6. Dewabrata Bersumpah Sebagai Bhisma
Dengan
hati bahagia Raja Santanu menyambut putranya dan membawanya ke istana.
Anak yang dikelilingi aura keagungan dan menunjukkan watak-watak
kesatria sejati itu dinobatkannya menjadi putra mahkota. Dewabrata
diangkat sebagai yuwaraja atau putra mahkota yang bertugas mendampingi
Raja dalam memerintah. Dia pula yang akan mewarisi kerajaan ayahnya,
kelak setelah ayahnya mengundurkan diri dengan bijaksana .
Empat
tahun berlalu. Pada suatu hari, Raja Santanu berjalan-jalan di tepi
Sungai Yamuna. Tiba-tiba angin berhembus dan terciumlah olehnya
keharuman yang memenuhi udara. Raja mencari sumber keharuman yang suci
itu dan melihat seorang gadis cantik jelita, secantik bidadari
kahyangan, duduk melamun di tepi sungai .
Sejak Dewi
Gangga meninggalkannya, Raja Santanu selalu berusaha menahan hasrat dan
hawa nafsunya dan berusaha hidup dengan sepenuhnya mengutamakan
kebajikan. Tetapi, kecantikan wajah dan keharuman tubuh gadis itu
membuatnya lupa akan tapabrata-nya. Hatinya bergejolak, dilanda cinta
asmara yang meluap-luap. Raja Santanu meminang gadis itu agar mau
menjadi permaisurinya .
“Wahai
gadis jelita, siapakah namamu dan dari mana asalmu? Aku terpesona oleh
kecantikanmu. Maukah engkau kupersunting menjadi istriku?” kata sang
Raja .
Berkatalah sang juwita, “Daulat Tuanku, nama hamba Satyawati.
Hamba seorang penangkap ikan. Ayah hamba kepala kampung nelayan di
sini. Hamba persilakan Paduka membicarakan permintaan itu dengan ayah
hamba. Semoga dia menyetujuinya.”
Satyawati mengantarkan
sang Raja ke rumah orangtuanya di kampung nelayan yang agak jauh dari
tempatnya mencari ikan. Sampai di rumah, sang Raja dipersilakan untuk
mengutarakan niatnya .
Kata Raja Santanu, “Wahai Bapak
nelayan, aku temukan putrimu yang jelita ini di tepi sungai sedang
mencari ikan. Aku sangat terpesona oleh kecantikan dan tutur katanya
yang lembut. Aku ingin mempersunting dia menjadi istriku dan
memboyongnya ke istanaku.”
Ayah gadis itu orang yang
cerdik. Ia menyembah Raja Santanu dan berkata, “Daulat Tuanku. Memang
sudah waktunya anak hamba menikah dengan seorang lelaki, seperti
gadis-gadis lain. Paduka Tuanku adalah raja yang mulia dan berkedudukan
jauh di atas dia. Hamba tidak keberatan jika anak hamba Paduka
persunting. Tetapi, sebelum Satyawati hamba serahkan, Paduka harus
berjanji.”
Kata Raja Santanu, “Apa pun syarat yang kauajukan, aku akan memenuhinya.”
Kepala
kampung nelayan itu memohon, “Jika anak hamba melahirkan seorang bayi
lelaki, Paduka harus menobatkannya menjadi putra mahkota dan kelak
setelah Paduka mengundurkan diri, Paduka harus mewariskan kerajaan ini
kepadanya.”
Meskipun tergila-gila pada anak gadis kepala
kampung nelayan itu, namun Raja Santanu tak dapat menyanggupi
persyaratan itu. Ia sadar, jika dia memenuhi semua syarat yang diajukan
ayah si gadis, berarti ia harus menyingkirkan Dewabrata yang sudah
dinobatkannya menjadi yuwaraja dan berhak atas takhta kerajaannya kelak.
Terlalu besar yang harus ia pertaruhkan untuk mempersunting Satyawati.
Sungguh tidak pantas dan memalukan, jika ia menuruti kata hatinya.
Setelah bergulat dengan perasaannya, Raja Santanu kembali
ke istananya di Hastinapura. Perasaannya campur aduk, sedih karena
mungkin harus menyingkirkan Dewabrata, senang karena sedang jatuh cinta.
Tetapi, sang Raja menyimpan rahasianya rapatrapat. Tak seorang pun
diberi tahu akan hal itu. Raja lebih banyak mengurung diri di ruang
peraduannya dan melamun. Tugas-tugas kerajaan lebih banyak dilakukan
oleh Dewabrata .
Mengetahui hal itu, suatu hari Dewabrata
bertanya kepada ayahnya, “Ayahanda mempunyai segala sesuatu yang mungkin
diinginkan oleh seorang manusia. Tetapi mengapa Ayahanda kelihatan
begitu murung? Apa sebabnya Ayahanda berduka demikian rupa? Wajah Paduka
seakan-akan menyimpan rahasia dan menanggung beban berat.”
Jawab
Baginda, “Anakku sayang, apa yang kaukatakan itu benar. Sesungguhnya
Ayahanda sedang tersiksa oleh perasaan duka dan cemas. Engkau putraku
satu-satunya. Engkau selalu sibuk mengurus kerajaan dan melatih para prajurit
agar mahir berperang. Hidup di dunia ini tidak pasti dan tidak kekal.
Perang dan damai silih berganti tiada henti. Jika kau mati tanpa punya
anak, maka garis keturunan kita akan putus, habis .
“Sudah
tentu seorang anak —apalagi anak tunggal— sama berharganya dengan
seratus anak. Para tua-tua cendekia yang mahir akan makna kitab-kitab
suci berkata, ‘Di mayapada atau di dunia ini, punya anak hanya seorang
sama dengan tidak punya anak sama sekali’. Sungguh sayang jika
kelangsungan hidup keluarga dan keturunan kita hanya bergantung pada
seorang saja. Sebenarnya, Ayahanda memikirkan kelangsungan garis
keluarga dan keturunan kita sampai beratus-ratus tahun kelak. Itulah
yang membuatku gelisah dan berduka.”
Raja Santanu berusaha
keras untuk menyembunyikan isi hatinya yang sesungguhnya karena ia malu
pada putranya. Dewabrata yang bijaksana dan setia kepada ayahnya
menyadari hal itu. Ia tidak mau mendesak agar ayahnya mengungkapkan hal-hal yang dirahasiakannya dan menyebabkannya berlaku seperti itu, selalu murung dan gelisah .
Dewabrata
kemudian bertanya kepada sais kereta ayahnya. Barulah ia tahu bahwa
belum lama ini ayahnya berkenalan dengan seorang gadis cantik penangkap
ikan di tepi Sungai Yamuna, bahwa ayahnya kemudian meminang gadis itu,
dan bahwa ayahnya tak sanggup memenuhi syarat-syarat yang diajukan ayah
si gadis .
Mendengar itu, Dewabrata memutuskan untuk menemui kepala kampung nelayan itu dan meminang putrinya atas nama ayahnya .
Kepala kampung nelayan itu berpegang teguh pada pendiriannya,
“Wahai
sang Putra Mahkota, sesungguhnya anak hamba pantas menjadi permaisuri
ayahanda Paduka. Karena itu, sungguh wajar jika kelak anaknya dinobatkan
menjadi raja, menggantikan ayahanda Paduka. Apakah Tuanku sependapat
dengan hamba?
“Hamba tahu, Paduka telah dinobatkan menjadi
yuwaraja dan dengan sendirinya kelak akan menggantikan beliau. Demi anak
hamba, jangan sampai hal itu terjadi.”
Kata Dewabrata,
“Baiklah. Ingat baik-baik kata-kataku ini: Jika anakmu melahirkan
seorang anak lelaki, anak itu kelak akan dinobatkan menjadi raja. Aku
rela turun takhta demi keinginan ayahanda Raja Santanu untuk melanjutkan
keturunannya.”
Mendengar kata-kata Dewabrata, nelayan itu bersujud,
“Wahai
Putra Mahkota yang paling bijaksana di antara semua keturunan Bharata,
apa yang Tuan lakukan sungguh berani dan belum pernah dilakukan orang
sebelumnya. Tuanku seorang pahlawan besar. Silakan Tuanku membawa anak
hamba untuk dipersembahkan kepada ayahanda Paduka .
“Hamba
yakin, Tuanku pasti akan memenuhi janji. Tetapi, apa yang dapat hamba
pakai sebagai pegangan yang menguatkan harapan hamba? Bagaimana
putraputra yang lahir sebagai keturunan Tuanku akan rela menyerahkan
hak-hak mereka sebagai ahli waris kerajaan?
Putra-putra
Tuanku pasti akan menjadi pahlawanpahlawan besar seperti Tuanku sendiri.
Tuanku pasti sulit menjelaskannya kepada mereka. Pasti sulit
menghalangi keinginan mereka untuk kembali memiliki kerajaan — entah
dengan kekerasan atau secara baik-baik. Inilah keraguan hati hamba yang
selalu membuat hamba cemas.”
Mendengar pertanyaan yang
sangat sulit dijawab itu, Dewabrata dengan penuh niat suci memutuskan
untuk melepaskan diri dari segala sesuatu yang bersifat duniawi, demi
ayahnya .
Kemudian ia bersumpah di hadapan ayah si gadis
penangkap ikan, “Aku berjanji tidak akan kawin. Dengan demikian, aku
takkan pernah punya anak. Seluruh hidupku akan kupersembahkan untuk
berbakti pada rakyat dan kerajaan dan untuk kesucian.”
Ketika
Dewabrata mengucapkan sumpah sucinya, berguguranlah kembang-kembang
harum suci menaburi kepalanya, sementara di angkasa bergema suara merdu,
“Bhisma... bhisma... bhisma....”
Kata bhisma menyatakan
bahwa seseorang telah mengucapkan sumpah yang berat dan suci dan
berjanji akan benar-benar melaksanakannya. Dewabrata memenuhi
syarat-syarat itu .
Sejak itu, Dewabrata melepas gelar
yuwaraja dan tidak lagi berkedudukan sebagai putra mahkota. Kemudian dia
digelari dengan nama Bhisma, sebagai penghormatan akan kesetiaannya
kepada ayahnya dan keteguhan hatinya yang suci .
Demikianlah,
Dewabrata putra Dewi Gangga memboyong Satyawati ke Hastinapura untuk
diserahkan kepada ayahnya, Baginda Raja Santanu .
Dari
perkawinannya dengan Satyawati, Raja Santanu mempunyai dua putra,
Chitranggada dan Wichitrawirya. Chitranggada meninggal lebih dulu
daripada adiknya, tanpa meninggalkan seorang putra pun; sedangkan
Wichitrawirya mempunyai dua putra, yaitu Dritarastra dan Pandu dari dua
permaisurinya, Ambika dan Ambalika .
Dritarastra berputra seratus
orang; mereka dikenal sebagai Kaurawa. Pandu berputra lima orang, mereka
termasyhur sebagai Pandawa. Adapun Bhisma, sebagai kakek-paman dan
sesepuh anak-cucu Raja Santanu, hidup sampai usia tua, disegani dan
dihormati oleh seluruh sanak keluarganya. Kelak Bhisma meninggal sebagai
senapati dalam perang besar Bharatayuda di padang Kurukshetra .
***
BERSAMBUNG
0 komentar :
Posting Komentar