5. Dewabrata, Putra Raja Santanu dan Dewi Gangga
“Wahai Dewiku, maukah engkau menjadi istriku? Aku tidak peduli siapa pun engkau. Aku terpesona oleh kecantikanmu dan jatuh cinta padamu. Siapakah engkau dan dari manakah asalmu?” kata Raja Santanu kepada seorang gadis jelita yang berdiri di hadapannya .
Sesungguhnya gadis
itu adalah Dewi Gangga, bidadari kahyangan yang turun ke bumi dalam
wujud manusia. Parasnya yang cantik, lekuk tubuhnya yang indah, dan
tindak-tanduknya yang halus membuat Raja Santanu terpikat dan bangkit
gairah asmaranya .
Sang Raja berjanji akan mempersembahkan
seluruh cinta, kekayaan, dan kerajaannya bahkan seluruh hidupnya kepada gadis jelita itu .
Tanpa curiga atas pertanyaan Raja Santanu, gadis itu menjawab,
“Wahai Raja perkasa, hamba bersedia menjadi istri Paduka asalkan Paduka berjanji memenuhi syaratsyarat hamba.”
“Apakah itu?” tanya Raja Santanu tak sabar .
“Pertama, jika hamba sudah menjadi istri Paduka, tak seorang pun, tidak juga Paduka, boleh bertanya siapa sesungguhnya
hamba dan dari mana asal-usul hamba. Kedua, apa pun yang hamba lakukan
—baik atau buruk, benar atau salah, wajar atau ganjil— Paduka tidak
boleh menghalang-halangi. Ketiga, Tuanku tidak boleh marah kepada hamba
dengan alasan apa pun. Keempat, Paduka tidak boleh mengatakan sesuatu
yang membuat perasaan hamba tidak enak .
“Begitu Tuanku
melanggar syarat-syarat itu —walau hanya satu— hamba akan meninggalkan
Tuanku saat itu juga. Apakah Tuanku setuju dan bersedia berjanji untuk
tidak melanggarnya?”
Tanpa berpikir panjang, Raja Santanu yang
sedang dimabuk asmara langsung bersumpah akan memenuhi semua syarat yang
dikatakan si gadis jelita .
Demikianlah, tanpa mengenal
siapa namanya dan tanpa mengetahui dari mana asal-usulnya, Raja Santanu
mempersunting gadis jelita yang ditemukannya di tepi Sungai Gangga.
Dibawanya gadis itu ke istana dan dinobatkannya menjadi permaisurinya .
Hari
demi hari berlalu. Raja Santanu semakin mencintai permaisurinya yang
jelita, lebih-lebih karena selain cantik, permaisurinya itu sangat
berbakti kepadanya dan halus tutur katanya. Kebahagiaan Sang Raja
semakin lengkap ketika tahu permaisurinya mengandung .
Sembilan
bulan mereka lewatkan dengan penuh bahagia. Tak terasa waktu berlalu
begitu cepat dan tibalah saatnya Dewi Gangga melahirkan. Sang Dewi pamit
kepada suaminya, mengatakan bahwa dia akan pergi menyendiri dan
melahirkan di tepi Sungai Gangga. Dia tak mau ditemani siapa pun, tidak
juga sang Raja .
Maka pergilah Dewi Gangga seorang diri.
Sampai di tepi sungai, dia mencari tempat yang teduh dan terlindung
untuk melahirkan. Bayi yang dilahirkannya langsung dibuangnya ke sungai.
Setelah membersihkan diri, sang Dewi kembali ke istana dengan wajah
berseri-seri, seolaholah tak terjadi apa-apa .
Raja
Santanu menyambutnya dengan penuh harap. Hatinya bahagia akan menyambut
sang bayi, buah kasihnya dengan permaisuri yang dicintainya. Tetapi,
betapa kecewanya Raja melihat Dewi Gangga datang tanpa sang bayi.
Perasaan Baginda campur aduk. Heran, melihat istrinya kembali tanpa sang
bayi. Cemas, memikirkan nasib sang bayi. Murka, karena permaisurinya
tampak tenang dan tidak merasa bersalah. Raja merasa
berdosa, karena tak kuasa berbuat apa pun kecuali diam seribu bahasa.
Tak berani bertanya. Tak berani melanggar sumpah yang telah diucapkannya
.
Raja Santanu, yang terlanjur mencintai dan terpesona
oleh kecantikan permaisurinya, tak berani bertanya sepatah kata pun.
Disambutnya sang Dewi dengan mesra, seakan-akan tak terjadi apa-apa.
Mereka melanjutkan kehidupan seperti biasa .
Hari berganti
minggu dan minggu berganti bulan. Dewi Gangga kembali hamil dan ketika
tiba saatnya melahirkan, sekali lagi dia mohon diri hendak menyepi di
tepi Sungai Gangga. Syarat yang diajukannya tetap sama: tak seorang pun
boleh mengikutinya .
Hal yang sama terulang. Sang Dewi
kembali ke istana tanpa menggendong bayi. Sang Raja, dengan perasaan
tertekan, menyambut istrinya seolah-olah tak terjadi apa-apa .
Demikianlah,
kejadian itu berulang sampai tujuh kali. Tetapi, pada kehamilan yang
kedelapan, Raja Santanu tak kuasa menahan diri lagi. Sudah lama ia
bertanya-tanya dalam hati, siapa dan dari mana asal perempuan kejam yang
menjadi istrinya itu. Di mana semua anak yang telah dilahirkannya?
Sungguh kejam ibu yang menelantarkan bayi-bayinya .
Diam-diam
Raja membuntuti istrinya ke tepi Sungai Gangga. Alangkah terkejutnya
Baginda melihat sang Dewi mengangkat bayi yang baru dilahirkannya dan
siap menceburkannya ke dalam sungai. Tanpa berpikir panjang dan lupa
akan sumpahnya, Baginda berteriak lantang, “Hentikan! Ini pembunuhan
kejam! Rupanya kau tega membunuh bayi-bayimu yang tidak berdosa!” Sambil berteriak demikian, Raja mencengkeram tangan Dewi Gangga, menahannya agar tidak melaksanakan perbuatan terkutuk itu.
“Wahai,
Raja yang Agung! Kau telah melanggar janjimu padaku karena hati dan
perasaanmu telah tertambat pada bayi ini. Itu artinya, engkau tidak
menginginkan aku lagi. Baiklah, aku tidak akan membunuh bayi ini! Tetapi
sebelum aku pergi dan sebelum engkau menyimpulkan sesuatu tentang aku, dengarkanlah ceritaku ini .
Aku
adalah bidadari yang dipaksa memainkan lakon duka ini karena sumpah
Resi Wasistha. Sesungguhnya aku ini Batari Gangga yang dipuja para dewa
dan manusia. Resi Wasistha telah menimpakan kutuk-pastu kepada delapan
wasu yang akan terpaksa lahir ke bumi ini. Para wasu itu kemudian
memohon agar aku bersedia menjadi ibu mereka. Dengan perkenanmu, Raja
Santanu, aku melahirkan mereka ke dunia, sebagai anak-anakmu. Sebagai
balas budi karena telah menolong mereka, kelak engkau akan mencapai
tempat yang mulia tinggi di alam baka .
Sekarang, aku akan
membawa bayi ini dan mengasuhnya sampai dia cukup besar dan tiba
waktunya untuk kuserahkan kembali kepadamu. Anak ini akan menjadi
lambang dan kenangan atas cinta kita berdua.”
Setelah
berkata demikian, Batari Gangga menghilang bersama bayinya. Kelak, bayi
itu dikenal dengan nama Bhisma dan menjadi kesatria sakti yang
termasyhur .
- ***
- Terkisahlah bagaimana asal mulanya hingga para wasu itu menerima kutuk-pastu dari Resi Wasistha .
Pada
suatu hari, kedelapan wasu itu berjalan-jalan di pegunungan bersama
istri-istri mereka. Di pegunungan itu terdapat pertapaan Resi Wasistha.
Mereka masuk ke pertapaan itu, tetapi sang Resi tidak ada. Di
pelatarannya, seorang wasu melihat Nandini, sapi kepunyaan sang Resi,
sedang makan rumput. Nandini tampak indah, sehat dan menawan .
Istri-istri para wasu itu terpesona oleh keelokan Nandini. Salah seorang dari mereka meminta suaminya menangkap sapi itu .
Suaminya berkata, “Apa gunanya sapi itu bagi kita para Dewa? Nandini adalah kepunyaan Resi Wasistha yang menguasai
daerah ini. Karena kesaktian sang Resi, susunya akan membuat orang yang
meminumnya hidup abadi. Tapi, apa gunanya bagi kita karena sebagai dewa
kita sudah ditakdirkan hidup abadi? Janganlah kita serakah. Biarkan
sapi itu tenang merumput. Lagi pula, kalau celaka kita bisa kena
kutuk-pastu dan murka Resi Wasistha — hanya karena menuruti hasrat dan
kesenangan belaka.”
Tetapi istrinya tak mengindahkan hal
itu. Ia berkata, “Aku punya teman yang sangat kukasihi. Dia manusia
biasa. Aku ingin memberikan susu Nandini kepadanya agar ia bisa hidup
abadi. Demi dialah aku memintamu menangkap Nandini. Sebelum Resi
Wasistha kembali ke pertapaan ini, kita sudah pergi jauh dari sini
sambil membawa sapi itu. Lakukanlah demi keinginanku, karena
permintaanku ini sangat berharga bagiku.”
Akhirnya, suaminya menurut. Kedelapan wasu itu bersama-sama menangkap Nandini dan anaknya, lalu melarikannya jauh-jauh .
Ketika
Resi Wasistha kembali ke pertapaan, Nandini dan anaknya tak dilihatnya.
Sapi kesayangannya itu hilang bersama seekor anaknya. Sapi yang selama
ini memberinya hidup dan tak dapat dipisahkan kegunaannya dalam upacara
persembahan setiap hari .
Berkat kekuatan yoganya, sang
Resi mengetahui apa yang telah terjadi. Alangkah murkanya dia. Dengan
lantang ia mengucapkan kutuk-pastu, mengutuk para wasu. Karena kutukan
itu, para wasu akan terlahir ke dunia dan hidup sebagai manusia yang
menderita. Itulah hukuman bagi mereka yang telah merampas satu-satunya
harta berharga miliknya .
Ketika para wasu tahu bahwa
mereka kena kutukpastu, mereka sangat menyesal. Tapi... penyesalan
selalu datang terlambat. Segera mereka kembali ke pertapaan Resi
Wasistha, mengembalikan Nandini dan anaknya, lalu bersimpuh di depan
sang Resi, memohon ampun atas dosa mereka .
Resi Wasistha berkata,
“Kutuk-pastu telah terucapkan dan akan berlaku pada waktunya. Wasu yang
melarikan sapiku akan hidup lama di dunia dalam kemewahan dan
kesenangan duniawi, tetapi wasu-wasu lain akan terlepas dari kutuk ini
segera setelah dilahirkan sebagai manusia. Aku tak bisa menarik
kutukanku, tetapi aku bisa melunakkannya.”
Kemudian
Resi Wasistha bersemadi. Diatur napasnya, ditenangkan pikirannya, dan
diredakan amarahnya. Sesungguhnya, seorang resi yang sedang
ber-tapabrata memang bisa memperoleh kesaktian untuk mengutukpastu.
Tetapi, setiap kali ia menggunakan kesaktiannya untuk melontarkan
kutuk-pastu, derajat kesucian yang telah berhasil dicapainya akan
berkurang .
Para wasu merasa lega karena ada kemungkinan
kutukan itu akan dilunakkan. Kemudian pergilah mereka menghadap Dewi
Gangga dan memohon, “Kami datang memujamu, Batari. Kami mohon, sudilah
kiranya Batari menjadi ibu kami. Kami mohon agar Batari bersedia turun
ke mayapada dan menikah dengan seorang raja. Kelak, satu per satu dari
kami akan terlahir lewat rahim Paduka. Dan, segera setelah kami lahir,
buanglah kami ke dalam sungai agar kami terbebas dari kutuk-pastu.”
Dewi
Gangga mengabulkan permohonan mereka. Ia turun ke bumi, di tepi Sungai
Gangga. Di sana ia bertemu dengan Raja Santanu yang kemudian
menyuntingnya menjadi permaisurinya .
- ***
Kembali ke
kisah Dewi Gangga yang meninggalkan Raja Santanu. Sang Dewi menghilang
bersama bayinya yang kedelapan dan tidak pernah muncul kembali. Sejak
itu, sang Raja meninggalkan kesenangan duniawi dan memerintah
kerajaannya dengan lebih bijaksana serta didasari semangat kerokhanian .
Pada
suatu hari, Raja Santanu berjalan-jalan di tepi Sungai Gangga. Ia
melamun, mengenangkan saat-saat pertemuannya dengan Dewi Gangga. Sungguh
kenangan yang sangat indah namun meninggalkan kepedihan di hati.
Kemudian dia melihat seorang anak laki-laki yang dikelilingi aura
kemegahan dan keagungan dari Dewendra, raja dari segala dewa dan batara,
anak kecil yang sedang tumbuh menjadi remaja. Anak itu sedang bermain
panah. Berkali-kali ia melepas anak panah-anak panah dari busurnya,
mengarahkannya ke seberang Sungai Gangga. Tak terlihat siapa-siapa di
dekatnya. Begitu pula di seberang sungai. Raja Santanu takjub dan
terharu melihat ketampanan dan ketangkasan anak itu. Raja mendekati anak
itu, ingin bertanya padanya. Tetapi... tiba-tiba dia melihat Dewi
Gangga muncul di hadapannya .
Dewi Gangga berkata dengan lemah lembut,
“Wahai,
Paduka Raja, inilah anak kita yang kedelapan. Dia kunamai Dewabrata dan
kuasuh hingga mahir berolah senjata, menguasai ilmu perang dan memiliki
kesaktian yang setara dengan kesaktian Parasurama. Ia telah mempelajari
Weda dan falsafah Wedanta dari Resi Wasistha. Kecuali itu, ia juga
menguasai kesenian, kebudayaan dan ilmu gaib Sanjiwini yang dikuasai
Sukra. Sambutlah anak ini. Terimalah dan asuhlah dalam istanamu. Kelak
dia akan menjadi kesatria besar, ahli siasat perang dan senapati agung.”
***
BERSAMBUNG
0 komentar :
Posting Komentar