10. Pandawa Lahir di Hutan
Pada suatu hari
Raja Pandu pergi berburu di hutan. Di dalam hutan itu ada seorang resi
yang sedang asyik bercengkerama dengan istrinya dan menyamar sebagai
sepasang kijang. Pandu yang melihat sepasang kijang itu tidak menyangka
bahwa mereka adalah jelmaan seorang resi dan istrinya. Dia mengangkat
panahnya, membidik mereka. Dan... meluncurlah anak panah dari tangan
Pandu, melesat cepat, tepat menancap pada tubuh si kijang jantan .
Kijang
itu jatuh terguling. Luka berdarah-darah. Dalam keadaan sekarat, kijang
jantan itu berubah menjadi resi dan mengucapkan kutuk-pastu terhadap
Pandu, “Hai, lelaki penuh dosa, rasakan kutukanku. Engkau akan menemui
ajalmu sesaat setelah engkau menikmati olah asmara dengan istrimu.”
Setelah melontarkan kutukannya, resi itu menghembuskan napas yang penghabisan .
Pandu
sungguh kaget mendengar kutukan sang resi. Dengan perasaan putus asa ia
memikirkan akibat kutukan itu. Akhirnya ia memutuskan untuk
mengundurkan diri dari kerajaan dan menyerahkan semua urusan kerajaan
kepada Bhisma dan Widura. Pandu memutuskan untuk hidup mengembara di
hutan bersama kedua istrinya untuk menyucikan diri dengan bersamadi dan
bertapa .
Dewi Kunti sedih melihat suaminya terkena kutuk pastu. Ia
tahu, sebenarnya suaminya ingin sekali mempunyai keturunan tetapi tak
kuasa mewujudkannya karena kutukan itu. Sebagai istri yang mencintai dan
setia kepada suaminya, ia merasa wajib menolong Pandu. Karena itu ia
menceritakan rahasia mantra gaib yang diterimanya dari Resi Durwasa .
Pandu
mendesak kedua istrinya untuk menggunakan mantra itu guna memanggil
dewa-dewa dari kahyangan. Dewi Kunti dan Dewi Madri menyanggupi
permintaan suami mereka. Bersama-sama mereka mengucapkan mantra itu dan
memohon agar mereka dikaruniai anak .
Demikianlah yang
terjadi. Kedua istri Pandu mengucapkan mantra dan permohonan mereka
dikabulkan. Lima dewa turun dari kahyangan menemui kedua wanita itu.
Kemudian, dengan cara gaib Dewi Kunti melahirkan tiga putra dan Dewi
Madri melahirkan putra kembar. Kelima putra itu dibesarkan di tengah
hutan dalam asuhan orangtua mereka, dibantu para resi dan para pertapa
di hutan itu .
Putra Dewi Kunti yang tertua diberi nama Yudhistira, artinya ‘yang teguh hati dan teguh iman di medan perang’. Putra ini lahir sebagai titisan Batara Dharma,
Dewa Keadilan dan Kematian, dan disegani karena keteguhan hatinya, rasa
keadilannya, dan keluhuran wibawanya. Putra kedua diberi nama Bhima atau Bhimasena, terlahir dari Batara Bayu,
Dewa Angin. Bhimasena disegani sebagai penjelmaan wujud kekuatan yang
luar biasa pada manusia. Ia dilukiskan sebagai orang yang pemberani dan
berperilaku kasar, tetapi berhati lurus dan jujur. Putra ketiga diberi
nama Arjuna, terlahir dari Batara Indra, Dewa Guruh dan Halilintar. Arjuna, yang berarti ‘cemerlang, putih bersih bagaikan perak’ disegani
sebagai penjelmaan sifat-sifat pemberani, budi yang luhur, dermawan,
lembut hati dan berwatak kesatria dalam membela kebenaran dan
kehormatan. Putra kembar Dewi Madri diberi nama Nakula dan Sahadewa dan terlahir dari Dewa Aswin
yang kembar, putra Batara Surya, Dewa Matahari. Putra kembar itu
melambangkan keberanian, semangat, kepatuhan, dan persahabatan yang
kekal .
Kehidupan di alam bebas di dalam hutan itu memberi
pengaruh sangat besar dan mendalam bagi pertumbuhan jiwa dan raga
putra-putra Pandu yang disebut Pandawa. Kelak, setelah mereka dewasa,
kelima putra itu akan memegang peranan penting dalam sejarah dan membuat
seisi dunia kagum .
Hari berganti hari, bulan berganti
bulan, dan tahun berganti tahun. Kehidupan di dalam hutan sangat tenang.
Pohon-pohonan dan bermacam-macam binatang hidup damai bersama manusia
yang menghuni hutan itu. Mereka bagaikan satu keluarga besar yang hidup
selaras dengan alam. Memang demikianlah seharusnya, karena Yang Maha
Kuasa telah menciptakan alam semesta seisinya dengan tatanan yang adil
bagi setiap makhluk ciptaanNya.
Pada suatu pagi di musim
semi yang indah, Pandu dan Dewi Madri duduk termangu memikirkan kutukan
yang membuat mereka sengsara. Mereka sedih merasakan gairah asmara yang
terpendam dan tak mungkin tersalurkan, padahal alam di sekitar mereka
sedang mengenakan busananya yang terindah. Bunga-bunga bermekaran
menaburkan keharuman yang semerbak, burung-burung berkicau riang dan
aneka margasatwa bercengkerama memuaskan nafsu berahi dalam udara musim
semi yang segar .
Pandu memandang sekelilingnya, kemudian
menatap Dewi Madri yang jelita. Terpengaruh oleh keindahan alam dan
suasana musim semi yang penuh gairah, ia lupa diri. Dengan penuh gairah
ia memeluk Dewi Madri dan mencumbunya. Dewi Madri berusaha menolaknya,
tapi tak kuasa. Mereka segera tenggelam dalam olah asmara yang
menggebu-gebu.
Tetapi... tiba-tiba Pandu roboh dan
seketika itu juga menghembuskan napas yang penghabisan. Kutuk-pastu,
yang dilontarkan resi yang menjelma dalam rupa kijang yang mati dipanah
oleh Pandu, menunjukkan kesaktiannya .
Dewi Madri sangat
sedih, lebih-lebih karena ia merasa berdosa dan bertanggung jawab atas
kematian Pandu. Ia segera menghadap Dewi Kunti, memohon agar wanita itu
bersedia mengasuh anak-anaknya sebab ia akan menyusul suaminya dengan
melakukan satya. Tak ada yang dapat mencegahnya. Dewi Madri melakukan
satya dengan menerjunkan diri ke dalam api pembakar jenazah suaminya .
Para
resi dan para pertapa yang iba melihat Dewi Kunti dan anak-anaknya
kemudian mengantarkan mereka ke Hastinapura. Ketika itu Yudhistira,
sulung di antara para Pandawa, baru berusia belasan tahun. Sampai di
Hastinapura, rombongan itu menghadap Bhisma. Para resi dan pertapa itu
mengabarkan mangkatnya Raja Pandu dan menyerahkan Dewi Kunti dan kelima
putra Raja Pandu ke dalam asuhan Bhisma. Mendengar kabar itu, seisi
kerajaan berkabung. Widura, Bhisma, Wyasa, dan Dritarastra kemudian
melaksanakan upacara persembahyangan untuk mendoakan arwah Raja Pandu
yang manunggal paratman kekal abadi.
Bagawan Wyasa berkata
kepada Satyawati, nenek Raja Pandu, “Masa lampau telah berlalu bersama
suka dukanya, tetapi masa depan akan datang membawa kedukaan yang lebih
menyakitkan. Dunia ini telah memikul kegairahan orang muda yang terbuai
mimpi-mimpi. Sekarang dunia akan memasuki jaman yang penuh dosa,
kepahitan, kesedihan, dan penderitaan. Tak ada yang bisa menghindarinya.
Waktu terus berjalan, menyusuri garis takdirnya. Engkau tak usah
menunggu untuk menyaksikan semua malapetaka yang akan menimpa anak
keturunanmu. Akan lebih baik bagimu jika kau meninggalkan Hastinapura
dan melewatkan hari-harimu dengan bersamadi dan bertapa di dalam hutan.”
Satyawati
menerima nasihat Bagawan Wyasa. Bersama Ratu Ambika dan Ratu Ambalika,
ia pergi ke hutan. Ketiga ratu yang telah lanjut usia itu melewatkan
hari-hari mereka dengan bersamadi dan menyucikan diri serta berdoa agar
anak keturunan mereka terhindar dari malapetaka. Itulah yang mereka
lakukan, hari demi hari, bulan demi bulan, sampai mereka mencapai moksha
.
***
BERSAMBUNG
Pada cerita versi India, kelima dewa TIDAK turun secara bersamaan, ada jarak waktu, melalui proses pembuahan biasa (bukan ajaib) dan kehamilan Kunti-Madrim juga normal (9 bulan 10 hari)... karena itu ada data2 berapa selisih umur antara Yudistira, Bima, Arjuna, hingga Nakula/Sadewa.
BalasHapusAda alasannya pula mengapa Kunti akhirnya berbagi mantera itu pada Dewi Madrim... padahal mantera itu sangat sakral dan hanya diberikan padanya... dan admin kurang tau alasannya itu apa!!!