4. Cinta Dushmanta Terpaut di Hutan
Pada
suatu hari Raja Dushmanta yang tampan dan gagah perkasa pergi berburu
bersama balatentaranya yang kuat dan bersenjata lengkap. Setelah
berjalan beberapa lama, tibalah mereka di hutan lebat dengan pohonnya
yang besar-besar. Tanah di hutan itu berbatu-batu, sebatang air pun tak
tampak di sana. Macan, singa, gajah, banteng, badak dan binatang buas
lainnya berkeliaran. Raja Dushmanta dan balatentaranya memburu gajah.
Raja memerintahkan balatentaranya untuk mengumpulkan hasil buruan yang
sudah mati. Tetapi, gajah-gajah yang terluka dan belum mati mengamuk
menyerang balatentara Raja. Korban berjatuhan. Ada prajurit yang mati
dililit belalai, ditusuk gading, atau diinjak-injak gajah. Mereka yang
selamat terus memburu binatang-binatang itu hingga mereka lari
cerai-berai masuk ke hutan yang lebih lebat .
Setelah puas
berburu, Raja Dushmanta dan balatentaranya meneruskan Perjalanan.
Mereka menyeberangi padang rumput yang tandus dan sangat luas. Hamparan
rumput terbentang sampai ke kaki langit. Setelah menempuh perjalanan
beberapa hari, mereka sampai di tepi hutan lain. Penduduk desa di tepi
hutan itu berkata, di hutan itu ada pertapaan Resi Kanwa, seorang
keturunan Kasyapa yang termasyhur. Raja Dushmanta memutuskan untuk
berhenti berburu dan mengunjungi Resi Kanwa .
Ia menyuruh balatentaranya menunggu, sementara ia masuk ke dalam hutan diiringkan beberapa pengiring. Ia berjalan
menembus pepohonan yang tidak terlalu lebat, sampai ke tepian sungai
kecil yang jernih airnya. Di tepi sungai itulah terletak pertapaan Resi
Kanwa. Pertapaan itu tampak bersih dan asri. Bunga-bunga aneka warna
mekar harum semerbak menyemarakkan pelatarannya. Di luar pertapaan,
sampai jauh ke dalam hutan, tampak bermacam-macam pohon yang dahannya
sarat dengan buah-buah ranum yang menerbitkan liur. Suasana di situ
sungguh teduh dan tenang .
Sampai di gerbang pertapaan,
Raja memerintahkan semua pengiringnya menunggu. Sendirian ia masuk ke
halaman pertapaan. Di sana ia tidak menemukan siapasiapa, kecuali
seorang gadis cantik yang mengenakan pakaian pertapa .
Setelah
menyampaikan penghormatan selamat datang, gadis cantik itu bertanya,
“Nama hamba Syakuntala. Apa yang dapat hamba lakukan untuk Tuanku? Hamba
menanti sabda Paduka.”
Raja Dushmanta menjawab, “Aku terpesona oleh kecantikanmu, wahai putri jelita. Di manakah Resi Kanwa yang termasyhur itu?”
Syakuntala
menjawab, “Bapa hamba sedang pergi memetik buah-buahan. Kalau Tuanku
sudi menunggu sebentar, Tuanku bisa menemuinya setelah beliau kembali
nanti.”
Sambil memandangi wajah ayu Syakuntala, Raja
Dushmanta bertanya, “Siapakah sebenarnya engkau putri jelita? Putri
siapakah engkau dan mengapa engkau tinggal di hutan ini? Wahai, putri
jelita, hatiku telah tercuri olehmu pada pandangan pertama.”
Syakuntala menjawab sambil tersenyum, “Oh, Tuanku, hamba adalah anak Resi Kanwa.”
Mendengar
jawaban itu, Raja Dushmanta tercengang dan bertanya lagi, “Resi yang
sangat dihormati di jagad ini telah mengumbar nafsu birahinya? Jika
orang biasa berniat melaksanakan dharma, bisa saja dia lalai. Tetapi,
seorang resi yang suci telah bersumpah tidak akan membiarkan
gejolak nafsu menjerumuskannya. Wahai putri cantik, bagaimana mungkin
Tuan ini anak Resi Kanwa? Maafkan aku karena ragu. Jawablah dan hapuslah
keraguanku ini.”
Syakuntala berkata, “Baiklah, akan hamba
ceritakan asal-usul hamba sebagaimana yang Bapa Resi ceritakan kepada
seorang pertapa pengembara yang datang menghadap dan bertanya tentang
diri hamba. Begini ceritanya.. .
‘Adalah seorang pria
sakti bernama Wiswamitra yang tidak puas akan kesaktiannya. Untuk
membuat dirinya semakin sakti, dia terus-menerus bertapa dengan khusyuk.
Begitu kuat tapanya, hingga Batara Indra ketakutan. Batara Indra tahu,
jika tapa Wiswamitra berhasil, pria itu akan mampu menggulingkannya dari
takhtanya di Indraloka atau kahyangan. Untuk menggagalkan tapa
Wismamitra, Batara Indra memanggil Dewi Menaka dan diperintahkannya
bidadari itu untuk menggodanya .
‘Dewi Menaka berkata,
“Paduka Batara, Wiswamitra adalah seorang suci yang sangat sakti dan
berkuasa. Ia juga sangat gampang marah. Kekuatan, ketekunan dan dendam
jiwanya yang teramat keras sudah membuat Paduka Batara khawatir. Apalagi
hamba, hamba takut menghadapinya. Dialah yang membuat Wasistha
menderita kesedihan yang mendalam karena melihat anak-anaknya mati
sebelum dewasa. Dia dilahirkan sebagai kesatria, tetapi karena kebajikan
dharma-nya dan kesaktiannya yang mendalam dia menjadi brahmana.... Dia
mampu membakar tiga dunia, neraka, bumi, dan kahyangan dengan
kesaktiannya, ia juga mampu membuat gempa bumi. Karena kesaktiannya itu,
ya Paduka Batara, bantulah hamba waktu hamba menggoda dia. Hamba mohon
agar Maruta, sang Dewa Angin menyebarkan wewangian dari pohon-pohon
hutan. Waktu hamba bermain-main di dekatnya nanti, hamba mohon Dewa
Angin menerbangkan pakaian hamba dan Manamatha sang Dewa Cinta sebaiknya
juga membantu hamba.”
‘Setelah berkata demikian, pergilah Dewi Menaka ketempat
Wiswamitra bertapa. Sesampainya di depan pertapa sakti itu, ia memberi
salam hormat. Kemudian, mulailah dia merayu. Ketika itu berhembuslah
angin kencang, melambaikan ujung bawah pakaiannya hingga betisnya yang
indah tampak sekilas. Tapi, angin bertiup semakin kencang dan akhirnya
menerbangkan pakaiannya. Tanpa busana, Dewi Menaka pura-pura malu dan
hendak mengejar pakaiannya. Tak kuasa mengalihkan pandangannya,
Wiswamitra terpesona oleh keindahan payudara Dewi Menaka. Ia tergoda,
tak mampu melanjutkan tapanya. Gagal. Wiswamitra menghentikan tapanya,
memilih sang Dewi, dan mereka hidup bersama .
‘Beberapa
waktu kemudian, Dewi Menaka mengandung. Ketika tiba saatnya melahirkan,
ia pergi ke tepi Sungai Malini di lembah Gunung Himalaya yang indah. Di
sana ia melahirkan seorang bayi perempuan. Bayi itu ditinggalkannya di
tepi sungai lalu ia terbang kembali ke kahyangan .
‘Bayi
itu dipungut dan diangkat anak oleh Resi Kanwa. Karena ketika ditemukan
dilindungi oleh burung-burung syakuntala, maka bayi itu diberi nama
Syakuntala dan anak itu menganggap Resi Kanwa sebagai ayahnya.’
“Itulah cerita yang pernah hamba dengar dari Resi Kanwa, Paduka Raja,” kata Syakuntala mengakhiri ceritanya .
Mendengar
cerita itu, Raja Dushmanta berkata, “Menikahlah denganku, wahai
Syakuntala yang jelita. Seluruh kerajaanku akan menjadi milikmu. Maukah
kau menikah denganku sekarang juga dengan upacara gandharwa? Upacara
gandharwa adalah yang paling utama dalam keadaan seperti ini.”
Syakuntala
menjawab, “Oh, Tuanku Raja, tunggulah sampai Bapa Resi datang. Mintalah
ijin lebih dulu pada beliau. Hamba yakin, Bapa Resi pasti merestui
kita.”
Dushmanta berkata lagi,
“Wahai putri nan
jelita dan sempurna, aku ingin engkau menjadi pendampingku. Menurut
hukum penciptaan, seseorang adalah teman bagi dirinya sendiri dan karena
itu ia bertanggung jawab atas dirinya sendiri; dia
sendirilah yang menentukan segala sesuatu tentang dirinya sendiri.
Menurut hukum itu, engkau dapat merestui dirimu sendiri. Dan ketahuilah,
di jagad ini ada delapan macam perkawinan. Manu, sang manusia pertama,
merumuskan delapan jenis perkawinan, lengkap dengan urutan upacaranya.
Cara gandharwa adalah yang paling sesuai dengan sifat kesatria.
Janganlah engkau takut, jangan pula merasa bimbang dan ragu. Wahai putri
tercantik, hatiku penuh cinta kepadamu, semoga engkau pun demikian.
Kabulkanlah permintaanku dan kita menikah sekarang juga.”
Mendengar
itu Syakuntala berkata, “Bila itu memang cara yang dibenarkan oleh
agama, dan bila sesungguhnya hamba berhak memutuskan untuk diri hamba
sendiri, dengarkanlah wahai pria utama keturunan bangsa Puru, ada
syarat-syarat yang harus Paduka penuhi! Berjanjilah bahwa apa pun yang
hamba pinta akan Paduka kabulkan. Anak laki-laki yang akan hamba
lahirkan hendaknya kelak menjadi ahli waris kerajaan Paduka. Itulah
syarat hamba! Wahai Raja Dusmanta, jika Tuanku menerima syarat ini,
hamba bersedia menikah sekarang juga.”
Tanpa
mempertimbangkan syarat-syarat yang diajukan Syakuntala, Raja Dushmanta
menjawab, “Baiklah, akan kupenuhi semua permintaanmu! Aku bahkan
bermaksud memboyongmu ke istana setelah kita menikah. Sebagai
permaisuriku, sepantasnyalah engkau tinggal di istanaku.”
Kemudian,
Dushmanta dan Syakuntala menikah secara gandharwa. Mereka bergandengan
tangan mengelilingi api suci sambil mengucapkan mantra-mantra. Maka
sahlah hubungan mereka sebagai suami-istri .
Dushmanta dan Syakuntala
Dalam
keasyikan memadu kasih, Dushmanta berulangulang berjanji kepada
Syakuntala bahwa ia akan mengirim seorang utusan untuk menjemputnya.
Utusan itu akan dikawal sepasukan prajurit kehormatan. Digambarkannya
bagaimana Syakuntala akan masuk ke kota diiringkan utusannya dan pasukan
kehormatan serta dielu-elukan oleh rakyatnya. Setelah mengumbar janji
dan puas berasyik masyuk, Raja Dushmanta kembali ke kota raja .
Dalam perjalanan ke istana ia berpikir-pikir, “Apa kata Resi Kanwa yang suci dan agung itu jika mengetahui semua ini?”
Tak
lama setelah Raja Dushmanta pergi, Resi Kanwa tiba di pertapaannya.
Syakuntala yang merasa malu dan bersalah tidak menyongsongnya, seperti
biasanya. Tanpa ada yang memberi tahu dan karena kesaktiannya, resi
agung itu mengerti apa yang telah terjadi .
Dengan
kekuatan mata hatinya, Resi Kanwa memandang putri angkatnya. Kemudian,
dengan perasaan senang dan lega ia berkata kepada Syakuntala, “Anakku
sayang, apa yang telah kaulakukan secara diam-diam dan sembunyi- sembunyi
tanpa menunggu restuku? Aku tahu, engkau sudah menikah dengan seorang
lelaki. Tak usah kau cemas, pernikahan itu takkan menghancurkan
kebajikanmu. Sesungguhnya, upacara perkawinan gandharwa antara seorang
wanita yang bersedia dengan seorang lakilaki yang mencintainya adalah
salah satu upacara terbaik di antara cara-cara kesatria. Dushmanta
seorang lelaki yang baik dan berbudi tinggi. Engkau, anakku Syakuntala, telah
menerima dia sebagai suamimu. Anak laki-laki yang akan kaulahirkan,
akan menjadi pemuda yang kuat dan ternama di seluruh dunia. Ia akan
menguasai lautan dan dikaruniai kesaktian yang tak terkalahkan. Dia akan
menjadi raja diraja dan punya berlaksa-laksa balatentara perkasa.”
Syakuntala
bersimpuh di depan ayah angkatnya dan membasuh kaki sang Resi.
Kemudian, sambil menata buah-buahan yang dipetik sang Resi, Syakuntala
berkata, “Hamba mohon, Bapa Resi berkenan merestui Dushmanta yang telah
hamba terima sebagai suami. Hamba juga mohonkan restu untuk rakyat dan
kerajaannya.”
Resi Kanwa menjawab, “Demi kau, anakku
sayang, aku akan merestui Dushmanta. Tetapi untukmu sendiri, pintalah
hadiah yang kauinginkan.”
Syakuntala ingin agar keturunannya dengan Raja Dushmanta
kekal sampai ke akhir jaman. Karena itu, ia memohon hadiah restu dari
Resi Kanwa agar raja-raja Paurawa, yaitu raja-raja keturunan wangsa Puru
tidak akan pernah kehilangan kerajaannya dan senantiasa ternama di
seluruh dunia .
Ketika tiba waktunya, Syakuntala
melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat. Waktu berumur tiga tahun,
anak itu sudah kelihatan tampan, agung, perwira, tangkas dan terampil
serta pandai dalam berbagai ilmu pengetahuan. Hari demi hari berlalu,
kesaktian anak itu semakin bertambah dan nyata terlihat. Dengan mudah ia
menaklukkan binatang-binatang buas yang berkeliaran di sekitar
pertapaan. Para resi pertapa di hutan itu menyebut dia dengan nama
Sarwadamana, artinya ‘sang penakluk semua’ .
Demikianlah,
tiga tahun berlalu ... Jangankan mengirim utusan untuk menjemput,
mengirim pesan atau kabar pun Raja Dushmanta tidak pernah. Apakah
Dushmanta sudah melupakan Syakuntala?
Pada suatu hari Resi Kanwa
memanggil Syankuntala, menyuruhnya agar menghadap sang Raja. Resi itu
berpendapat bahwa sudah tiba waktunya untuk mengantarkan Sarwadamana
menghadap ayahnya. Katanya, “Anakku, wanita yang sudah menikah tak boleh
terus-menerus tinggal di rumah orangtuanya karena ia takkan dapat
menjalankan kewajibannya terhadap suaminya dan kebajikannya akan rusak.”
Setelah
mohon diri dan mendapat restu Resi Kanwa, berangkatlah Syakuntala dan
Sarwadamana diiringkan beberapa resi sebagai pengawal. Berhari-hari
mereka berjalan menembus hutan, menyusuri sungai, dan menyeberangi
padang rumput luas sebelum akhirnya tiba di gerbang istana Hastinapura .
Dengan
hati berdebar-debar, Syakuntala dan anaknya memasuki gerbang istana dan
minta dibawa menghadap sang Raja. Setelah mengucapkan salam hormat
sepatutnya, ia berkata kepada Raja, “Inilah hamba Tuanku,
Syakuntala,
istri Paduka dari pertapaan Resi Kanwa. Lihatlah, wahai Paduka, anak
yang tampan ini. Dia adalah putra Paduka yang selama ini hamba asuh di
pertapaan. Wahai Raja termulia di dunia, penuhilah janji Paduka dan
nobatkanlah dia menjadi putra mahkota. Ingatkah Paduka akan janji yang
Tuan ucapkan waktu kita menjalankan upacara perkawinan gandharwa di
pertapaan Resi Kanwa dahulu?”
Mendengar perkataan Syakuntala, Raja
Dushmanta ingat semua yang telah terjadi. Tetapi, ia malu. Di hadapan
para perwira dan menteri kerajaan, ia malu mengakui perkawinannya dengan
gadis pertapa yang tak jelas asal keturunannya. Untuk menutupi rasa
malunya, ia berkata dengan marah, “Berani benar engkau bicara seperti
itu! Aku tak kenal kau! Aku tak pernah bertemu kau! Siapakah engkau, hai
perempuan jahanam yang menyamar menjadi pertapa suci? Aku tidak punya
hubungan apa pun denganmu, baik karena dharma, kama maupun artha.*
Enyahlah engkau dari sini dan jangan pernah kembali!”
- * Ketiga bentuk hubungan yang dimaksud adalah hubungan tugaskewajiban hidup, hubungan seksual dan hubungan kekayaan hartabenda .
Mendengar
kata-kata Raja, Syakuntala sangat kaget, bagai disambar halilintar.
Sekonyong-konyong kesedihan menghunjam hatinya, membuatnya terpana,
tegak berdiri bagai tonggak, tak sadarkan diri. Tetapi... kemudian
matanya memerah, merah saga bagai besi terbakar. Bibirnya bergetar
menahan perasaannya. Dengan sorot mata tajam ia memandang sang Raja,
seakan hendak membakarnya hidup-hidup dengan api kemarahannya. Namun,
karena terbiasa hidup sebagai pertapa, Syakuntala berhasil memusatkan
pikiran sucinya dan menahan kemarahannya yang makin memuncak serta
kepedihan hatinya yang seperti disayat-sayat .
Syakuntala
pun berkata sambil memandang Raja dengan tajam, “Dengarlah, wahai
Tuanku. Hanya orang rendah budi yang dengan mudah berdusta dan ingkar janji.
Hamba yakin, dalam hati Paduka pasti mengakui kebenaran kata-kata
hamba. Tetapi, mengapa Paduka memilih berdusta, berkata tak pernah
mengenal hamba, tak pernah menikahi hamba? Hati nurani adalah saksi atas
kebenaran dan kepalsuan.”
Syakuntala diam sejenak.
Kemudian melanjutkan dengan tegas dan penuh amarah. Raja tak lagi
disapanya dengan sebutan Paduka atau Tuanku .
“Jika engkau
mengatakan yang sebenarnya, takkan turun derajatmu. Orang yang
mengingkari kenyataan dirinya berarti mencuri atau merampok dirinya
sendiri. Kaupikir, kau dapat mengatakan tidak tahu atas perbuatanmu
sendiri. Tidakkah kau tahu bahwa Yang Maha Purba, Yang Maha Tahu
bersemayam di hatimu? Ia mengetahui dosamu, dan kau telah berbuat dosa
di hadapanNya. Seorang pendosa mungkin berpikir bahwa tak seorang pun
tahu akan dosanya, tetapi sesungguhnya segala perbuatannya dilihat oleh
Dia yang bersemayam di hati setiap manusia. Orang yang menghina dirinya
sendiri dengan berdusta, tidak akan direstui olehNya, bahkan jiwanya
sendiri pun tidak akan merestui .
“Aku adalah istri yang
mengabdi pada suami. Dengan kemauanku sendiri aku datang kemari untuk
menemui kau, suamiku. Itu benar. Tetapi janganlah karena alasan itu aku
kauperlakukan hina. Aku adalah istrimu, istri raja, dan karenanya berhak
mendapat perlakuan yang terhormat. Apakah engkau tidak bersedia
menerimaku karena aku datang atas kemauanku sendiri? Di hadapan begitu
banyak orang, di istanamu yang megah mulia, mengapa kauperlakukan aku
seperti perempuan biasa? Bukankah engkau yang memintaku menjadi
permaisurimu? Lupakah engkau? Tidakkah engkau mendengar kata-kataku?
“Wahai
Raja Dushmanta, jika engkau menolak apa yang kupinta, waspadalah ...
kepalamu akan pecah menjadi seribu, seketika ini juga!”
Karena Raja Dushmanta tetap diam, tak menanggapi, bahkan membuang muka, Syakuntala melanjutkan kata-katanya .
“Seorang
suami yang merasuk ke dalam tubuh istrinya akan keluar dalam wujud
anak. Begitulah yang selayaknya terjadi. Karena itu seorang istri
disebut jaya, yang berarti ‘dari mana seseorang dilahirkan’. Sebutan itu
berasal dari para ahli kitab suci. Anak yang terlahir secara demikian
akan menyelamatkan jiwa nenek-moyangnya dari api neraka dan karena itu
disebut putra oleh Sang Pencipta. Karena melalui anaknya seseorang akan
mampu menaklukkan tiga dunia. Melalui anaknya pula seseorang akan dapat
menikmati kedamaian abadi. Dan bersama anak-cucu dan cicitnya, seseorang
akan menikmati kebahagiaan kekal .
“Istri yang sejati
pandai mengatur rumah tangga. Istri yang sejati mengabdikan seluruh
jiwanya kepada suaminya. Ia bagaikan belahan jiwa suaminya dan menjadi
teman utama di antara semua teman suaminya. Istri adalah dasar agama,
keberuntungan, dan hasrat-keinginan. Istri adalah akar kelepasan untuk
mencapai moksha, kebahagiaan hidup abadi. Ia yang mempunyai istri dapat
melaksanakan hidup berkeluarga dan mempunyai teman di waktu suka dan
duka. Istri berperan sebagai ayah dalam upacara keagamaan, sebagai ibu
di kala sakit dan duka. Bagi seorang pengembara, istri adalah penghibur
di kala gundah. Ia yang mempunyai istri dipercaya oleh semua orang.
Karena itu, istri adalah harta paling berharga yang bisa dimiliki
seorang lelaki. Ketika suami meninggalkan dunia ini dan menghadap Batara
Yama, istri yang setia akan mengikutinya ke dunia sana. Istri yang
lebih dulu meninggal akan menanti suaminya di dunia sana, tetapi jika
suami mendahuluinya, istri yang bijaksana akan segera menyusulnya ke
dunia sana .
“Atas dasar semua itulah, wahai Raja
Dushmanta, seorang lelaki menikahi seorang perempuan. Seorang suami
menikmati keakraban seorang istri baik di dunia ini maupun di dunia
sana. Telah dikatakan oleh para arif bijaksana bahwa seorang suami pada
hakikatnya terlahir sebagai anak lelaki istrinya. Karena itu, istri yang melahirkan
anak laki-laki haruslah dianggap sebagai ibu sendiri oleh suaminya.
Memandang wajah putranya, seorang lelaki seperti berdiri di depan kaca
dan menatap wajahnya sendiri. Ia akan merasa bahagia ibarat orang suci
yang mencapai surga. Laki-laki yang muram karena sedih hatinya atau
sakit badannya akan merasa segar kembali di samping istrinya, bagai
orang yang kegerahan mendapat air sejuk untuk membersihkan badan. Tidak
seorang laki-laki pun, bagaimanapun marahnya dia, dibenarkan melakukan
sesuatu yang tidak menyenangkan istrinya. Istri ibarat tanah suci tempat
suaminya dilahirkan. Bahkan dewa pun tidak sanggup mencipta makhluk
tanpa wanita. Adakah kebahagiaan yang lebih besar daripada kebahagiaan
seorang ayah waktu anaknya lari ke dalam pelukannya?
“Karena
itu, wahai Raja Mulia, mengapa engkau bersikap tidak peduli pada anakmu
yang datang menghadap ayahnya? Lihatlah, anakmu memandangmu, penuh
harap dan ingin disambut oleh pelukan ayahnya. Seekor semut saja bisa
memindahkan telurnya tanpa merusaknya, mengapa engkau tidak bisa
menerima anak ini? Hatimu dingin membeku. Kauingkari anakmu, darah
dagingmu sendiri! Coba resapkan, sentuhan lembut seorang wanita atau
segarnya air yang sejuk jernih tak sebanding dengan kebahagiaan yang
akan kaurasakan ketika kausambut dia dalam pelukanmu .
“Biarlah
anak ini menyentuh dan memelukmu. Di dunia ini, tak ada yang lebih
nikmat daripada pelukan anak kandung kita. Wahai Pahlawan Perkasa
Penakluk Musuh, akulah yang melahirkan anak ini! Wahai Raja, anak inilah
yang akan bisa mengenyahkan segala kesusahanmu .
“Raja
bangsa Puru yang mulia, anak ini akan melangsungkan upacara aswamedha
dengan korban seratus kuda! Sesungguhnya, orang yang bepergian jauh dari
rumahnya akan menggendong anak orang lain. Dengan mencium kepala anak
itu mereka merasakan kebahagiaan yang besar. Engkau, wahai Raja,
pastilah tahu bahwa para pendeta mengucapkan doa dari kitab suci Weda waktu mentahbiskan seorang anak.
Doa itu adalah:
kau dilahirkan dari badanku
kau tumbuh dari hati nuraniku
kau adalah diriku sendiri
dalam wujud bayi
hiduplah seratus tahun lagi
hidupku tergantung padamu
juga kelangsungan bangsaku
wahai anakku, justru kepadaNya
wahai anakku, justru karenaNya
hiduplah kau penuh bahagia
hingga seratus tahun usia
“Sadarlah
wahai Raja, ia lahir dari badanmu. Ia adalah bagian dirimu! Lihatlah
anakmu ini, maka engkau laksana melihat bayang-bayangmu di air telaga
bening. Ibarat api pemujaan yang dinyalakan di rumah, demikian pula anak
ini berasal dari dirimu, menjadi pelita hidupmu. Walaupun tunggal,
engkau telah membagi dirimu .
“Waktu kau berburu, mengejar-ngejar
binatang di dalam hutan, aku engkau dekati. Wahai Raja, waktu itu aku
masih gadis di pertapaan bapaku, Resi Kanwa. Kau tanya asal-usulku dan
kujawab aku putri Dewi Menaka, bidadari yang diperintahkan Batara Indra
untuk turun dari kahyangan dan menggoda Wiswamitra, seorang pertapa
mahasakti. Bersama bidadari-bidadari Urwashi, Purwachitti, Sahajanya,
Wiswachi, dan Gritachi, Dewi Menaka berhasil menggagalkan tapa
Wiswamitra. Pertapa itu tak kuasa menahan nafsunya melihat kecantikan
Menaka. Mereka memadu cinta. Sayang, Wiswamitra meninggalkan Menaka yang
sedang mengandung. Ketika tiba waktunya, Menaka melahirkan aku di
lembah Gunung Himalaya. Karena tidak mendapat kasih sayang suami, ia
kembali ke kahyangan, meninggalkan anaknya .
“Dosa apakah yang
pernah kulakukan dalam kehidupanku sebelum ini, hingga waktu masih bayi
aku dibuang oleh orangtuaku? Dan sekarang ... engkau membuangku,
mengingkariku! Kalau kau tak sudi menerimaku, aku akan kembali ke
pertapaan Bapaku. Tetapi, tidak pantas engkau membuang anakmu sendiri!”
Setelah
mendengar semua itu, Raja Dushmanta berkata, “Hai Syakuntala, aku tak
ingat pernah punya anak laki-laki denganmu. Banyak bicaramu, tapi tak
ada artinya sedikit pun. Bicara dusta, itu yang engkau bisa! Siapa yang
akan percaya pada ceritamu? Karena kehilangan kasih sayang, Dewi Menaka
yang jalang membuang bayinya di lembah Gunung Himalaya. Ayahmu,
Wiswamitra, brahmana hidung belang yang gagal tapanya karena tergoda
juga kehilangan kasih sayang. Aku tahu, Dewi Menaka adalah bidadari
utama dan ayahmu adalah resi paling agung. Mengingat engkau anak mereka,
mengapa engkau bicara seperti perempuan jalang? Kata-katamu tidak
pantas didengar. Tidak malukah engkau menceritakan asal-usulmu yang
penuh dosa? Pergilah, hai perempuan jalang yang menyamar sebagai pertapa
suci. Di mana ayahmu, Resi Wiswamitra yang masyhur? Di mana ibumu, Dewi
Menaka bidadari yang utama? Mengapa orang sehina engkau menyamar
sebagai pertapa suci? Aku tidak kenal engkau! Enyahlah, pergilah ke mana
engkau suka!”
Syakuntala menjawab,
“Wahai Raja,
engkau bisa melihat kesalahan orang lain walau hanya sekecil butir
pasir, tetapi engkau tak mampu melihat keburukanmu yang sebesar gajah.
Dewi Menaka adalah bidadari utama yang tinggal di kahyangan. Karena itu,
hai Dushmanta, kelahiranku sesungguhnya lebih mulia daripada
kelahiranmu. Kau berjalan menginjak tanah di bumi, sedangkan aku
mengembara di langit biru! Lihatlah perbedaan di antara kita,
saksikanlah kekuatanku nanti. Aku bisa mengunjungi kahyangan tempat
tinggal Dewa Indra, Kuwera, Yama, Baruna, dan dewa-dewa lain, kapan
saja. Sungguh aku tidak berdusta .
“Orang yang buruk rupa selalu
menganggap dirinya lebih tampan dari orang lain, sampai ia melihat
wajahnya sendiri di kaca. Ketika itu barulah ia sadar akan perbedaan
wajahnya dengan wajah orang lain. Dia yang selalu bicara jahat berhati
busuk, ibarat babi yang selalu mencari kubangan lumpur walaupun berada
di tengah taman bunga .
“Demikianlah, dia yang jahat
selalu mencari-cari keburukan dalam kata-kata orang lain, namun orang
yang bersih hatinya selalu menyimak kata-kata orang lain dan
menyaringnya; yang baik dan benar diterima, yang salah dan dusta
dilupakan. Ibarat angsa yang selalu dapat memisahkan susu dari air*,
orang jujur senang menghormati orang yang lebih tua dan tidak suka
membicarakan keburukan orang lain. Sebaliknya, orang jahat senang
memfitnah dan mencari-cari kesalahan orang lain. Yang jahat selalu
berkata buruk tentang yang jujur, tetapi yang jujur tidak pernah
menyakiti yang jahat walaupun ia sendiri disakiti .
“Seorang
pria yang punya anak laki-laki —yang merupakan bayangannya sendiri—
tidak akan pernah mencapai dunia yang diidam-idamkannya bila ia tak mau
mengakui anaknya. Dewa-dewa akan menghancurkan kebahagiaan dan
kejayaannya. Nenek moyang kita mengajarkan bahwa anak laki-laki adalah
penerus kehidupan keluarga dan bangsanya. Karena itu, upacara yang
dilaksanakannya adalah upacara terbaik dari segala jenis upacara
keagamaan dan tidak seorang pun boleh melupakan putranya .
“Menurut Manu ada 5 macam anak laki-laki:
1) yang diciptakan bersama istri sendiri,
2) yang diperoleh dari pemberian orang lain,
3) yang dibeli berdasarkan pertimbangan tertentu,
4) yang diasuh dengan kasih sayang, dan
5)
yang diperoleh dari wanita-wanita yang tidak dikawini. Anak laki-laki
memperkuat agama dan apa yang diperolehnya akan memperbesar kegembiraan
*
karena angsa yang anggun dan putih bersih adalah perlambang kebajikan
ayahnya. Karena itu, wahai Raja perkasa, tidak perlu engkau membuang
anakmu sendiri .
“Wahai Raja penguasa dunia, pujalah kebenaran,
kebajikan dan dirimu sendiri dengan memuja anakmu. Tidak pantas engkau
mempertahankan kebohonganmu. Kebenaran lebih penting daripada seratus
upacara korban suci. Tidak ada yang lebih tinggi dari kebenaran. Wahai
Raja, kebenaran adalah Dia Yang Maha Benar. Kebenaran adalah sumpah
tertinggi! Oleh sebab itu, jangan langgar sumpahmu. Biarlah kebenaran
bersatu dengan engkau. Kalau engkau menghiraukan kata-kataku ini, dengan
kemauan sendiri aku akan pergi dari sini. Sesungguhnya aku tahu bahwa
persahabatan denganmu lebih baik dihindari. Tetapi, hai Dushmanta, kelak
setelah engkau tiada, anakku ini yang akan menguasai dunia yang
dikelilingi empat samudra dan dihormati oleh raja-raja dari segala
penjuru.”
Setelah mengucapkan kata-kata keras, Syakuntala
meninggalkan Dushmanta. Begitu Syakuntala hilang dari pandangan,
terdengarlah suara dari langit meskipun tak ada sosok yang terlihat.
Dushmanta, dikelilingi para pendeta istana dan para menteri, mendengar
suara itu berkata .
“Seorang ibu ibarat kulit dari daging.
Anak laki-laki berasal dan merupakan citra ayahnya. Karena itu, wahai
Dushmanta, sayangilah putramu dan janganlah menghina Syakuntala. Wahai
Raja mulia, anak yang berasal dari benihmu akan menyelamatkanmu dari
kekuasaan Batara Yama dengan upacara-upacara keagamaan. Engkau adalah
asal-mula anak ini. Syakuntala tidak berdusta. Ingatlah, suami yang
membagi dirinya menjadi dua, terlahir kembali melalui istrinya dalam
wujud anak laki-laki .
“Wahai Dushmanta, pujalah dan sayangilah
anakmu, buah rahim Syakuntala. Kau akan tertimpa malapetaka besar jika
menyia-nyiakan dia. Anak yang berjiwa agung itu akan dikenal dengan nama
Bharata, artinya yang dipuja’!”
Kemudian suara dari kahyangan itu lenyap .
Setelah
mendengar kata-kata itu, Raja merasa sangat gembira. Ia berkata kepada
semua orang yang ada di hadapannya, “Kalian dengar sabda dari langit
tadi? Sebenarnya aku telah mengakui anak ini sebagai anakku sendiri.
Tetapi, jika kupungut dia dan kuturuti kata-kata Syakuntala begitu saja,
rakyatku pasti curiga dan anakku dianggap anak haram.”
Akhirnya
Raja memerintahkan agar dilakukan upacara khusus, yaitu upacara yang
dipersembahkan seorang ayah untuk anaknya. Dengan upacara yang lain,
Syakuntala diterima sebagai permaisuri. Anak itu diberi nama Bharata dan
dinobatkan menjadi putra mahkota. Kelak di kemudian hari, keturunan
Bharata menjadi bangsa yang besar .
***
BERSAMBUNG
0 komentar :
Posting Komentar