MAHABHARATA Bab 46C - Perang Hari Kesepuluh ( Gugurnya Mahasenapati Bhisma )

HARI KE SEPULUH


Tibalah hari kesepuluh. Arjuna menyerang Bhisma bersama Srikandi. Partha mulai melepaskan panah ke arah Bhisma, tetapi panah Srikandi-lah yang pertama menembus dada kesatria tua itu. Dengan dada tertembus panah, Bhisma menoleh, memandang Srikandi. Sesaat lamanya mata Bhisma berbinar-binar bagai permata yang terkena cahaya gemilang. Itulah tanda bahwa ia sedang marah .

Tetapi Mahaguru sakti dan berjiwa luhur itu menahan hatinya, sebab ia ingat akan sumpahnya: tidak akan membalas Srikandi yang terlahir sebagai perempuan .

“Menepati sumpah adalah perbuatan kesatria,” bisik hatinya .

Srikandi terus menyerang Bhisma dengan panahnya. Tak disadarinya bahwa kesatria tua itu sama sekali tidak membalas serangannya. Sesuai sumpahnya, kini Bhisma justru merasa tenang. Ia tahu, saat kematiannya telah tiba. Di pihak lain, Partha juga mendapat kekuatan hati untuk membidikkan anak panahnya pada bagian-bagian tubuh Bhisma yang lemah .

Mula-mula satu per satu senjata Bhisma dihancurkannya. Kemudian sekujur tubuh Bhisma dihujani panah dari Gandiwanya. Tetapi, Bhisma malah tersenyum dan berkata kepada Duhsasana yang ada di dekatnya, “Semua panah yang menembus badanku ini berasal dari Partha, bukan dari Srikandi. Panasnya mulai terasa membakar tubuhku, bagaikan anak-anak kepiting yang merayap-rayap dan menjepit-jepit melukaiku.”

Meskipun sekujur badannya luka-luka berlumuran darah, namun kesatria tua itu tetap melaksanakan tugasnya dengan tegar. Dilemparkannya bola-bola besi ke arah Arjuna, yang disambut lesatan panah Partha. Beradunya senjata-senjata Bhisma dengan panah-panah Arjuna menimbulkan percikan api di udara. Kedua jenis senjata itu meledak dan jatuh hancur berkeping-keping .


Partha terus menghujani Bhisma dengan anak panahnya sampai sekujur tubuh kesatria tua itu bagaikan bermandi darah. Bhisma hendak turun dari keretanya dan menyerang Arjuna dengan pedang dan tameng di tangan. Tetapi, tiba-tiba tamengnya terbelah dua ditembus panah Partha yang ujungnya setajam kapak. Tak sejari pun kulit tubuhnya yang tak ditembus anak panah Arjuna. Kesatria termasyhur itu roboh, bagaikan pohon beringin tumbang terkena angin topan. Bhisma jatuh terguling dari keretanya, tetapi karena tubuhnya penuh ditancapi panah-panah Arjuna, ia tidak menyentuh tanah .

Ketika kesatria tua itu jatuh, pertempuran di seluruh medan berhenti. Para dewata di kahyangan terharu menyaksikan gugurnya Bhisma. Semua menundukkan kepala, mengatupkan kedua telapak tangan, memberi penghormatan terakhir kepada kesatria besar yang luar biasa itu .

Demikianlah putra Dewi Gangga itu gugur. Sang Ibu turun ke bumi, membawa cahaya untuk melingkari jasad kesatria itu. Bhisma gugur setelah melakukan tugasnya, membayar hutang keadilan dan kebenaran kepada Duryodhana dan Kaurawa.


Para raja, putra mahkota, perwira, senapati, dan prajurit kedua pihak, semua turun dari kereta, gajah atau kuda mereka, lalu bergegas mendekati Bhisma, yang terbaring bagai gundukan raksasa disangga tiang-tiang anak panah. Mereka menyembah dan memberikan penghormatan terakhir .

“Kepalaku terkulai, tidak beralaskan apa-apa,” kata Bhisma. Mereka yang berdiri di dekatnya segera mencarikan setumpuk bantal, tetapi Bhisma menolak sambil tersenyum. Katanya, “Cucuku Partha, beri aku bantal yang pantas bagi seorang prajurit yang gugur.”

Arjuna segera mencabut tiga anak panah dari kantong panahnya, lalu meletakkannya di bawah kepala Bhisma dengan ujung-ujung menghadap ke atas hingga menembus kepala kesatria tua itu .

Kemudian Bhisma berkata lagi dengan tenang,
“Wahai para kesatria sekalian, para raja dan putra mahkota, apa yang dilakukan Partha sungguh tepat. Bantal yang kumaksud adalah anak panah, sebab sekujur badanku telah ditembus anak panah. Aku benar-benar puas. Sekarang aku bisa berbaring dengan tenang sampai matahari terbenam nanti. Setelah itu, barulah jiwaku akan meninggalkan jasad ini. Bila aku telah tiada, mungkin di antara kalian akan ada yang menyusulku. Sampai bertemu kembali. Kalau tidak, kuucapkan selamat tinggal!”

Kemudian Bhisma menatap wajah Partha dan berkata kepadanya, “Aku haus sekali. Beri aku minum.”

Arjuna segera membuat lingkaran kecil di tanah, dekat telinga kanan Bhisma, lalu menancapkan anak panahnya dalam-dalam ke tanah. Ketika anak panah itu dicabut, dari lubang itu menyembur air jernih, tepat menyentuh bibir Bhisma. Demikianlah, kesatria tua itu minum sepuaspuasnya .

Setelah bercakap-cakap dengan Partha, Bhisma menatap wajah Duryodhana, lalu berkata dengan lembut,
“Wahai Putra Mahkota, semoga engkau dapat memetik hikmah dari semua yang telah terjadi. Apakah engkau melihat bagaimana Arjuna memberiku air minum yang jernih untuk pengobat hausku? Berdamailah engkau sekarang juga, jangan ditunda-tunda lagi. Akhirilah peperangan ini sekarang juga. Perhatikan kata-kataku. Cucuku Duryodhana, berdamailah engkau dengan Pandawa!”

Tetapi, hati Duryodhana telah membatu, keras dan tak tergoyahkan. Siapa yang bisa disalahkan?



***

Mendengar berita gugurnya Bhisma, Karna segera berlari mendekat. Ia bersimpuh di dekat kaki kesatria tua itu, menyembah dengan penuh hormat, dan berkata,
“Wahai sesepuh bangsa Bharata yang kuhormati, aku anak Radha yang telah menyebabkan engkau kesal dan marah karena ketololanku. Aku datang bersujud ke hadapanmu. Ampunilah segala kesalahanku.”



Kemudian Karna bangkit berdiri dan menatap wajah Bhisma yang pucat pasi. Perlahan-lahan kesatria tua itu membuka matanya dan tersenyum. Ia terharu mendengar kata-kata Karna. Diisyaratkannya agar Karna mendekat, lalu diletakkannya tangannya yang sudah dingin di kepala kesatria itu sambil berkata dengan penuh kasih sayang,

“Wahai anak muda, sesungguhnya engkau bukan anak Adiratha, bukan pula anak Radha. Engkau adalah putra Dewi Kunti yang sulung. Bhagawan Narada mengetahui semua rahasia ini dan menceritakannya padaku. Ayahmu adalah Bhatara Surya. Percayalah, aku tidak pernah membencimu. Tapi aku sedih, karena kebencianmu kepada Pandawa semakin menjadi-jadi dan karena sebetulnya itu tidak beralasan. Aku tahu siapa engkau, dan aku mengagumi ketangkasanmu, kecerdasanmu dan kejujuranmu. Aku juga tahu, sebagai kesatria engkau tak kalah hebatnya dengan Palguna atau Krishna. Sungguh baik jika engkau bisa bersahabat dengan Pandawa, lebih-lebih karena engkau yang sulung di antara putra-putra ibumu. Harapanku, semoga peperangan ini segera dihentikan.”

Setelah mendengarkan dengan penuh perhatian, Karna menjawab dengan penuh hormat, “Kakek yang kuhormati, aku tahu aku ini anak Dewi Kunti, bukan anak sais kereta. Tetapi, aku berutang budi kepada Duryodhana, aku hidup dan makan dari hasil bumi tanah milik Kaurawa. Aku harus jujur kepadanya dan menepati janjiku sebagai kesatria. Tidak mungkin bagiku untuk menyeberang ke pihak Pandawa sekarang. Ijinkan aku membalas jasa Duryodhana dengan jiwaku. Ijinkan aku melunasi hutangku terhadap kepercayaan dan cintanya kepadaku. Engkau pasti memahami ini dan memaafkan aku. Aku mohon restumu.”

Bhisma memahami jiwa besar dan keluhuran budi Karna. Ia membenarkan apa yang diucapkan Karna dan berkata, “Jika memang demikian ketetapan hatimu, lakukanlah sebaik-baiknya. Sebab, itulah yang paling pantas kaulakukan.”

Sesuai sumpahnya, selama Bhisma memimpin balatentara Kaurawa, Karna menyisihkan diri. Sedikit pun ia tidak pernah mengingkari sumpah yang ia ucapkan di hadapan Bhisma .

“Jika engkau, Bhisma, dapat membunuh Pandawa dan memenangkan balatentara Kaurawa, aku, Karna, akan merasa bahagia. Aku akan meninggalkan keramaian ini dan masuk ke hutan untuk bertapa. Tetapi jika engkau tewas lebih dulu, aku —yang telah kauyakinkan bahwa bukan anak sais kereta— akan memacu kudaku sekencang angin .
Aku akan bertempur melawan semua musuhku. Akan kuhancurkan mereka dan kubawa kemenangan gemilang bagi Duryodhana.”
 Demikianlah sumpah Karna dahulu .

Setelah diam sejenak, Karna berkata kepada Bhisma,
“Wahai Kesatria Tua, engkau sekarang terbaring di medan pertempuran. Engkau selalu memberi petunjuk tentang jalan kebenaran. Hidupmu menjadi teladan bagi kami, yaitu selalu bersih dalam kata-kata dan perbuatan, selalu suci dalam keyakinan. Kini kau terbaring dengan tubuh penuh luka. Peristiwa ini menjadi bukti bahwa di dunia ini tidak seorang pun akan dapat mencapai apa yang patut diperolehnya sesuai jasa dan pengabdiannya. Ibarat sebuah kapal, engkau telah menjadi tumpangan bagi semua Kaurawa dalam mengarungi lautan suka duka .

“Setelah kau meninggal, pasti besarlah kekalahan yang akan diderita Kaurawa. Serangan Pandawa nanti bagaikan api raksasa membakar hutan kering. Krishna dan Arjuna pasti akan menghancurkan Kaurawa. Tetapi, Kakek yang kumuliakan, bukalah matamu dan pandanglah aku. Berilah aku restumu untuk memimpin balatentara Kaurawa.”

Bhisma memandang Karna, lalu memberikan restunya, “Engkau ibarat tanah subur, engkau ibarat hujan di musim tanam yang memberi harapan pada benih-benih yang akan tumbuh. Engkau selalu menepati janjimu. Engkau selalu jujur dan setia. Bantulah Duryodhana dan selamatkanlah dia! Engkau menaklukkan Kamboja untuk Duryodhana. Engkau memusnahkan balatentara Giriwraja atas namanya. Engkau membuat balatentara Kirata dari Gunung Himalaya menyerah kepadanya. Tak terhitung jasamu untuk Duryodhana. Pimpinlah balatentara Kaurawa sebagai milikmu yang paling berharga. Semoga engkau berhasil memimpin pasukan Duryodhana. Semoga engkau selalu mendapat kemenangan. Bertempurlah engkau melawan musuhmu!”

***

Akhirnya Bhisma gugur di medan Kurukshetra. Ketika ia menghembuskan napasnya yang terakhir, anak-anak panah yang menjadi pembaringannya terangkat sedikit. Jiwa kesatria tua itu telah lepas, meninggalkan jasadnya, kembali ke kahyangan. Seisi mayapada dan kahyangan berkabung, menghormati gugurnya kesatria besar yang disegani dan dihormati itu .

***

BERSAMBUNG

MAHABHARATA Bab 46B - Perang Hari Kesembilan

HARI KE SEMBILAN

Pada hari kesembilan, pagi-pagi sekali sebelum pertempuran dimulai, Duryodhana pergi menemui Bhisma. Dengan nada pahit ia menyatakan ketidakpuasannya akan jalannya pertempuran dari hari ke hari. Kata-katanya tajam menusuk hati, bagai lembing menghunjam ke dalam dada.

Tetapi Bhisma adalah kesatria tua yang berjiwa besar. Ia menjawab dengan tenang meskipun nada bicaranya terdengar sedih,

“Wahai Putra Mahkota, aku ibarat minyak untuk lentera sembahyang, kuserahkan hidupku seluruhnya
untukmu. Tetapi kenapa engkau selalu menyakiti hatiku, padahal aku telah berusaha dengan segala dayaku? Bicaramu seperti orang yang tak punya pengertian yang baik, tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Kata orang, jika seseorang akan menemui ajalnya, pohon-pohon pun tampak bagaikan emas. Engkau selalu melihat segala sesuatu tidak seperti hakikat sebenarnya. Penglihatanmu telah diliputi kabut dan mendung sangat tebal. Ketahuilah, mereka semua sesungguhnya memberikan segala-galanya, semata-mata sebagai jalan bagiku untuk memenuhi kewajibanku .

“Tidak mungkin aku membunuh Srikandi, sebab aku telah bersumpah tidak akan mengangkat tanganku untuk melawan perempuan. *) Demikian pula, tanganku tidak akan sanggup menetakkan pedang di leher Pandawa, sebab hati dan jiwaku tidak akan mengijinkan. Selain dua hal itu, tugas-tugasku kulakukan dengan sebaik-baiknya, walaupun harus membunuh sekian banyaknya kesatria yang berani menantangku sebagai musuhmu .

*) Di mata Bhisma, Srikandi yang telah menjadi pria saat itu, tetap seorang wanita karena awalnya terlahir sebagai wanita, Bhisma bisa melihat bahwa Srikandi merupakan titisan Dewi Amba yang cintanya pernah ditolak oleh Bhisma. (Admin)
 
“Ingatlah, tak sesuatu pun akan kauperoleh jika kau ingkari hati nuranimu. Bertempurlah sebagai layaknya kesatria maka kehormatan akan selalu ada padamu!”

Selesai berkata demikian, Bhisma memberikan beberapa perintah kepada para pemimpin pasukan untuk menghadapi pertempuran hari itu. Berkat kata-kata kesatria tua itu, semangat Duryodhana timbul kembali. Dengan tegas ia memberi perintah kepada Duhsasana untuk mengerahkan seluruh kekuatan yang ada untuk menghadapi pertempuran hari itu .

“Sekarang aku baru yakin, Bhisma ternyata bertempur di pihak kita dengan sepenuh hati. Tetapi ia tidak bisa menghadapi Srikandi karena sumpahnya. Karena itu, usahakan agar ia jangan sampai berhadapan dengan Srikandi. Ingat, seekor anjing akan mampu membunuh singa yang tidak mau melawan.”

Demikianlah, begitu fajar menyingsing di hari kesembilan, pertempuran segera dimulai. Abhimanyu berhadapan dengan raksasa Alambasa. Ia tidak mau kalah dari ayahnya, Arjuna. Karena itu, dikerahkannya segenap kemahirannya dan dibuatnya Alambasa lari tunggang-langgang. Pada waktu yang sama, berlangsung pertarungan antara Aswatthama melawan Satyaki dan Drona melawan Arjuna .

Di tempat lain, kecuali Arjuna, semua Pandawa menyerbu Bhisma. Duryodhana menyuruh Duhsasana membantu kesatria tua itu walaupun yang dibantu telah bertempur dengan sangat garang. Pandawa terpukul mundur beberapa kali. Akibatnya, di beberapa medan pertempuran pasukan Pandawa berantakan, bahkan ada yang melarikan diri ke dalam hutan.

Krishna, yang melihat keadaan seperti itu, segera menghentikan keretanya dan berkata kepada Arjuna, “Partha *), engkau dan saudara-saudaramu telah tiga belas tahun menyabarkan diri dan menunggu-nunggu saat seperti ini. Jangan ragu atau bimbang. Tewaskan Bhisma! Ingatlah tugasmu sebagai kesatria!”

*) Pārtha adalah nama lain dari Arjuna yang berarti keturunan Partha atau Dewi Kunti (admin)

“Sebelumnya aku berpendapat, lebih baik hidup dalam pengasingan di hutan daripada harus membunuh Bhisma, Mahaguru yang kucintai dan kuhormati. Tetapi, setelah mendengar kata-katamu, aku merasa mantap... sebagai kesatria aku memang harus bertempur. Sekarang, lecutlah kudamu!”  jawab Arjuna dengan kepala tertunduk dan hati berat. Dengan sedih ia meneruskan pertempuran itu .

Ketika balatentara Pandawa melihat kereta Arjuna dipacu ke arah Bhisma, semangat mereka berkobar lagi. Begitu berhadapan dengan Arjuna, Bhisma melepaskan anak panah, bertubi-tubi, ke arah Arjuna. Anak panah-anak panah itu melesat susul-menyusul bagai semburan api dari kepundan gunung meletus. Dengan cekatan Krishna mengemudikan kereta hingga semburan anak panah Bhisma dapat dihindari. Arjuna membalas dengan melesatkan anak panah saktinya. Semua tepat mengenai sasaran. Beberapa kali Bhisma terpaksa mengganti busurnya yang patah diterjang anak panah Arjuna .

“Engkau tidak bertempur dengan sepenuh hati, Partha!”  kata Krishna sambil tiba-tiba turun dari kereta lalu berlari ke kereta Bhisma .

Melihat Krishna berlari mendekatinya, Bhisma berteriak, “Hai, Kesatria bermata kembang teratai! Bahagialah hatiku, bisa mati di tanganmu. Mendekatlah kemari!”


Bagaikan induk kucing menyergap anaknya, Arjuna menarik Krishna ke keretanya untuk diselamatkan. Dipeluknya Krishna erat-erat sambil berkata, “Apakah engkau hendak membatalkan sumpahmu? Engkau telah berjanji takkan menggunakan senjata dalam pertempuran ini. Engkau hanya bertugas menjadi sais keretaku. Ingat, menggunakan senjata adalah tugasku. Dan itu akan kulakukan sekarang juga, tanpa menunda-nunda lagi. Akan kuakhiri hidup Bhisma dengan panahku ini. Pegang kembali tali kendali ini dan cambuklah kuda-kuda itu agar kereta berlari kencang!”

Hari itu Pandawa menderita banyak kekalahan. Tetapi semangat balatentara Pandawa tetap tinggi karena kemudian mereka melihat Arjuna bertarung sengit melawan Bhisma. Tak lama kemudian pertempuran hari kesembilan berakhir. Matahari telah masuk ke peraduannya .


***

BERSAMBUNG

MAHABHARATA Bab 46A - Perang Hari Kedelapan ( gugurnya irawan )

HARI KE DELAPAN

Ketika fajar hari kedelapan menyingsing, Bhisma mengatur balatentara Kaurawa dalam formasi kurmawyuha atau kura-kura.


Di pihak Pandawa, Yudhistira memerintahkan Dristadyumna agar menyusun pasukannya dalam formasi trisula atau tombak bermata tiga. Mata pertama dipimpin Bhimasena, mata ketiga dipimpin Satyaki dan mata yang tengah dipimpin Dharmaputra .

Hari itu Arjuna sedih karena kehilangan Irawan, putranya dari istrinya yang berasal dari Negeri Naga. Pemuda gagah dan tampan itu datang setelah mendengar berita tentang pertempuran ayahnya di medan Kurukshetra. Negeri Naga memang terkenal dengan kesatria-kesatria perangnya. Karena itu, Duryodhana mengirimkan raksasa Alambasa untuk menghadapi kesatria dari Negeri Naga itu. Irawan tewas setelah bertempur sengit melawan Alambasa .

Mendengar berita bahwa anaknya gugur, hati Arjuna hancur. Dengan sedih ia berkata kepada Krishna, “Benarlah kata Widura, kedua pihak akan terjerumus ke dalam kedukaan yang tak terperikan. Untuk apa kita saling membunuh? Hanya demi memperoleh warisan? Setelah saling membunuh, kebahagiaan seperti apa yang bisa kita rasakan? Wahai Krishna, sekarang aku mengerti mengapa Yudhistira hanya meminta bagian lima desa saja dari Duryodhana. Dharmaputra juga menyatakan bahwa sebaiknya kita tidak berperang. Duryodhana yang menjadi biang keladi semua ini karena dia menolak memberikan lima desa. Hanya gara-gara permintaan sepele saja kita semua terjerumus ke dalam dosa .

“Sekarang aku bertempur hanya karena malu disebut pengecut. Jika kulihat mayat para prajurit dan kesatria bergelimpangan di medan perang ini, hatiku diliputi duka dan penyesalan. Alangkah jahatnya kita semua, terus saja menimbun dosa dengan saling membunuh.”

Melihat Irawan terbunuh, Gatotkaca tak bisa menahan kemarahannya. Ia berteriak lantang lalu maju menggempur dan mengobrak-abrik formasi balatentara Kaurawa hingga kacau-balau. Duryodhana segera mendekat dan menerjang Gatotkaca. Raja Wanga dan pasukan gajahnya menggabungkan diri dengan Duryodhana. Pertempuran berlangsung seru. Duryodhana banyak sekali membunuh prajurit Gatotkaca. Sebaliknya, Gatotkaca banyak pula menghancurkan pasukan gajah Raja Wanga. Akhirnya Gatotkaca melepaskan anak panah sakti ke arah kereta Duryodhana. Tepat saat itu, gajah yang dinaiki Raja Wanga lewat di samping kereta Duryodhana. Akibatnya, gajah itulah yang terkena panah. Gajah yang perkasa itu langsung rubuh ke tanah, menguak keras lalu mati.


Bhisma cemas melihat Duryodhana yang hanya bisa bertahan, tidak mampu membalas serangan. Ia segera mengirimkan bala bantuan yang dipimpin Drona. Sementara itu, Gatotkaca tetap menyerang dengan garang. Bala bantuan terus mengalir bagi Kaurawa. Sebab itu, Yudhistira juga mengirimkan bala bantuan yang dipimpin Bhimasena untuk menolong Gatotkaca. Pertempuran semakin seru. Tidak kurang dari enam belas saudara Duryodhana dapat diremukkan Bhimasena dalam pertempuran di hari kedelapan .


***

BERSAMBUNG

MAHABHARATA Bab 45B - Perang Hari Ketujuh

HARI KETUJUH

Di hari ketujuh, pasukan Kaurawa diatur dalam formasi lingkaran-lingkaran *) (Mandala/Galaxy Vyuha - Admin). Masing-masing lingkaran dilengkapi dengan pasukan gajah dan tujuh kereta. Setiap kereta dinaiki seorang perwira yang memimpin sepuluh prajurit pemanah; setiap prajurit pemanah dikawal oleh sepuluh prajurit penangkis panah. Semua prajurit membawa senjata lengkap. Di tengah-tengah formasi lingkaran-lingkaran itu, Duryodhana berdiri gagah, bagaikan Batara Indra dari kahyangan. Ia mengenakan pakaian kebesaran, lengkap dengan atribut dan senjata-senjata saktinya .

Di pihak Pandawa, Yudhistira mengatur pasukan Pandawa dalam formasi wajrawyuha atau formasi halilintar .


 Pertempuran di hari ketujuh berlangsung sangat sengit. Matahari belum sepenggalah tingginya ketika terjadi pertarungan satu lawan satu di seluruh padang Kurukshetra: Bhisma berhadapan dengan Arjuna, Drona dengan Wirata, Aswatthama dengan Srikandi, Duryodhana dengan Dristadyumna, Salya dengan Nakula dan Sahadewa, Raja Awanti bersaudara, Winda dan Anuwinda dengan Yudhamanyu, Kritawarma – Citrasena – Wikarna - Durmarsa dengan Bhimasena .

Terlihat pula pertarungan sengit antara Bhagadatta dengan Ghatotkaca, Alambasa dengan Satyaki, Bhurisrawa dengan Dristaketu, Kripa dengan Chekitana, dan Srutayu dengan Yudhistira .

Kedua pihak bertarung dengan lawan yang seimbang. Tetapi, tentu saja ada yang akhirnya kalah atau menang. Wirata dikalahkan oleh Drona. Keretanya dihancurkan dan saisnya dibunuh, sehingga ia terpaksa melompat ke kereta Sanga, anaknya. Sanga bertempur dengan gagah berani, tetapi akhirnya tewas, menyusul saudara-saudaranya, Uttara dan Sweta, yang gugur di hari pertama .

Di hari ketujuh itu, Srikandi mengalami nasib buruk. Keretanya dihancurkan Aswatthama, hingga ia terpaksa melompat turun. Dengan pedang dan tameng ia terus menyerang Aswatthama. Kesatria itu melemparkan tombaknya, tepat mengenai pedang Srikandi dan membuatnya patah menjadi dua. Srikandi tidak gentar dan terus menyerang. Dengan sekuat tenaga ia mengayunkan pedangnya yang puntung ke arah Aswatthama, tetapi putra Drona itu sempat mengelak. Sebagai balasan, Aswatthama melesatkan panah berantai, membuat Srikandi lari menghindar dan melompat ke kereta Satyaki. Pada saat itu Satyaki sedang bertarung dengan Alambasa. Tetapi, kemudian Alambasa mundur, melarikan diri, karena tak sanggup menghadapi gempuran lawannya .

Dalam pertempuran antara Duryodhana dan Dristadyumna, kereta Duryodhana dapat dihancurkan. Putra Mahkota Kaurawa itu terpaksa melompat turun dari kereta lalu bertarung di tanah dengan pedang dan tameng. Belum lama bertempur demikian, Sakuni datang menolongnya. Ia menyambar Duryodhana, menaikkan ke keretanya, lalu membawanya lari untuk diselamatkan. Di bagian lain, Kritawarma menggempur Bhima dengan garang tetapi akhirnya dapat dikalahkan dengan mudah. Keretanya hancur dan ia terpaksa melompat ke kereta Sakuni dengan tubuh penuh panah tertancap. Dari jauh ia tampak seperti seekor landak yang lari terbirit-birit .

Raja Awanti bersaudara, Winda dan Anuwinda, dapat ditaklukkan Yudhamanyu. Pasukan Kerajaan Awanti hancur lebur. Sementara itu, Bhagadatta menyerang Gatotkaca dengan hebat, hingga putra Bhimasena itu terpaksa mundur dan meninggalkan arena pertempuran. Pasukan Kaurawa bersorak-sorak senang karena kemenangan mereka .

Hari sudah menjelang senja, tetapi Yudhistira masih terus bertempur dengan garang, berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Kali ini ia terluka terkena anak panah Srutayu yang dengan tepat dapat menghancurkan senjata Dharmaputra yang dilemparkan ke arahnya. Yudhistira menjadi marah dan membalas dengan melepaskan anak panah mahasakti yang membuat kuda dan sais kereta Srutayu hancur. Satu anak panah tepat mengenai dada Srutayu dan membuatnya terpelanting ke tanah. Dengan tenaga yang tersisa, ia mencoba lari meninggalkan arena pertempuran .

Di saat itu juga, Salya sedang berhadapan dengan kedua kemenakannya. Kereta Nakula dapat dihancurkan oleh Salya, sehingga Nakula terpaksa melompat ke kereta Sahadewa. Kemudian mereka bersama-sama menggempur Salya. Beberapa anak panah Sahadewa tepat mengenai Salya, membuat raja itu terluka. Sais keretanya yang setia cepat-cepat menyelamatkannya keluar dari arena pertempuran. Kekalahan itu membuat semangat balatentara Duryodhana merosot .

Dalam pertempuran Kripa melawan Chekitana, mahaguru itu menghancurkan kereta dan membunuh sais kereta Chekitana. Tetapi, Chekitana terus melakukan perlawanan sengit. Bola besi yang dilontarkannya ke arah kereta Kripa menghancurkan kereta itu dan membuat guru tua itu terpaksa melompat turun. Kemudian mereka berhadapan dan bertarung di tanah dengan pedang terhunus. Alangkah sengitnya pertarungan kedua kesatria itu. Mereka saling menusuk dan melukai. Keadaan seimbang dan masing-masing terluka parah .

Ketika melihat keadaan mereka yang semakin lemah, Bhima mengangkat Chekitana yang berlumuran darah ke keretanya, sementara Sakuni segera melarikan Kripa dengan keretanya, keluar dari medan pertempuran dengan meninggalkan jejak tetesan darah di tanah .

Walaupun di tubuhnya tertancap hampir seratus anak panah Dristaketu, Bhurisrawa tampak bagaikan sinar matahari. Cahaya benderang memancar dari tubuhnya, wajahnya bersinar-sinar. Dalam keadaaan luka parah seperti itu, Bhurisrawa terus melawan hingga Dristaketu terpaksa mundur meninggalkan arena .

Di sisi lain, Abhimanyu menghadapi tiga saudara Duryodhana. Mereka dapat ditaklukkannya dengan mudah. Meskipun telah menang, Abhimanyu tidak bersikap kejam. Dibiarkannya ketiga tawanannya, tidak dibunuhnya, sebab Bhimasena telah bersumpah akan menghabisi nyawa mereka semua. Pada saat itu Bhisma datang melindungi mereka dan kemudian bertempur melawan Abhimanyu .

Melihat itu, Arjuna meminta Krishna untuk mengepung Bhisma. Kesatria tua itu menghadapi Arjuna yang dibantu oleh Pandawa lainnya. Pertempuran antara Bhisma dan Pandawa berlangsung hingga matahari terbenam. Tetapi,
sesuai kesepakatan mereka, pertempuran diakhiri tepat ketika matahari tenggelam di kaki langit .

Mereka yang luka, ringan atau berat, sedapat mungkin diselamatkan nyawanya. Setelah makan malam, para prajurit dihibur oleh para penghibur yang menyajikan musik dan tari-tarian. Dalam acara tersebut juga dihidangkan aneka minuman dan para prajurit boleh minum sepuaspuasnya. Hiburan itu untuk melupakan keletihan, kekalahan dan kengerian pertempuran di siang harinya .


***

BERSAMBUNG