36. Usaha Mencari Jalan Damai
Pada waktu Pendita Negeri Matsya
berangkat ke Hastinapura membawa pesan perdamaian, perkemahan Pandawa
di Upaplawya didatangi raja-raja yang ingin bergabung dengan mereka.
Para raja itu membawa balatentara masing-masing, lengkap dengan
persenjataan mereka. Keseluruhan balatentara Pandawa berjumlah tujuh
divisi, sedangkan balatentara Kaurawa berjumlah sebelas divisi. Adapun
kekuatan satu divisi pada jaman itu kira-kira terdiri dari 21.870
kereta, 21.870 gajah, 65.500 kuda dan 109.350 prajurit darat yang
dilengkapi dengan berbagai senjata perang .
Pendita utusan
Raja Drupada tiba di istana Dritarastra dan sesuai tradisi ia diterima
dengan upacara kehormatan. Setelah memperkenalkan diri, Pendita Negeri
Matsya berbicara atas nama Pandawa, “Hukum bersifat abadi dan memiliki
kewenangan tersendiri. Tuan-Tuan semua tahu akan hal ini. Karena itu,
aku tidak perlu menjelaskan lagi .
“Dritarastra dan Pandu
adalah putra Wicitrawirya. Menurut tradisi, keduanya berhak mewarisi
harta peninggalan ayah mereka. Berlawanan dengan kelaziman ini,
putra-putra Dritarastra menyatakan bahwa seluruh kerajaan Hastina adalah
hak mereka. Putra-putra Pandu dinyatakan tidak memiliki warisan
apa-apa. Menurut hukum dan undang-undang yang berlaku, hal ini tidak
adil .
“Wahai keturunan bangsa Kuru yang saya muliakan, Pandawa
menginginkan perdamaian. Mereka bersedia melupakan semua penderitaan
yang mereka alami di pengasingan. Mereka tidak menghendaki peperangan,
sebab mereka sadar peperangan tidak akan membawa kebaikan, hanya
kemusnahan. Karena itu, berikanlah apa yang patut mereka miliki
berdasarkan hukum dan undang-undang, sesuai dengan keadilan dan
persetujuan yang telah disepakati. Hendaknya jangan Tuan-Tuan menundanya
lagi.”
Setelah utusan itu selesai bicara, Bhisma yang bijaksana bangkit berdiri dan berkata, “Atas
karunia Dewata, Pandawa dalam keadaan baik dan sejahtera. Mereka
memperoleh bantuan dari banyak raja, hingga pasukan mereka kuat dan
cukup jumlahnya untuk bertempur. Tetapi, mereka tidak menghendaki perang
terjadi. Mereka tetap berusaha untuk mencari jalan damai. Mengembalikan
milik mereka yang menjadi hak mereka adalah satusatunya jalan menuju
kebenaran dan keadilan.”
Meskipun Bhisma belum selesai bicara, Karna telah bangkit berdiri dan menyela. Dengan pedas ia berkata kepada utusan Pandawa,
“Wahai
Brahmana, apakah yang kaukatakan itu sesuatu yang baru? Tak ada gunanya
mengulang cerita lama! Yudhistira tak berhak menuntut miliknya yang
sudah dipertaruhkannya di meja judi, karena ia kalah. Kalau dia masih
ingin memiliki bagian dari kerajaannya, dia harus datang memintanya
sebagai pemberian. Tetapi nyatanya, dengan sombong ia menuntut sesuatu
yang bukan haknya sebab dia merasa kuat berkat dukungan
sekutu-sekutunya, terutama dari Matsya dan Pancala .
“Baiklah
kujelaskan di sini bahwa tidak sesuatu pun akan diperoleh dari
Duryodhana dengan jalan tipu muslihat dan ancaman. Seperti telah
terbukti, dalam tahun ketiga belas seharusnya Pandawa bersembunyi
sebaik-baiknya. Jangan sampai keberadaan mereka diketahui. Tetapi,
nyatanya mereka ketahuan sebelum bulan kedua belas tahun ketiga belas
berakhir. Menurut perjanjian, seharusnya mereka menjalani pengasingan
lagi selama dua belas tahun.”
Bhisma menyela,
“Wahai
Karna, jangan engkau berkata demikian. Kalau kita tidak mendengarkan
pesan yang disampaikan utusan itu, perang akan pecah. Ketahuilah, kita
pasti kalah dan musnah.”
Sidang
itu menjadi ramai dan kacau. Raja Dritarastra dituntun Sanjaya naik ke
mimbar. Setelah menyuruh semua yang hadir diam, ia berkata kepada utusan
itu, “Demi keselamatan dunia dan kesejahteraan Pandawa, aku putuskan
untuk mengirim Sanjaya berunding dengan Pandawa. Pulanglah, hai sang
duta. Sampaikan hal ini kepada Yudhistira.”
Dritarastra
kemudian memberikan pesan-pesan kepada Sanjaya, “Pergilah menemui
putra-putra Pandu. Sampaikan salam kasihku kepada mereka dan salam
hormatku kepada Krishna, Satyaki dan Wirata. Pergilah atas namaku dan
berundinglah dalam suasana kekeluargaan untuk menghindari peperangan.”
Maka
berangkatlah Sanjaya ke Upaplawya dengan membawa pesan perdamaian!
Dalam pertemuan khusus yang diadakan untuk menyambut kedatangannya,
Sanjaya berkata singkat, “Dharmaputra, merupakan kebahagiaan dan
kehormatan bagiku mendapat kesempatan untuk bertemu dengan putra-putra
Pandu. Engkau dikelilingi sanak-saudara dan sahabat-sahabatmu. Itu yang
membuatku merasa lega. Raja Dritarastra mengutusku untuk menyampaikan
salam kasih dan doa restunya bagimu. Ia tidak menginginkan perang. Ia
menginginkan persaudaraan, persahabatan dan perdamaian dengan Pandawa.”
Mendengar
kata-kata Sanjaya, dengan senang hati Yudhistira menyambut, “Kalau
memang demikian, berarti putra-putra Dritarastra telah sadar. Kalau
memang demikian, kita semua bisa tenang. Kalau kerajaan kami
dikembalikan, kami bersedia melupakan segala perselisihan kita dan
kepahitan yang kami alami di masa lalu.”
Sanjaya
melanjutkan, “Yudhistira, janganlah berharap bahwa putra-putra
Dritarastra akan sadar. Mereka tidak seperti yang kaubayangkan. Mereka
tetap menentang ayah mereka dan menginginkan perang. Tetapi, kuharap
engkau tidak kehilangan kesabaran .
“Yudhistira, engkau
selalu bertindak adil dan jujur serta bersikap tegas menjunjung
kebenaran. Mari kita hindari peperangan. Apakah kebahagiaan dapat
dinikmati dari kekayaan hasil rampasan perang? Apa gunanya memiliki
kerajaan dengan jalan membunuh sanak kerabat sendiri? Karena itu,
janganlah engkau memulai permusuhan. Pandawa mungkin mampu menaklukkan
dunia tanpa batas, tapi usia lanjut dan kematian tidak bisa dihindari.
Duryodhana dan saudara-saudaranya memang jahat dan serakah, tetapi
jangan sampai engkau terbawa nafsu, memunggungi kebenaran dan hilang
kesabaran. Walaupun mereka tidak mau mengembalikan kerajaanmu, janganlah
engkau tinggalkan jalan kemuliaan dharma.”
Yudhistira menjawab, “Sanjaya,
apa yang engkau katakan itu benar. Memegang kebenaran adalah harta
terbaik. Tapi, bukankah kami tidak melakukan kejahatan? Krishna tahu
akan hakikat kebenaran dan dharma. Ia mengharapkan kita, kedua belah
pihak, selamat dan sentosa. Aku akan minta pertimbangannya.”
Krishna
berkata, “Aku menginginkan kesejahteraan bagi Pandawa. Aku juga
mengharapkan Dritarastra dan putraputranya bahagia. Ini sulit. Aku
pikir, mungkin aku bisa menyelesaikan masalah ini dengan pergi sendiri
ke Hastinapura. Kalau kita bisa mencapai persetujuan yang tidak
merugikan Pandawa, aku senang. Kalau aku berhasil berbuat demikian,
berarti Kaurawa dapat diselamatkan dari kemusnahan. Sungguh sesuatu yang
sangat berarti dalam sejarah. Kalau dengan jalan perdamaian Pandawa
bisa memperoleh apa yang mereka kehendaki, mereka akan tetap menaruh
hormat kepada Dritarastra. Tetapi kalau perang tak bisa dihindari,
Pandawa siap menghadapinya. Apa boleh buat! Dari dua kemungkinan ini,
silakan Dritarastra memilih. Perang atau damai. Damai atau perang.”
Yudhistira berkata lagi, “Wahai Sanjaya, kembalilah ke Hastinapura dan sampaikan pesanku ini kepada Paman Dritarastra.
“Bukankah
berkat ketulusan hati Paman, kami memperoleh sebagian wilayah kerajaan
sebagai warisan ketika kami masih muda? Paman pernah menjadikan aku
sebagai raja dan Paman seharusnya mengakui hak kami sebagai pewaris yang
sah. Paman seharusnya tidak mengusir kami, hingga kami terpaksa hidup
seperti pengemis yang menggantungkan nasib pada belas kasihan orang.
Paman yang kami hormati, sesungguhnya kerajaan kita cukup luas untuk
dibagi dua. Karena itu, mari hindari permusuhan di antara kita .
“Demikianlah
hendaknya engkau sampaikan pesanku kepada Raja Dritarastra. Sampaikan
salam hormat dan kasihku kepada Kakek Bhisma dan mohonkan restunya agar
semua cucunya hidup bahagia dan bersatu, tanpa permusuhan. Salam juga
untuk Widura. Ia adalah orang yang paling bisa melihat dengan lurus dan
dapat memberi nasihat dengan adil. Tolong sampaikan pesanku ini kepada
Duryodhana .
“‘... Saudaraku tercinta, engkau
telah menyebabkan kami, putra-putra pamanmu, hidup mengembara di hutan
dan mengenakan pakaian kulit kayu. Engkau telah menghina dan menyeret
istri kami di depan orang banyak. Kami terima semua itu dengan sabar.
Kini, kembalikan milik kami yang sah. Kami ini berlima, setidak-tidaknya
kembalikan lima desa kepada kami. Dan marilah kita berdamai. Sambutlah
uluran tangan kami dengan hati ikhlas dan damai.’
“Ya,
Sanjaya, sampaikan ini kepada Duryodhana. Kami siap menempuh jalan
damai, tapi ... jika Kaurawa menghendaki, kami pun siap menempuh jalan
perang.”
Sanjaya kembali ke Hastinapura dengan membawa pesan penting untuk Dritarastra dan dan Duryodhana .
***
BERSAMBUNG
0 komentar :
Posting Komentar