertempuran. Omong besarmu tidak ada gunanya. Mungkin kami bukan
golongan kesatria; mungkin kami tergolong orang yang hanya membaca-baca
mantra, Weda dan kitab-kitab Sastra. Meski demikian, kami belum pernah
menemukan ajaran yang menyatakan bahwa seorang raja dikatakan kesatria
jika bisa merampas kerajaan lain dengan tipu daya dalam permainan dadu .
“Dengarlah,
Karna. Mereka yang telah bertempur mati-matian dan menaklukkan banyak
kerajaan tidak pernah menyombongkan kemenangan mereka. Tapi... engkau?
Aku belum pernah melihat hasil perbuatanmu yang pantas engkau banggakan .
“Api
tidak ribut tetapi membakar. Matahari bersinar bukan untuk dirinya.
Bumi memeluk segala yang ada di bahunya tanpa berisik. Pujian apakah
yang pantas diberikan kepada kesatria yang merampas kerajaan lain dengan
tipu daya dalam permainan dadu? Keberhasilan menipu Pandawa tidak pantas dibanggakan, ibarat menangkap burung piaraan sendiri dengan perangkap yang hebat .
“Duryodhana
dan Karna, pertempuran apakah yang telah kalian menangkan melawan
Pandawa? Pantaskah kalian merasa bangga karena telah mempermalukan
Draupadi? Kalian hampir saja menghancurkan bangsa Kuru, seperti si
pandir menebang pohon cendana karena mabuk oleh keharumannya .
“Melemparkan
dadu untuk mendapat angka 4 atau 2 tidak sesulit menghadapi desing
Gandiwa Arjuna. Apa kalian kira Sakuni bisa menyulap jalannya
pertempuran agar kita menang? Mungkin kita semua sudah gila.”
Para
pemimpin pasukan Kaurawa mulai berperang mulut, saling mencaci dan
memaki. Bhisma sedih melihat itu dan berkata dengan sabar, “Orang
yang berbudi luhur tidak akan mencaci-maki mahagurunya. Orang yang
pergi berperang pasti sudah memperhitungkan segala kemungkinan, yaitu
tempat, waktu, dan situasi .
“Memang, orang
pandai bisa juga kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Karena marah,
Duryodhana lupa bahwa kita berhadapan dengan Arjuna yang sekarang, bukan
Arjuna yang dulu. Pikiranmu gelap terselubung amarah dan dendam
kesumat, Duryodhana .
“Aswatthama, jangan
kaumasukkan kata-kata Karna yang tajam itu ke dalam hatimu. Jadikan itu
sebagai peringatan agar kau mawas diri dan lebih cermat dalam bertindak .
“Sekarang bukan waktunya untuk berkelahi atau
membesar-besarkan perbedaan. Drona, Mahaguru Kripa dan Aswatthama harus
memaafkan Karna. Kaurawa tak mungkin menemukan mahaguru yang hebat
seperti Kripa dan Drona serta Aswatthama, putra Drona, yang sakti dan
perkasa. Mereka adalah kesatria-kesatria sakti yang mumpuni dalam ilmu
kitab suci .
“Kita tahu, kecuali Parasurama, tak seorang
pun bisa menandingi Drona. Kita hanya bisa menaklukkan Arjuna jika kita
serang dia bersama-sama. Mari kita hadapi tugas berat ini bersama-sama.
Kalau kita terus bertengkar, kita tidak akan bisa menundukkan Arjuna.”
Demikianlah
nasihat Bhisma, sesepuh yang dimuliakan dan disegani seluruh bangsa
Kuru. Semua terdiam dan tertunduk mendengar kata-kata Bhisma!
Bhisma menoleh kepada Duryodhana, lalu melanjutkan,
“Wahai
Raja para Kaurawa, Arjuna sudah datang. Waktu tiga belas tahun yang
ditetapkan sebagai masa pengasingan dan persembunyian Pandawa telah
habis kemarin. Perhitunganmu salah. Tanyakan kepada pendita yang tahu
tentang pergantian hari, bulan dan peredaran bintang-bintang. Aku tahu
masa pengasingan mereka sudah selesai ketika kita mendengar deru
terompet Arjuna. Sekarang Pandawa telah bebas. Pikirkan baik-baik
sebelum memutuskan untuk bertempur. Jika engkau mau berdamai dengan
Pandawa, sekaranglah waktunya. Apa yang engkau kehendaki? Perdamaian
yang adil dan terhormat, atau ... kehancuran bersama dalam peperangan?
Pertimbangkan baik-baik dan tentukan pilihanmu.”
Duryodhana
menjawab, “Kakek Yang Mulia, aku tidak ingin berdamai. Aku tidak sudi
menyerahkan satu desa pun kepada Pandawa. Mari bersiap untuk perang.”
Drona
berkata, “Kalau demikian, biarlah Baginda Duryodhana kembali ke
Hastinapura dikawal seperempat balatentara kita. Separo dari balatentara
yang ada akan mengawal ternak dan barang rampasan yang dibawa ke
Hastinapura sebagai bukti bahwa kita menang perang. Dengan kata lain,
tanpa ternak-ternak itu berarti kita menerima kekalahan. Lalu,
balatentara yang tersisa akan mengawal kita berlima, Bhisma, Kripa,
Karna, Aswatthama dan aku sendiri, untuk menghadapi Arjuna.”
Kemudian,
balatentara Kaurawa diatur menurut pembagian itu. Arjuna tidak melihat
Duryodhana dalam pasukan Kaurawa yang dihadapinya. Ia berkata kepada
Uttara, “Aku tidak melihat Duryodhana dan keretanya. Aku hanya melihat
Bhisma. Mungkin Duryodhana sedang merebut ternak kita. Ayo kita kejar
dia dan kita rebut kembali ternak kita.”
Uttara melecut
kudanya ke arah yang ditunjukkan Arjuna. Mereka mengejar pasukan Kaurawa
yang menggiring ternak dan membawa barang-barang rampasan. Arjuna
menyerang pasukan itu hingga mereka tunggang langgang meninggalkan
ternak dan barang-barang rampasan. Setelah musuh kabur, Arjuna menyuruh
para gembala mengambil kembali ternak mereka .
Kemudian
Arjuna mencari Duryodhana. Mengetahui hal itu, Bhisma mengerahkan
pasukan Kaurawa untuk membantu Duryodhana. Mereka mengepung Arjuna. Tahu
dirinya dikepung, Arjuna memutuskan untuk menggempur pemimpin
balatentara Kaurawa satu per satu. Pertama, diserangnya Karna dengan
serangan kilat. Karna tak mampu melawan. Ia terpelanting jatuh dari
keretanya. Kemudian Arjuna menerjang Drona hingga terjengkang.
Aswatthama melihat ayahnya kalah lalu cepat-cepat membantu. Serangan
Aswatthama berhasil ditangkis Arjuna. Justru Aswatthama yang dibuat
tidak berkutik karena serangan Arjuna yang bertubi-tubi .
Mahaguru Kripa menyerang Arjuna dari belakang, dibantu oleh Bhisma dan Duryodhana .
Arjuna
ingin melumpuhkan mereka satu per satu, karena ia sadar tidak punya
teman apalagi pasukan. Arjuna berhasil menghindari serangan Kripa dan
Bhisma. Lalu ia memusatkan serangannya pada Duryodhana. Pangeran
itu ingin sekali memancung leher Arjuna, tetapi ia justru dihujani
panah dan terpaksa lari terbirit-birit seperti pengecut .
Karena kewalahan menghadapi Mahaguru Kripa dan Bhisma yang terus menyerangnya, Arjuna memutuskan untuk mengeluarkan ajian pembius.
Ia lalu membuat kedudukan musuhnya terpusat. Setelah lawan berada dalam
posisi yang diinginkannya, Arjuna melemparkan senjata saktinya ke
tengah-tengah balatentara Kaurawa. Satu per satu orang-orang itu jatuh
pingsan. Dengan mudah Uttara dan Arjuna merampas jubah mereka, sebagai tanda kemenangan .
Arjuna
berkata kepada Uttara, “Belokkan arah kereta. Ternak dan harta benda
telah kembali kepada rakyat kita dan musuh sudah kita taklukkan. Wahai
Putra Mahkota, pulanglah engkau dan bawalah berita kemenangan ini.”
Sebelum
sampai ke istana, Arjuna menyimpan kembali senjata-senjatanya di tempat
rahasia, membersihkan diri dan mengganti pakaiannya kembali seperti
Brihannala, sang guru tari. Kemudian ia mengirim utusan ke ibu kota
Matsya untuk menyampaikan berita kemenangan gemilang Uttara kepada Raja
Wirata .
Di tempat pertempuran, Duryodhana kembali ke induk pasukannya.
Dilihatnya Bhisma dan yang lain-lain baru saja siuman dan jubah mereka
tidak ada lagi. Artinya, Kaurawa kalah dan sebaiknya mundur. Dengan
memikul kekalahan besar, Kaurawa kembali ke Hastinapura .
***
Dari
arah selatan, Raja Wirata diiringkan balatentaranya kembali ke ibu kota
setelah mengalahkan Raja Susarma dari Negeri Trigata. Rakyat
mengelu-elukannya. Tetapi, sesampainya di istana, Wirata tak menemukan
Uttara. Permaisuri dan para putri memberi tahu bahwa Uttara pergi ke
utara menggempur Kaurawa yang menduduki sebagian wilayah Kerajaan
Matsya. Mereka berharap semoga Uttara dapat menaklukkan musuhnya.
Setelah tahu bahwa putranya hanya ditemani oleh Brihannala, guru tari
yang banci, Raja Wirata pasrah. Ia yakin, putranya pasti kalah dan
terbunuh dalam pertempuran .
“Anakku tercinta sekarang pasti sudah tewas,” katanya sedih .
Ia
lalu memerintahkan menterinya untuk mengirimkan pasukan terkuat ke
utara guna membantu Putra Mahkota Uttara. Jika pangeran itu masih hidup,
pasukan itu harus membawanya pulang. Pasukan rahasia dan pencari jejak
dikirim ke segala penjuru untuk mengetahui ke mana Uttara pergi dan
bagaimana nasibnya .
Kangka mencoba menghibur Wirata
dengan mengatakan bahwa Putra Mahkota pasti selamat dan dapat
memenangkan pertempuran karena ia didampingi Brihannala sebagai sais
kereta .
“Kekalahan Susarma di selatan pasti sudah diketahui Kaurawa. Mereka pasti gentar dan memilih mundur,” kata Kangka hati-hati .
Sementara
itu, utusan Uttara tiba, mengabarkan berita kemenangan. Ternak dan
harta benda yang dirampas sudah kembali ke tangan rakyat .
Wirata
tak percaya. Menurutnya, berita itu terlalu dibesar-besarkan. Kangka
terus berusaha meyakinkan Wirata bahwa berita itu memang benar. Bagi
Wirata, kemenangan putranya merupakan suatu keajaiban. Karena
gembiranya, ia berikan hadiah besar kepada pembawa berita itu. Kemudian
ia memerintahkan para menteri, pimpinan pasukan dan seluruh penduduk ibu
kota untuk menyambut kembalinya Putra Mahkota Uttara dari medan perang .
Berkatalah
Wirata, “Kemenanganku melawan Susarma tidak berarti apa-apa. Kemenangan
yang sebenarnya adalah kemenangan Putra Mahkota. Siapkan upacara
kemenangan dan persembahyangan syukur di seluruh negeri. Pasang
umbul-umbul aneka warna dan hiasi jalan-jalan agar semarak. Kerahkan
penduduk untuk mengadakan arak-arakan gamelan, genderang, dan tetabuhan.
Siapkan upacara penyambutan paling meriah untuk Putra Mahkota yang
berhati singa!”
Setelah memberi perintah, Wirata pergi ke
beranda untuk berstirahat. Ia memanggil Sairandri dan Kangka. Mereka
disuruhnya mempersiapkan permainan dadu. Sambil bermain dadu, Wirata
berkata, “Aku sangat bahagia. Lihatlah, betapa perkasanya anakku Uttara!
Ia telah menaklukkan kesatria-kesatria Kaurawa.”
“Benar
demikian. Putra Mahkota Uttara beruntung didampingi sais kereta seperti
Brihannala yang tangkas dan tahu bagaimana mengemudikan kereta perang.”
Wirata
merasa tersindir dan tidak suka mendengar kata-kata Kangka. Ia marah
dan berkata lantang, “Kenapa engkau berulang-ulang menyebut nama si
banci, padahal aku sedang bahagia karena putraku memenangkan
pertempuran? Bukankah sudah sepantasnya aku memuji putraku yang gagah
perkasa? Kenapa engkau justru menekankan ketangkasan si banci sebagai
sais kereta?”
“Aku tahu Brihannala bukan orang biasa.
Kereta yang dikemudikannya pasti takkan salah arah dan ia pasti pantang
menyerah. Brihannala selalu yakin akan bisa memetik kemenangan gemilang
siapa pun musuhnya,” jawab Kangka tenang.
Wirata tidak
dapat menahan amarahnya. Ia menganggap kata-kata Kangka sebagai
penghinaan terhadap anak dan dirinya sendiri. Ia naik pitam.
Dilemparkannya dadu ke wajah Kangga, melukai pipinya hingga berdarah.
Sairandri, yang kebetulan lewat, melihat darah di pipi Kangka. Dengan
cepat disekanya wajah Kangka dengan sari-nya. Darah Kangka yang titik
ditampungnya dalam cawan emas .
Melihat itu Wirata semakin
marah. Apalagi karena Sairandri melakukannya di hadapannya, penguasa
tertinggi Negeri Matsya. Wirata menghardik, “Kurang ajar! Kenapa engkau
menadahi darah Kangka dengan cawan emas?”
“Tuanku Raja, darah seorang sanyasin tidak boleh jatuh ke bumi,” jawab Sairandri tenang.
“Kalau sampai darahnya menetes ke bumi, hujan tidak akan turun di
negeri ini selama beberapa tahun, tanah akan retak kekeringan dan rakyat
akan mati kelaparan. Karena itu, darahnya kutampung dalam cawan emas.
Aku khawatir, Tuanku Raja belum mengenal kebesaran Kangka,” Sairandri menambahkan .
Sementara percakapan itu berlangsung, seorang pengawal mengabarkan kedatangan Uttara, diiringkan Brihannala,
yang ingin segera menghadap Baginda Raja .
“Persilakan mereka menghadapku,” kata Wirata kepada pengawal itu .
Kesempatan
itu dipergunakan Kangka untuk membisiki si pengawal agar Uttara datang
menghadap sendirian, jangan sampai Brihannala ikut. Kangka berbuat
demikian karena Raja sedang marah. Ia tahu, Brihannala alias Arjuna pasti marah jika melihat pipi Kangka alias Yudhistira berdarah karena dia sangat menyayangi saudaranya .
Uttara
masuk dan menyembah Raja Wirata. Waktu menoleh ke arah Kangka, hendak
mengucapkan salam hormat, ia terkejut melihat darah kering di wajah
lelaki itu. Sekarang Uttara sadar, Kangka tiada lain adalah Yudhistira
yang agung .
“Tuanku Raja, siapa yang telah melukai dia, Yang Agung?” Uttara bertanya dengan cemas .
Wirata
memandang putranya, lalu berkata, “Kenapa? Aku melempar mukanya dengan
dadu karena kelancangan dan kesombongannya. Waktu aku sedang senang dan
bangga karena kemenanganmu, dia justru memperkecil arti kemenanganmu.
Setiap kali aku memuji kesaktian dan keperkasaanmu, ia justru
menyebut-nyebut kemahiran si banci. Aku memang telah melukainya, kuakui
itu; tapi hal ini tak usah kita bicarakan lagi. Ceritakanlah bagaimana
engkau bertempur sampai menang.”
Uttara merasa takut. Ia berkata, “Ya,
Dewata, Ayah telah berbuat kesalahan besar. Berlututlah di hadapannya,
sekarang juga, Ayah. Mintalah maaf. Kalau tidak, kita akan musnah dari
akar sampai ke daun.”
Wirata tidak mengerti
maksud anaknya. Ia hanya duduk diam kebingungan. Tanpa menunggu lagi,
Uttara segera berlutut di depan Yudhistira dan meminta maaf yang
sebesar-besarnya .
Melihat itu, Wirata memeluk anaknya dan
berkata, “Anakku, engkau benar-benar seorang kesatria! Aku tak sabar
lagi menunggu ceritamu. Bagaimana engkau menaklukkan balatentara
Kaurawa? Bagaimana engkau merebut kembali ternak dan harta benda kita?”
Sambil menundukkan kepala karena sangat malu, Uttara berkata, “Bukan
aku yang menaklukkan musuh. Bukan aku yang mengambil ternak itu
kembali. Semua itu dilakukan oleh seorang Putra Mahkota yang sangat
sakti dan perkasa. Dia yang memukul mundur pasukan Kaurawa dan merebut
kembali semua ternak dan kekayaan kita. Aku tidak berbuat apa-apa.”
Wirata
tidak percaya akan apa yang didengarnya. Ia bertanya lagi, “Di manakah
Putra Mahkota itu sekarang? Aku harus berterima kasih kepadanya karena
ia telah menolong engkau dan mengusir musuh. Akan kuberikan anakku, Dewi
Uttari untuk dipersunting. Panggillah Uttari sekarang juga.”
“Dia telah pergi. Mungkin besok atau lusa dia akan datang kemari,” jawab Uttara .
***
Atas
perintah Wirata, balairung dan ruang-ruang persidangan besar di ibu
kota Negeri Matsya dihiasi sangat megah untuk merayakan kemenangan Raja
dan Putra Mahkota. Undangan dikirimkan kepada raja-raja sahabat,
tamutamu agung, dan orang-orang penting lainnya. Pesta besar akan
dilangsungkan di ibu kota Negeri Matsya .
Kangka si sanyasin, Walala si juru masak, Brihannala si guru tari, Dharmagranti si tukang kuda, dan Tantripala si
penggembala, hadir di pesta. Sebenarnya mereka tidak diundang, karena
yang diundang hanya tamu-tamu agung dan orang-orang penting. Dalam pesta
itu juga tampak Sairandri, pelayan permaisuri. Hadirin
berbisik-bisik, membicarakan kehadiran mereka. Ada yang berkata bahwa
mereka pantas diundang karena jasa mereka dalam peperangan yang baru
lalu. Ada yang menyesalkan, kenapa orang- orang seperti mereka
diperbolehkan hadir dalam perjamuan besar itu. “Bukankah mereka hanya
sanyasin, juru masak, guru tari, tukang kuda, gembala, dan pelayan?”
Ketika
masuk ke dalam ruangan, Wirata melihat Kangka si sanyasin, Walala si
juru masak, dan yang lain duduk berjajar bersama para tamu. Raja sangat
marah dan dengan kata-kata kasar menghina mereka. Karena sikap Wirata
yang keterlaluan, maka tanpa ragu Pandawa menyatakan siapa diri mereka sebenarnya. Penyamaran telah dibuka. Para tamu bersorak sorai dan menyambut mereka dengan tepuk tangan meriah .
Wirata
sungguh tidak menyangka bahwa orang-orang yang selama ini telah bekerja
keras mengabdi kepadanya tiada lain adalah Pandawa. Wirata segera
meminta maaf dan di hadapan para tamu, ia memeluk Kangka. Kemudian,
secara resmi ia mengumumkan bahwa ia menyerahkan Negeri Matsya kepada
Pandawa karena jasa-jasa mereka. Wirata juga menyerahkan putrinya, Dewi
Uttari, kepada Arjuna untuk diperistri .
Pandawa
mengucapkan terima kasih kepada Raja Wirata dan rakyat Negeri Matsya
yang telah melindungi dan membantu mereka dalam keadaan sangat sulit
selama satu tahun. Pandawa menerima penyerahan Negeri Matsya secara
simbolik dan saat itu juga menyerahkannya kembali kepada Raja Wirata.
Kemudian semua yang hadir mempersembahkan doa syukur bagi kemakmuran dan
kesejahteraan Raja dan rakyat Negeri Matsya .
Arjuna menyela, “Tidak,
ini tidak pantas karena Dewi Uttari belajar musik dan tari dari aku.
Aku adalah gurunya dan aku lebih pantas menjadi ayahnya. Jika tidak ada
yang berkeberatan, aku usulkan agar ia dinikahkan dengan putraku,
Abhimanyu.”
Sementara semua orang sedang berpesta, datang utusan Duryodhana membawa pesan khusus untuk Yudhistira .
Setelah diperkenankan menghadap, utusan itu berkata,
“Wahai
Putra Dewi Kunti, Duryodhana sangat menyayangkan tindakan Dananjaya
yang ceroboh. Dananjaya membiarkan dirinya dikenali orang sebelum tahun
ketiga belas habis. Engkau harus kembali ke hutan lagi. Sesuai sumpahmu,
engkau harus mengembara dua belas tahun lagi di dalam hutan.”
Dharmaputra
tersenyum dan berkata, “Utusan yang terhormat, kembalilah segera kepada
Duryodhana dan katakan kepadanya bahwa aku menyuruhnya bertanya kepada
para tetua yang bijak dan cendekia tentang cara menghitung waktu. Kakek
Bhisma yang kita muliakan dan para mahaguru lainnya pasti tahu peredaran
bintang di langit. Mereka pasti akan menegaskan bahwa tiga belas tahun
penuh telah kami lewatkan tepat sehari sebelum Kaurawa mendengar desing
Gandiwa dan deru Dewadatta milik Dananjaya yang membuat kalian lari
tunggang langgang.”
***
BERSAMBUNG
Catatan tambahan dari admin:
1.
Pada saat Arjuna menmbangkitkan semangat Pangeran Uttara yang sedang
ambruk, dia menunjukkan kebesarannya sebagai seorang Ksatria... sejalan
dengan pepatah Jawa kuno :
Ngluruk tanpa bala,
Menang tanpa ngasoraake
Sugih tanpa banda
Digdaya tanpa aji
Suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti
Yang artinya :
Berjuang tanpa perlu membawa massa;
Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan;
Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan; kekayaan atau keturunan;
Kaya tanpa didasari kebendaan
2.
“Tuanku Raja, darah seorang sanyasin tidak boleh jatuh ke bumi,” jawab
Sairandri tenang. “Kalau sampai darahnya menetes ke bumi, hujan tidak
akan turun di negeri ini selama beberapa tahun, tanah akan retak
kekeringan dan rakyat akan mati kelaparan. Karena itu, darahnya
kutampung dalam cawan emas. Aku khawatir, Tuanku Raja belum mengenal
kebesaran Kangka,” Sairandri menambahkan .
Ia tahu, Brihannala alias Arjuna pasti marah jika melihat pipi Kangka alias Yudhistira berdarah karena dia sangat menyayangi saudaranya .
>>>
Ini berkaitan dengan sumpah ARJUNA bahwa kalau ada yang menyebabkan
Yudistira berdarah dan darahnya menyentuh tanah, dia akan MEMBUNUH
orang itu... Sairandri tahu ttg sumpah itu, dia tidak ingin Arjuna
melihat Yudistira berdarah...
Di buku lain diceritakan
bahwa saat Arjuna masuk ke ruangan itu, Yudistira (Kangka) memalingkan
wajahnya, tidak mau melihat Arjuna, yang membuat Arjuna curiga, tapi
tidak bertanya langsung. Arjuna berpikir kakaknya marah padanya
0 komentar :
Posting Komentar