HARI KE SEPULUH
Tibalah
hari kesepuluh. Arjuna menyerang Bhisma bersama Srikandi. Partha mulai
melepaskan panah ke arah Bhisma, tetapi panah Srikandi-lah yang pertama
menembus dada kesatria tua itu. Dengan dada tertembus panah, Bhisma
menoleh, memandang Srikandi. Sesaat lamanya mata Bhisma berbinar-binar
bagai permata yang terkena cahaya gemilang. Itulah tanda bahwa ia sedang
marah .
Tetapi Mahaguru sakti dan berjiwa luhur itu menahan hatinya, sebab ia ingat akan sumpahnya: tidak akan membalas Srikandi yang terlahir sebagai perempuan .
“Menepati sumpah adalah perbuatan kesatria,” bisik hatinya .
Srikandi
terus menyerang Bhisma dengan panahnya. Tak disadarinya bahwa kesatria
tua itu sama sekali tidak membalas serangannya. Sesuai sumpahnya, kini
Bhisma justru merasa tenang. Ia tahu, saat kematiannya telah tiba. Di pihak lain, Partha juga mendapat kekuatan hati untuk membidikkan anak panahnya pada bagian-bagian tubuh Bhisma yang lemah .
Mula-mula
satu per satu senjata Bhisma dihancurkannya. Kemudian sekujur tubuh
Bhisma dihujani panah dari Gandiwanya. Tetapi, Bhisma malah tersenyum
dan berkata kepada Duhsasana yang ada di dekatnya, “Semua
panah yang menembus badanku ini berasal dari Partha, bukan dari
Srikandi. Panasnya mulai terasa membakar tubuhku, bagaikan anak-anak
kepiting yang merayap-rayap dan menjepit-jepit melukaiku.”
Meskipun
sekujur badannya luka-luka berlumuran darah, namun kesatria tua itu
tetap melaksanakan tugasnya dengan tegar. Dilemparkannya bola-bola besi
ke arah Arjuna, yang disambut lesatan panah Partha. Beradunya
senjata-senjata Bhisma dengan panah-panah Arjuna menimbulkan percikan
api di udara. Kedua jenis senjata itu meledak dan jatuh hancur
berkeping-keping .
Partha
terus menghujani Bhisma dengan anak panahnya sampai sekujur tubuh
kesatria tua itu bagaikan bermandi darah. Bhisma hendak turun dari
keretanya dan menyerang Arjuna dengan pedang dan tameng di tangan.
Tetapi, tiba-tiba tamengnya terbelah dua ditembus panah Partha yang
ujungnya setajam kapak. Tak sejari pun kulit tubuhnya yang tak ditembus
anak panah Arjuna. Kesatria termasyhur itu roboh, bagaikan pohon
beringin tumbang terkena angin topan. Bhisma jatuh terguling dari
keretanya, tetapi karena tubuhnya penuh ditancapi panah-panah Arjuna, ia
tidak menyentuh tanah .
Ketika kesatria tua itu jatuh,
pertempuran di seluruh medan berhenti. Para dewata di kahyangan terharu
menyaksikan gugurnya Bhisma. Semua menundukkan kepala, mengatupkan kedua
telapak tangan, memberi penghormatan terakhir kepada kesatria besar
yang luar biasa itu .
Demikianlah putra Dewi
Gangga itu gugur. Sang Ibu turun ke bumi, membawa cahaya untuk
melingkari jasad kesatria itu. Bhisma gugur setelah melakukan tugasnya,
membayar hutang keadilan dan kebenaran kepada Duryodhana dan Kaurawa.
Para
raja, putra mahkota, perwira, senapati, dan prajurit kedua pihak, semua
turun dari kereta, gajah atau kuda mereka, lalu bergegas mendekati
Bhisma, yang terbaring bagai gundukan raksasa disangga tiang-tiang anak
panah. Mereka menyembah dan memberikan penghormatan terakhir .
“Kepalaku terkulai, tidak beralaskan apa-apa,” kata Bhisma. Mereka yang berdiri di dekatnya segera mencarikan setumpuk bantal, tetapi Bhisma menolak sambil tersenyum. Katanya, “Cucuku Partha, beri aku bantal yang pantas bagi seorang prajurit yang gugur.”
Arjuna
segera mencabut tiga anak panah dari kantong panahnya, lalu
meletakkannya di bawah kepala Bhisma dengan ujung-ujung menghadap ke
atas hingga menembus kepala kesatria tua itu .
Kemudian Bhisma berkata lagi dengan tenang,
“Wahai
para kesatria sekalian, para raja dan putra mahkota, apa yang dilakukan
Partha sungguh tepat. Bantal yang kumaksud adalah anak panah, sebab
sekujur badanku telah ditembus anak panah. Aku benar-benar puas.
Sekarang aku bisa berbaring dengan tenang sampai matahari terbenam
nanti. Setelah itu, barulah jiwaku akan meninggalkan jasad ini. Bila aku
telah tiada, mungkin di antara kalian akan ada yang menyusulku. Sampai
bertemu kembali. Kalau tidak, kuucapkan selamat tinggal!”
Kemudian Bhisma menatap wajah Partha dan berkata kepadanya, “Aku haus sekali. Beri aku minum.”
Arjuna
segera membuat lingkaran kecil di tanah, dekat telinga kanan Bhisma,
lalu menancapkan anak panahnya dalam-dalam ke tanah. Ketika anak panah
itu dicabut, dari lubang itu menyembur air jernih, tepat menyentuh bibir
Bhisma. Demikianlah, kesatria tua itu minum sepuaspuasnya .
Setelah bercakap-cakap dengan Partha, Bhisma menatap wajah Duryodhana, lalu berkata dengan lembut,
“Wahai
Putra Mahkota, semoga engkau dapat memetik hikmah dari semua yang telah
terjadi. Apakah engkau melihat bagaimana Arjuna memberiku air minum
yang jernih untuk pengobat hausku? Berdamailah engkau sekarang juga,
jangan ditunda-tunda lagi. Akhirilah peperangan ini sekarang juga.
Perhatikan kata-kataku. Cucuku Duryodhana, berdamailah engkau dengan
Pandawa!”
Tetapi, hati Duryodhana telah membatu, keras dan tak tergoyahkan. Siapa yang bisa disalahkan?
***
Mendengar berita gugurnya Bhisma, Karna segera berlari mendekat. Ia bersimpuh di dekat kaki kesatria tua itu, menyembah dengan penuh hormat, dan berkata,
“Wahai
sesepuh bangsa Bharata yang kuhormati, aku anak Radha yang telah
menyebabkan engkau kesal dan marah karena ketololanku. Aku datang
bersujud ke hadapanmu. Ampunilah segala kesalahanku.”
Kemudian
Karna bangkit berdiri dan menatap wajah Bhisma yang pucat pasi.
Perlahan-lahan kesatria tua itu membuka matanya dan tersenyum. Ia
terharu mendengar kata-kata Karna. Diisyaratkannya agar Karna mendekat,
lalu diletakkannya tangannya yang sudah dingin di kepala kesatria itu
sambil berkata dengan penuh kasih sayang,
“Wahai anak
muda, sesungguhnya engkau bukan anak Adiratha, bukan pula anak Radha.
Engkau adalah putra Dewi Kunti yang sulung. Bhagawan Narada mengetahui
semua rahasia ini dan menceritakannya padaku. Ayahmu adalah Bhatara
Surya. Percayalah, aku tidak pernah membencimu. Tapi aku sedih, karena
kebencianmu kepada Pandawa semakin menjadi-jadi dan karena sebetulnya
itu tidak beralasan. Aku tahu siapa engkau, dan aku mengagumi
ketangkasanmu, kecerdasanmu dan kejujuranmu. Aku juga tahu, sebagai
kesatria engkau tak kalah hebatnya dengan Palguna atau Krishna. Sungguh
baik jika engkau bisa bersahabat dengan Pandawa, lebih-lebih karena
engkau yang sulung di antara putra-putra ibumu. Harapanku, semoga
peperangan ini segera dihentikan.”
Setelah mendengarkan dengan penuh perhatian, Karna menjawab dengan penuh hormat,
“Kakek yang kuhormati, aku tahu aku ini anak Dewi Kunti, bukan anak
sais kereta. Tetapi, aku berutang budi kepada Duryodhana, aku hidup dan
makan dari hasil bumi tanah milik Kaurawa. Aku harus jujur kepadanya dan
menepati janjiku sebagai kesatria. Tidak mungkin bagiku untuk
menyeberang ke pihak Pandawa sekarang. Ijinkan aku membalas jasa
Duryodhana dengan jiwaku. Ijinkan aku melunasi hutangku terhadap
kepercayaan dan cintanya kepadaku. Engkau pasti memahami ini dan
memaafkan aku. Aku mohon restumu.”
Bhisma memahami jiwa besar dan keluhuran budi Karna. Ia membenarkan apa yang diucapkan Karna dan berkata, “Jika memang demikian ketetapan hatimu, lakukanlah sebaik-baiknya. Sebab, itulah yang paling pantas kaulakukan.”
Sesuai
sumpahnya, selama Bhisma memimpin balatentara Kaurawa, Karna
menyisihkan diri. Sedikit pun ia tidak pernah mengingkari sumpah yang ia
ucapkan di hadapan Bhisma .
“Jika engkau,
Bhisma, dapat membunuh Pandawa dan memenangkan balatentara Kaurawa, aku,
Karna, akan merasa bahagia. Aku akan meninggalkan keramaian ini dan
masuk ke hutan untuk bertapa. Tetapi jika engkau tewas lebih dulu, aku
—yang telah kauyakinkan bahwa bukan anak sais kereta— akan memacu kudaku
sekencang angin .
Aku akan bertempur melawan semua musuhku. Akan kuhancurkan mereka dan kubawa kemenangan gemilang bagi Duryodhana.”
Demikianlah sumpah Karna dahulu .
Setelah diam sejenak, Karna berkata kepada Bhisma,
“Wahai
Kesatria Tua, engkau sekarang terbaring di medan pertempuran. Engkau
selalu memberi petunjuk tentang jalan kebenaran. Hidupmu menjadi teladan
bagi kami, yaitu selalu bersih dalam kata-kata dan perbuatan, selalu
suci dalam keyakinan. Kini kau terbaring dengan tubuh penuh luka.
Peristiwa ini menjadi bukti bahwa di dunia ini tidak seorang pun akan
dapat mencapai apa yang patut diperolehnya sesuai jasa dan
pengabdiannya. Ibarat sebuah kapal, engkau telah menjadi tumpangan bagi
semua Kaurawa dalam mengarungi lautan suka duka .
“Setelah
kau meninggal, pasti besarlah kekalahan yang akan diderita Kaurawa.
Serangan Pandawa nanti bagaikan api raksasa membakar hutan kering. Krishna dan Arjuna pasti akan menghancurkan Kaurawa. Tetapi, Kakek yang kumuliakan, bukalah matamu dan pandanglah aku. Berilah aku restumu untuk memimpin balatentara Kaurawa.”
Bhisma memandang Karna, lalu memberikan restunya, “Engkau
ibarat tanah subur, engkau ibarat hujan di musim tanam yang memberi
harapan pada benih-benih yang akan tumbuh. Engkau selalu menepati
janjimu. Engkau selalu jujur dan setia. Bantulah Duryodhana dan
selamatkanlah dia! Engkau menaklukkan Kamboja untuk Duryodhana. Engkau
memusnahkan balatentara Giriwraja atas namanya. Engkau membuat
balatentara Kirata dari Gunung Himalaya menyerah kepadanya. Tak
terhitung jasamu untuk Duryodhana. Pimpinlah balatentara Kaurawa sebagai
milikmu yang paling berharga. Semoga engkau berhasil memimpin pasukan
Duryodhana. Semoga engkau selalu mendapat kemenangan. Bertempurlah
engkau melawan musuhmu!”
***
Akhirnya
Bhisma gugur di medan Kurukshetra. Ketika ia menghembuskan napasnya
yang terakhir, anak-anak panah yang menjadi pembaringannya terangkat
sedikit. Jiwa kesatria tua itu telah lepas, meninggalkan jasadnya,
kembali ke kahyangan. Seisi mayapada dan kahyangan berkabung,
menghormati gugurnya kesatria besar yang disegani dan dihormati itu .
***
BERSAMBUNG
Label:
Mahabharata