HARI KE SEMBILAN
Pada
hari kesembilan, pagi-pagi sekali sebelum pertempuran dimulai,
Duryodhana pergi menemui Bhisma. Dengan nada pahit ia menyatakan
ketidakpuasannya akan jalannya pertempuran dari hari ke hari. Kata-katanya tajam menusuk hati, bagai lembing menghunjam ke dalam dada.
Tetapi Bhisma adalah kesatria tua yang berjiwa besar. Ia menjawab dengan tenang meskipun nada bicaranya terdengar sedih,
“Wahai Putra Mahkota, aku ibarat minyak untuk lentera sembahyang, kuserahkan hidupku seluruhnya
untukmu.
Tetapi kenapa engkau selalu menyakiti hatiku, padahal aku telah
berusaha dengan segala dayaku? Bicaramu seperti orang yang tak punya
pengertian yang baik, tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana
yang salah. Kata orang, jika seseorang akan menemui ajalnya,
pohon-pohon pun tampak bagaikan emas. Engkau selalu melihat segala
sesuatu tidak seperti hakikat sebenarnya. Penglihatanmu telah diliputi
kabut dan mendung sangat tebal. Ketahuilah, mereka semua sesungguhnya
memberikan segala-galanya, semata-mata sebagai jalan bagiku untuk
memenuhi kewajibanku .
“Tidak
mungkin aku membunuh Srikandi, sebab aku telah bersumpah tidak akan
mengangkat tanganku untuk melawan perempuan. *) Demikian pula, tanganku
tidak akan sanggup menetakkan pedang di leher Pandawa, sebab hati dan
jiwaku tidak akan mengijinkan. Selain dua hal itu, tugas-tugasku
kulakukan dengan sebaik-baiknya, walaupun harus membunuh sekian
banyaknya kesatria yang berani menantangku sebagai musuhmu .
*) Di mata Bhisma, Srikandi yang telah menjadi pria saat itu, tetap seorang wanita karena awalnya terlahir sebagai wanita, Bhisma bisa melihat bahwa Srikandi merupakan titisan Dewi Amba yang cintanya pernah ditolak oleh Bhisma. (Admin)
“Ingatlah,
tak sesuatu pun akan kauperoleh jika kau ingkari hati nuranimu.
Bertempurlah sebagai layaknya kesatria maka kehormatan akan selalu ada
padamu!”
Selesai berkata demikian, Bhisma memberikan
beberapa perintah kepada para pemimpin pasukan untuk menghadapi
pertempuran hari itu. Berkat kata-kata kesatria tua itu, semangat
Duryodhana timbul kembali. Dengan tegas ia memberi perintah kepada Duhsasana untuk mengerahkan seluruh kekuatan yang ada untuk menghadapi pertempuran hari itu .
“Sekarang aku baru yakin,
Bhisma ternyata bertempur di pihak kita dengan sepenuh hati. Tetapi ia
tidak bisa menghadapi Srikandi karena sumpahnya. Karena itu, usahakan
agar ia jangan sampai berhadapan dengan Srikandi. Ingat, seekor anjing
akan mampu membunuh singa yang tidak mau melawan.”
Demikianlah, begitu fajar menyingsing di hari kesembilan, pertempuran segera dimulai. Abhimanyu berhadapan dengan raksasa Alambasa.
Ia tidak mau kalah dari ayahnya, Arjuna. Karena itu, dikerahkannya
segenap kemahirannya dan dibuatnya Alambasa lari tunggang-langgang. Pada
waktu yang sama, berlangsung pertarungan antara Aswatthama melawan Satyaki dan Drona melawan Arjuna .
Di
tempat lain, kecuali Arjuna, semua Pandawa menyerbu Bhisma. Duryodhana
menyuruh Duhsasana membantu kesatria tua itu walaupun yang dibantu
telah bertempur dengan sangat garang. Pandawa terpukul mundur beberapa
kali. Akibatnya, di beberapa medan pertempuran pasukan Pandawa
berantakan, bahkan ada yang melarikan diri ke dalam hutan.
Krishna, yang melihat keadaan seperti itu, segera menghentikan keretanya dan berkata kepada Arjuna, “Partha
*), engkau dan saudara-saudaramu telah tiga belas tahun menyabarkan
diri dan menunggu-nunggu saat seperti ini. Jangan ragu atau bimbang.
Tewaskan Bhisma! Ingatlah tugasmu sebagai kesatria!”
*) Pārtha adalah nama lain dari Arjuna yang berarti keturunan Partha atau Dewi Kunti (admin)
“Sebelumnya
aku berpendapat, lebih baik hidup dalam pengasingan di hutan daripada
harus membunuh Bhisma, Mahaguru yang kucintai dan kuhormati. Tetapi,
setelah mendengar kata-katamu, aku merasa mantap... sebagai kesatria
aku memang harus bertempur. Sekarang, lecutlah kudamu!” jawab Arjuna
dengan kepala tertunduk dan hati berat. Dengan sedih ia meneruskan
pertempuran itu .
Ketika balatentara Pandawa melihat
kereta Arjuna dipacu ke arah Bhisma, semangat mereka berkobar lagi.
Begitu berhadapan dengan Arjuna, Bhisma melepaskan anak panah,
bertubi-tubi, ke arah Arjuna. Anak panah-anak panah itu melesat
susul-menyusul bagai semburan api dari kepundan gunung meletus. Dengan
cekatan Krishna mengemudikan kereta hingga semburan anak panah Bhisma
dapat dihindari. Arjuna membalas dengan melesatkan anak panah saktinya.
Semua tepat mengenai sasaran. Beberapa kali Bhisma terpaksa mengganti
busurnya yang patah diterjang anak panah Arjuna .
“Engkau
tidak bertempur dengan sepenuh hati, Partha!” kata Krishna sambil
tiba-tiba turun dari kereta lalu berlari ke kereta Bhisma .
Melihat
Krishna berlari mendekatinya, Bhisma berteriak, “Hai, Kesatria bermata
kembang teratai! Bahagialah hatiku, bisa mati di tanganmu. Mendekatlah
kemari!”
Bagaikan
induk kucing menyergap anaknya, Arjuna menarik Krishna ke keretanya
untuk diselamatkan. Dipeluknya Krishna erat-erat sambil berkata,
“Apakah engkau hendak membatalkan sumpahmu? Engkau telah berjanji
takkan menggunakan senjata dalam pertempuran ini. Engkau hanya bertugas
menjadi sais keretaku. Ingat, menggunakan senjata adalah tugasku. Dan
itu akan kulakukan sekarang juga, tanpa menunda-nunda lagi. Akan
kuakhiri hidup Bhisma dengan panahku ini. Pegang kembali tali kendali
ini dan cambuklah kuda-kuda itu agar kereta berlari kencang!”
Hari
itu Pandawa menderita banyak kekalahan. Tetapi semangat balatentara
Pandawa tetap tinggi karena kemudian mereka melihat Arjuna bertarung
sengit melawan Bhisma. Tak lama kemudian pertempuran hari kesembilan
berakhir. Matahari telah masuk ke peraduannya .
***
BERSAMBUNG
0 komentar :
Posting Komentar