34. Di Antara Dua Pilihan
Raja Drupada
memanggil pendita Negeri Pancala dan berkata kepadanya, “Engkau
mengetahui jalan pikiran Duryodhana dan sikap Pandawa. Pergilah,
menghadap Duryodhana sebagai utusan Pandawa. Kaurawa telah menipu
Pandawa dengan sepengetahuan ayah mereka, Raja Dritarastra yang tidak
mau mengindahkan nasihat Resi Widura. Tunjukkan kepada raja tua yang
lemah itu, bahwa ia telah diseret anak-anaknya ke jalan yang salah,
jalan yang menjauhi kebajikan dan dharma.
“Engkau bisa
bekerja sama dengan Resi Widura. Mungkin dalam tugasmu engkau akan
berbeda pandangan dengan para tetua di sana, yaitu Bhisma, Drona dan
Kripa; begitu pula dengan para panglima perang mereka. Andaikata itu
yang terjadi, maka dibutuhkan waktu lama untuk mempertemukan berbagai
pendapat yang berbeda. Dengan demikian, Pandawa mendapat kesempatan baik
untuk mempersiapkan diri .
“Sementara engkau berada di
Hastinapura untuk merundingkan perdamaian, persiapan Kaurawa akan
tertunda. Syukur, kalau Pendita bisa kembali dengan penyelesaian yang
memuaskan kedua pihak. Itu penyelesaian yang paling mulia! Tetapi,
menurutku Duryodhana tidak dapat diharapkan akan mau menyetujui
penyelesaian seperti itu. Namun demikian, mengirim utusan merupakan
suatu keharusan yang menguntungkan dan mempertinggi martabat kita.”
Sementara
Drupada mengirim Pendita Negeri Pancala ke Hastinapura, Pandawa
mengirim utusan ke Dwaraka. Arjuna sendiri berangkat untuk menemui
Krishna. Dari matamatanya, Duryodhana tahu bahwa Arjuna hendak menemui
Krishna. Karena itu ia tidak tinggal diam. Ia segera memutuskan untuk
berangkat ke Dwaraka, dengan kereta kudanya yang paling cepat, untuk
menemui Wasudewa. Kebetulan, Duryodhana dan Arjuna sampai di Dwaraka
pada saat yang sama. Mereka langsung menemui Krishna .
Karena
mereka adalah kerabat Krishna, tanpa kesulitan mereka segera
dipersilakan masuk ke istana dan menunggu. Waktu itu Krishna sedang
tidur. Dengan sabar mereka menunggu. Duryodhana yang masuk lebih dulu ke
kamar tidur Krishna lalu duduk di kursi empuk dekat kepala tempat
tidur. Arjuna, yang masuk kemudian, berdiri tegak dengan tangan
memegangi kaki tempat tidur. Mereka diam, masing-masing tak berniat
mendahului bicara. Setelah lama menunggu, akhirnya Krishna bangun.
Begitu Madawa alias Krishna terjaga, matanya langsung melihat Arjuna,
yang berdiri memberi hormat. Krishna membalasnya dengan memberi salam
hangat dan mengucapkan selamat datang. Kemudian ia menoleh dan memberi
salam selamat datang kepada Duryodhana .
Kemudian Krishna
menanyakan maksud kedatangan mereka. Duryodhana yang pertama bicara,
“Agaknya, perang akan pecah di antara kita. Kalau ini tidak bisa
dihindari dan memang harus terjadi, engkau harus membantu aku. Arjuna
dan aku sama-sama kaukasihi. Kami berdua adalah keluarga dekatmu. Engkau
tidak dapat mengatakan salah satu di antara kami lebih dekat denganmu.
Tidak mungkin! Aku lebih dulu sampai di sini daripada Arjuna. Sesuai
tradisi dan kesopanan, yang datang lebih dulu harus diberi pilihan
pertama. Janardana, engkaulah yang termulia di antara orang-orang mulia.
Menjadi tugasmulah untuk memberi contoh mulia bagi orang-orang lain.
Bertindaklah tegas sesuai dengan kedudukanmu, tradisi, kesopanan, dan
dharma! Akulah yang lebih dulu masuk ke kamar ini.”
Purushottama alias Krishna menjawab,
“Wahai
putra Dritarastra, boleh jadi engkau tiba lebih dulu, tetapi yang
pertama kulihat ketika terjaga dari tidurku adalah putra Dewi Kunti.
Memang engkau datang lebih dulu, tetapi Arjuna yang lebih dulu kulihat.
Namun demikian, tuntutan kalian berdua adalah sama bagiku dan aku harus
memberikan bantuan kepada kalian. Dalam menjatuhkan pilihan, menurut
tradisi kesempatan sebaiknya diberikan kepada yang lebih muda. Karena
itu, aku akan memberikan kesempatan pertama kepada Arjuna .
“Aku
berasal dari bangsa Narayana yang tak mudah ditaklukkan. Menurut kami,
dalam hal kekuatan ragawi, mereka semua dan seluruhnya sama dengan aku
yang seorang diri. Karena itu, dalam membagi bantuan ini, mereka
merupakan satu bagian dan aku merupakan bagian lain yang tersendiri.
Dalam pertempuran nanti, aku tidak akan menggunakan senjata dan tidak
akan ikut bertempur. Aku takkan melepaskan anak panahku atau menggunakan
senjata apa pun.”
Sesaat kemudian, sambil memandang Arjuna, ia berkata,
“Wahai
Partha, pikirkan masak-masak. Apakah engkau menghendaki aku yang
sendirian tanpa senjata atau seluruh balatentara Narayana yang gagah
perkasa? Gunakan hak untuk lebih dulu memilih yang oleh tradisi
diberikan kepadamu sebagai orang yang lebih muda.”
Tanpa berpikir lama dan tanpa ragu, Arjuna menjawab, “Aku akan lega jika engkau ada di pihak kami, walaupun tanpa senjata.”
Duryodhana
tidak dapat menahan kegembiraannya. Dia menganggap pilihan Arjuna
bodoh. Dengan senang hati ia memilih balatentara Wasudewa. Dengan
kegembiraan yang meluap-luap ia pergi menemui Balarama, kakak Krishna.
Kepada pangeran itu ia menceritakan apa yang telah diperolehnya dari
Wasudewa dan mengatakan bahwa ia mengharapkan bantuan yang sama .
Balarama berkata kepada Duryodhana,
“Wahai
Duryodhana, mereka pasti sudah menyampaikan kepadamu apa yang kukatakan
dalam perjamuan agung perkawinan putri Wirata dan dalam pertemuan para
penasihat agung di ibukota Negeri Matsya. Aku ungkapkan semua masalah
ini dan sedapatku aku membela kalian. Aku sering mengatakan pada Krishna
bahwa kita punya hubungan sama dengan Kaurawa dan Pandawa. Tetapi
kata-kataku tidak berhasil meyakinkan dia. Aku tak berdaya. Tidak
mungkin bagiku memihak seseorang atau sesuatu yang bertentangan dengan
Krishna. Aku tidak akan membantu Partha dan tidak akan mendukungmu
melawan Krishna.
“Duryodhana, engkau adalah keturunan dan
ahli waris suatu bangsa kesatria yang perwira dan disegani semua orang
di seluruh muka bumi. Seandainya perang harus terjadi, bertindaklah
sesuai dengan watak seorang kesatria.”
Setelah
menerima doa restu dari Balarama, Duryodhana kembali ke Hastinapura
dengan semangat tinggi. Ia berkata kepada dirinya sendiri, “Arjuna telah
membodohi dirinya sendiri. Balatentara Dwaraka yang terkenal perkasa
akan bertempur di pihakku. Balarama telah memberikan restunya kepadaku.
Sementara Krishna telah berjanji takkan ikut berperang atau menggunakan
senjata. Ah, rupa-rupanya Arjuna sudah gila.”
Setelah
Duryodhana pergi, Krishna bertanya kepada Arjuna, “Dhananjaya, kenapa
engkau memilih aku yang sendirian tanpa senjata, tanpa pasukan, dan
membiarkan balatentara Dwaraka bertempur di pihak Duryodhana?”
Arjuna
menjawab, “Keinginanku adalah mencapai kebesaran seperti keagunganmu.
Engkau memiliki kekuatan dan kesaktian untuk menghadapi semua kesatria
di bumi ini. Kelak, aku ingin agar aku juga bisa. Sebab itu, aku ingin
memenangkan semua pertempuran dengan engkau sebagai sais keretaku yang
tidak memegang senjata. Kesempatan seperti itu sudah kuimpi-impikan
sejak dulu. Kini engkau memenuhi impianku dan berada di pihak kami.
Alangkah bahagianya hatiku.”
Sambil tersenyum
Krishna berkata, “O, jadi engkau hendak bertempur dengan aku sebagai
sais keretamu? Baiklah, semoga engkau berhasil. Terimalah restuku.”
Berbeda
dengan Krishna, Balarama yang termasyhur sebagai kesatria besar pergi
mengunjungi Pandawa untuk menyatakan ketetapan hatinya mengenai
perselisihan antara Kaurawa dan Pandawa. Ia mengenakan pakaian kebesaran
berwarna biru. Yudhistira, Krishna dan para Pandawa menyambutnya dengan
hangat. Balarama yang tampak perkasa dengan bahu lebar dan dada bidang
itu memberi hormat kepada Drupada dan Wirata, kemudian duduk di samping
Dharmaputra .
Setelah cukup berbasa-basi, Balarama menyatakan isi hatinya kepada Dharmaputra .
“Aku
datang kemari”, katanya memulai, “setelah mendengar bahwa keturunan
bangsa Bharata telah membiarkan diri mereka diseret oleh rasa loba,
angkara murka dan kebencian. Aku juga telah mendengar tentang gagalnya
usaha merundingkan perdamaian. Aku mendengar bahwa akhirnya perang akan
diumumkan.”
Ia berhenti sesaat, sebab dadanya sesak oleh
perasaan sedih dan kecewa terhadap keadaan yang membuat perang saudara
tak terhindarkan. Kemudian ia meneruskan ucapannya, kali ini ditujukan
kepada Yudhistira, “Dharmaputra, kemusnahan yang mengerikan akan
terjadi. Tanah akan dibanjiri darah, mayat manusia akan bergelimpangan.
Ini adalah perbuatan setan yang membuat para kesatria menjadi gila harta
dan haus perang. Dengarlah, perang hanya akan membuahkan kehancuran .
“Sering
kukatakan kepada Krishna bahwa Duryodhana dan Pandawa bagi kami adalah
sama. Kami tidak boleh memihak salah satu dari mereka jika mereka
bertikai. Tetapi Krishna tidak mau mendengarkan. Rasa sayangnya kepada
Dhananjaya sangat besar dan itu membuatnya tak mampu bertindak adil.
Dalam perang nanti, aku tahu Krishna telah memutuskan untuk berada di
pihakmu. Bagaimana aku bisa berhadapan dengan Krishna, adikku sendiri, di pihak yang berlawanan?
“Duryodhana
dan Bhima pernah menjadi muridku. Aku menyayangi dan menghormati
mereka, tanpa membedabedakan atau berat sebelah. Bagaimana mungkin aku
membantu yang satu dan melawan yang lain? Aku tidak ingin melihat salah
satu dari kalian musnah dalam peperangan nanti. Karena itu, aku tidak
akan turut campur dalam peperangan yang akan memusnahkan segalanya.
Keputusan yang menyedihkan ini membuatku tak percaya lagi pada dunia
ini. Aku akan pergi bertapa, mengasingkan diri dan berziarah ke
tempat-tempat suci.”
Setelah berkata demikian, Balarama
pergi. Ia sedih dan muak terhadap keburukan dan kejahatan di dunia. Ia
bingung menghadapi kenyataan pahit itu .
Begitulah, di
dunia ini sesungguhnya banyak orang baik dan jujur yang tidak mampu
menentukan pilihan dalam keadaan seperti itu. Apa pun yang dipilih,
serba salah dan terlalu berat untuk dihadapi. Sebagai pribadi, mereka
merana, putus asa, dan terjerumus dalam dilema yang dapat mematikan
semangat, cita-cita, dan gairah hidup .
***
BERSAMBUNG
0 komentar :
Posting Komentar