11. Bhima Menjadi Sakti karena Racun dan Bisa
Pandawa,
kelima putra Pandu, dan Kaurawa, keseratus putra Dritarastra, tumbuh
bersama di lingkungan istana di Hastinapura. Mereka bermain bersama.
Mereka bersama-sama mempelajari segala macam ilmu pengetahuan dan ilmu
ketatanegaraan yang harus dikuasai oleh para putra raja .
Bhima,
Pandawa yang kedua, adalah yang paling kuat badannya di antara mereka
semua. Ia mampu mengalahkan Duryodhana dan Kaurawa lainnya dengan
menyeret rambut mereka dan menggebuki mereka. Ia juga sangat terampil
berenang. Ia suka menyeret tiga-empat orang Kaurawa ke tepi sungai,
merangkul mereka erat-erat, lalu membawa mereka menyelam sampai ke dasar
sungai. Tak ada Kaurawa yang mampu melawan atau menandinginya. Mereka
tak berdaya melawan Bhima .
Pada suatu hari, ketika para
Kaurawa sedang asyik bermain-main di atas pohon raksasa, Bhima datang.
Putra Pandu itu lalu menggoyang-goyang pohon itu dan menendanginya.
Karena kekuatan Bhima yang luar biasa, para Kaurawa terpelanting
berjatuhan seperti buah-buah ranum .
Begitulah, tidak
jarang anak-anak Dritarastra babak belur gara-gara Bhima. Tidak
mengherankan jika kelak di kemudian hari Kaurawa sangat membenci Bhima.
Bibit kebencian itu sudah tersemai sejak mereka masih kanakkanak .
Setelah
mereka semua cukup besar, Mahaguru Kripa mengajari mereka ilmu memanah
dan menggunakan berbagai senjata perang serta ilmu-ilmu lain yang harus
dikuasai putra-putra raja .
Duryodhana yang iri, dengki,
dan sangat membenci Bhima suka berbohong dan melakukan perbuatan jahat
terhadap Bhima. Sebenarnya, dalam hati Duryodhana sangat khawatir akan
kehilangan haknya atas takhta Kerajaan Hastina. Sebelumnya, Kerajaan
Hastina diperintah oleh Pandu, pamannya, karena ayahnya buta. Setelah
Pandu meninggal, kemungkinan besar takhta kerajaan akan diberikan kepada
Yudhistira, setelah putra sulung Pandu itu dewasa. Karena ayahnya buta
dan tidak bisa berbuat apa-apa, Duryodhana berpikir bahwa ia harus
menghalang-halangi Yudhistira naik takhta. Ia ingin membunuh Bhima,
Pandawa yang paling perkasa. Setelah Bhima mati, kekuatan Pandawa pasti
akan hancur .
Demikianlah, Duryodhana membuat persiapan
untuk melaksanakan niat jahatnya. Ia dan adik-adiknya mengatur siasat
untuk menenggelamkan Bhima ke dasar Sungai Gangga, kemudian mencederai
Arjuna dan Yudhistira, dan yang terakhir merampas kerajaan .
Bersama
adik-adiknya dan Pandawa, Duryodhana pergi ke Sungai Gangga untuk
berenang. Setelah puas berenang dan merasa lelah, mereka makan lalu
beristirahat di dalam kemah. Di antara mereka, Bhima yang paling lelah
karena dialah yang paling jauh dan paling lama berenang .
Bhima
merebahkan diri di pinggir sungai. Kepalanya pening sekali. Dia tidak
tahu, makanan yang dilahapnya tadi telah diracuni oleh Duryodhana dan
adik-adiknya. Melihat Bhima terbaring lemas, Duryodhana segera mengikat
sepupunya itu dengan ranting-ranting pohon berduri dan menutupi tubuhnya
dengan daun-daun gatal. Kemudian mereka melemparkan Bhima ke papan
lebar yang dipasangi paku-paku tajam beracun. Mereka memperkirakan, jika
Bhima jatuh di papan itu, ia pasti akan mati tertusuk paku beracun .
Tetapi
Bhima tidak jatuh menimpa papan berpaku-paku itu. Dia jatuh ke sungai.
Segera sekujur tubuhnya dipatuki oleh ular-ular yang sangat berbisa.
Berkat lindungan dewata, bisa ular-ular itu justru melawan racun yang
dimasukkan ke dalam makanan Bhima. Racun dan bisa itu saling berlawanan
lalu menjadi tawar di dalam tubuh Bhima .
Belum jauh dihanyutkan arus, Bhima dihempaskan oleh pusaran air ke tepian di seberang sungai .
Dengan
gembira, Duryodhana yang mengira Bhima mati karena keracunan makanan,
tusukan paku-paku tajam beracun, dan gigitan ular-ular berbisa, kembali
ke istana bersama adik-adiknya .
Sampai di istana,
Yudhistira menanyakan Bhima kepada Duryodhana. Putra Dritarastra itu
menjawab bahwa Bhima telah lebih dulu kembali ke istana. Yudhistira
percaya pada kata-kata sepupunya itu. Ia pulang ke tempat tinggal Dewi
Kunti dan para Pandawa. Sampai di sana, ia bertanya kepada ibunya,
apakah Bhima sudah kembali. Ternyata Bhima belum kembali. Yudhistira
jadi curiga, jangan-jangan Bhima terkena celaka .
Bersama
Arjuna, Yudhistira kembali ke tepi sungai untuk mencari Bhima. Mereka
menyusuri sungai, ke hulu dan ke hilir, tetapi tak dapat menemukan
Bhima. Hari sudah gelap. Akhirnya mereka pulang dengan perasaan sedih .
Sementara
itu, Bhima siuman lalu bangkit. Dia melihat sekelilingnya. Langit sudah
gelap. Untunglah bintang-bintang mulai bermunculan. Setelah mengamati
sekelilingnya dengan cermat, Bhima tahu bahwa dirinya terdampar diseberang sungai. Dengan kekuatan baru entah dari mana, Bhima berenang ke seberang lalu berjalan pulang ke istana .
Dewi
Kunti dan Yudhistira menyambutnya dengan sukacita. Kekhawatiran mereka
berganti gembira karena ternyata racun dan bisa yang merasuki tubuh
Bhima tidak membuatnya mati; sebaliknya, Bhima justru bertambah kebal,
sakti, dan perkasa .
Dewi Kunti menceritakan kejadian itu
kepada Widura. Katanya, “Duryodhana memang jahat dan kejam. Ia mencoba
membunuh Bhima karena ingin menguasai kerajaan ini. Aku sungguh cemas.”
Widura
menjawab, “Apa yang engkau katakan itu benar, tetapi simpanlah semua
itu dalam hatimu. Sebab, jika Duryodhana dipersalahkan, dia akan semakin
marah dan benci kepada Bhima. Anak-anakmu telah mendapat restu untuk
hidup lama. Engkau tidak perlu cemas.”
Yudhistira
menasihati Bhima. Katanya, “Jangan engkau ceritakan kejadian pahit yang
menimpamu. Simpan saja itu dalam hatimu. Tetapi, mulai sekarang kita
harus berhati-
hati, waspada, dan saling menjaga keselamatan.”
Alangkah
kagetnya Duryodhana keesokan harinya ketika melihat Bhima masih hidup.
Iri dan dengkinya semakin menjadi-jadi. Ia menarik napas dalam-dalam,
seakan hendak menanamkan kebenciannya yang menggelegak itu ke dalam
lubuk hatinya. Napas dalam dan panjang itu diakhirinya dengan kata-kata,
“Bhima harus dimusnahkan!”
Kecuali kepada Resi Kripa,
Kaurawa dan Pandawa juga berguru kepada Mahaguru Drona, seorang resi
mahasakti, ahli ilmu perang tanding dan perang brubuh atau perang
habis-habisan. Setelah usaha mereka gagal, Kaurawa minta bantuan
Mahaguru Drona untuk membinasakan Bhima .
Mahaguru Drona
yang lebih menyayangi Kaurawa menyanggupi permintaan mereka. Segera ia
memanggil Bhima. Setelah pangeran perkasa itu menghadap, disuruhnya
Bhima mencari tirtha prawidhi atau air suci kehidupan .
Katanya, “Wahai,
muridku Bhima yang perkasa, pergilah engkau mencari tirtha prawidhi.
Carilah sampai dapat. Jangan kembali jika belum berhasil. Ketahuilah,
barang siapa memiliki tirtha prawidhi, dia akan dapat memahami hidup ini
dan akan mampu mengenal asal, arah dan tujuan hidup manusia, yaitu
sangkan paraning dumadi .
“Pergilah anakku. Jangan pernah ragu, karena orang yang ragu takkan pernah berhasil.”
Bhima,
yang tidak pernah banyak berpikir sebelum bertindak, langsung
berangkat. Ia siap menjalankan perintah gurunya, karena yakin tak
mungkin guru yang dihormatinya itu akan mencelakakannya. Ia tidak
peduli, meskipun ibunya menghalanginya. Sebagai ibu, Dewi Kunti, yang
curiga bahwa ada rencana jahat di balik perintah itu, mencemaskan
keselamatan putranya .
Bhima bersujud di depan ibunya,
memohon restu, lalu dengan cepat berjalan masuk ke hutan rimba. Ia
menjelajahi hutan, menyusuri lembah-lembah di kaki gunung, memasuki
gua-gua gelap di kaki Gunung Candramukha. Tetapi, tirtha prawidhi tak
juga ditemukannya. Bhima tak peduli pada binatang buas, raksasa, setan
atau jin yang mengganggunya dalam pengembaraannya. Mereka semua berhasil
dikalahkannya .
Pada suatu hari ia harus berhadapan
dengan dua raksasa sakti, Rukmukha dan Rukmakhala. Ia menantang kedua
raksasa itu untuk berkelahi. Tantangan diterima. Dengan kekuatan
bagaikan letusan gunung berapi, ia menerjang kedua raksasa itu. Keduanya
tewas seketika. Begitu terbanting ke tanah, kedua raksasa itu menjelma
menjadi Batara Indra dan Batara Bayu, yaitu ayah Bhima sendiri .
Batara
Indra memberinya mantra Jalasengara dan Batara Bayu memberinya satu
ikat pinggang sakti. Kedua hadiah itu akan menjadi bekal baginya untuk
mengarungi samudera paling dalam di mana pun di dunia. Kemudian Batara
Bayu memberinya petunjuk bahwa air hidup yang dimaksud terletak di dalam
Telaga Gumuling, di tengah rimba Palasara. Di dalam rimba belantara itu
Bhima harus menghadapi seekor naga raksasa sebesar Gunung Semeru yang
bernama Anantaboga .
Bhima mengucapkan terima kasih, lalu
pergi ke rimba Palasara. Sampai di tepi Telaga Gumuling, Bhima disambut
oleh naga raksasa Anantaboga yang langsung menyerangnya.
Naga itu mengibas-ibaskan ekornya dan membelit badan kesatria Pandawa
itu. Dengan Pancanaka, kuku ibu jarinya yang sakti, Bhima menusuk leher
Anantaboga dan memutus tali nyawanya. Anantaboga menggelepar-gelepar
sebentar, lalu menggeletak mati, tak bergerak .
Ajaib!
Mayat Anantaboga lenyap, menjelma menjadi Dewi Maheswari. Sesungguhnya
Dewi Maheswari adalah bidadari yang di-kutuk-pastu oleh Sang Hyang Guru
Pramesti. Ia terpaksa menjalani hukuman sebagai naga raksasa. Dari Dewi
Maheswari, Bhima mendapat petunjuk di mana ia bisa menemukan tirtha
prawidhi, yaitu di dasar samudera raya .
Dengan mantra
Jalasengara pemberian Batara Indra, Bhima mengarungi Samudera Selatan
yang penuh gelombang bergulung-gulung setinggi gunung. Di dalam samudera
itu ia harus menghadapi naga besar Nawatnawa yang menyemburkan hujan
berbisa. Tetapi, berkat apa yang dialaminya di Sungai Gangga, badannya
menjadi kebal. Dan berkat ikat pinggang pemberian Batara Bayu, ia bisa
mengambang di samudera raya. Dengan tangkas ia menaklukkan Nawatnawa,
mencekiknya, dan menusuk lehernya dengan kuku Pancanaka. Seketika itu,
matilah Nawatnawa. Tetapi, setelah tiga pertarungan berat itu, Bhima
menjadi sangat lelah. Ia membiarkan dirinya diombang-ambingkan gelombang raksasa dan dihempaskan ke sebuah karang emas. Seorang diri, tanpa pertolongan siapa pun .
Ketika
itulah muncul Dewa Ruci yang sangat kasihan melihat Bhima. Ia
memancarkan sinar cemerlang yang menyebabkan Bhima siuman. Alangkah
kagetnya Bhima melihat seorang manusia yang sangat kecil namun sangat
mirip dengan dirinya .
Manusia itu berkata, “Aku ini Dewa
Ruci yang disebut juga Nawaruci. Aku datang untuk menolongmu Bhimasena.
Wahai kesatria perkasa, masuklah ke dalam telingaku. Di dalam diriku,
engkau akan menemukan apa yang kaucari!”
Bhima
heran sekali mendengar perintah manusia mungil itu. “Bagaimana mungkin
tubuhku yang sebesar ini bisa masuk merasuk ke dalam tubuhnya yang
sekecil itu?”, pikirnya terheran-heran .
Ketika Bhima
masih ragu-ragu, Dewa Ruci berkata, “Sesungguhnya, tempat ini adalah
tempat yang kosong dan sunyi, tak ada apa-apa, tak ada busana atau
pakaian, tak ada boga atau makanan. Semua serba sempurna. Ketahuilah,
selama ini engkau hanya setia pada ucapan, mengabdi pada gema, yaitu
bentuk segala kepalsuan.”
Uraian hakikat hidup yang gaib itu membuat Bhima tercengang, tak kuasa berkata-kata .
Dewa
Ruci melanjutkan, “Siapakah yang lebih besar, wahai Panduputra, engkau
atau alam semesta yang ada di dalam tubuhku? Aku adalah jagad besar atau
makrokosmos dan engkau adalah jagad kecil atau mikrokosmos yang ada di
dalam aku.”
Bhima yang semula ragu, apakah dia akan bisa
masuk ke dalam lubang telinga Dewa Ruci, menjadi mantap setelah
mendengar uraian ringkas itu. Tanpa ragu ia melaksanakan perintah
manusia mungil itu .
Begitu memasuki telinga Dewa Ruci,
Bhima merasa seakan-akan berada di alam kosong, berhadapan dengan suatu
wujud berbentuk gading yang memancarkan sinar putih, merah, kuning, dan
hitam perlambang jiwa manusia dengan sifat-sifat murninya. Sinar putih
melambangkan kemurnian budi, sinar merah melambangkan watak berangasan
dan lekas marah, sinar kuning melambangkan keinginan-keinginan
manusiawi, dan sinar hitam melambangkan angkara murka dan keserakahan .
Kemudian
Bhima melihat tiga wujud seperti boneka dari emas, gading dan permata.
Ketiganya melambangkan tiga dunia. Masing-masing disebut Inyanaloka atau
lambang badan jasmani, Guruloka atau lambang alam kesadaran, dan
Indraloka atau lambang dunia rohani .
Demikianlah, di
dalam tubuh Dewa Ruci, Bhima mendengarkan penjelasan panjang lebar
tentang hakikat manusia dengan segala nafsunya dan hakikat alam semesta
yang terbagi menjadi tiga tataran .
Kemudian, tanpa
disadarinya, Dewa Ruci yang gaib dan agung itu lenyap dari mata
batinnya. Bhima tersadar. Tahulah Bhima bahwa dia telah menemukan apa
yang harus dicarinya, yaitu tirtha prawidhi, air suci atau air
kehidupan, perlambang hakikat dirinya dan hakikat alam semesta .
***
BERSAMBUNG
0 komentar :
Posting Komentar