37. Krishna dalam Wujud Wiswarupa
Sejak
Sanjaya berangkat menuju perkemahan Pandawa di Upaplawya, Dritarastra
gelisah dan cemas menantikan berita yang akan dibawa kembali oleh
utusannya. Siang tak enak makan, malam tak enak tidur. Ia memanggil
Widura untuk menemaninya bercakap-cakap .
Widura berkata,
“Yang terbaik dan paling aman adalah mengembalikan wilayah kerajaan
Pandawa seperti semula. Hanya itu yang akan membawa kebaikan dan
keabadian bagi kedua belah pihak. Perlakukan Pandawa dan putra-putramu
dengan kasih sayang yang sama. Dalam hal ini, cara yang benar adalah
penyelesaian yang bijaksana.”
Demikianlah Widura mencoba
menghibur dan memberi jalan kepada Dritarastra yang buta agar raja itu
dapat bertindak tepat terhadap anak-anaknya dan kemenakannya .
Esok
harinya Sanjaya telah kembali ke Hastinapura. Ia memberikan laporan
panjang lebar. Sebelum menutup laporannya, ia berkata, “Yang terpenting,
Duryodhana harus tahu apa yang dikatakan oleh Arjuna, yaitu:
“...
Krishna dan aku akan hancurkan Duryodhana dan seluruh pengikutnya.
Jangan kalian keliru tentang ini. Panah Gandiwaku sudah tidak sabar
untuk dibawa bertempur. Busur panahku bergetar biarpun tidak kubidikkan.
Di dalam sarungnya, anak panahku bergemerincing beradu, minta segera
dilepaskan dari tali busurnya untuk menembus dada Duryodhana yang
serakah dan nekat menantang aku dan Krishna. Ingat, dewa-dewa pun takkan
bisa mengalahkan kami.’
“Demikianlah yang dikatakan Dhananjaya kepadaku.”
Bhisma
mencoba menasihati Dritarastra agar melarang putra-putranya mengadu
kekuatan dengan Arjuna dan Krishna. Berkatalah Bhisma, “Karna yang
membanggakan diri sanggup membunuh Pandawa kesaktiannya tidak sampai
seperenambelas kesaktian Pandawa. Putra-putramu membiarkan diri mereka
terseret ke lembah kehancuran karena mendengarkan kata-kata Karna .
Ketika Arjuna membalas serangan putra-putramu terhadap Raja Wirata dan
kemudian mengalahkan Duryodhana, apa yang dilakukan Karna? Ketika
Chitrasena si raja raksasa menaklukkan dan menawan Duryodhana, di
manakah Karna? Bukankah Arjuna yang membebaskan Duryodhana dan mengusir
Chitrasena?”
Demikianlah Bhisma terpaksa menjelaskan tentang bagaimana sebenarnya sikap Karna selama ini .
“Apa yang engkau katakan, wahai Bhisma sang tetua keluarga, adalah satu-satunya jalan yang patut ditempuh,” sahut Dritarastra.
Lalu
ia melanjutkan, “Setiap orang bijaksana berkata demikian. Aku sendiri
juga yakin, itulah satu-satunya jalan untuk mencapai perdamaian. Tetapi
apa yang dapat kulakukan? Anak-anakku memang serakah dan buta hati.
Mereka ingin menempuh jalan mereka sendiri, tanpa meminta
persetujuanku.”
Duryodhana, yang mendengar pembicaraan
ayahnya dengan Bhisma, menyela, “Ayahanda, jangan cemaskan keselamatan
kami. Jangan takut! Kami tahu kekuatan kami. Kita pasti menang.
Yudhistira juga tahu. Kulihat ia sudah putus asa dan akhirnya hanya
minta lima desa. Apalagi yang kurang jelas? Ia sudah mulai ketakutan
akan menghadapi sebelas divisi balatentara kita. Apa yang dapat
dilakukan Pandawa untuk melawan balatentara kita? Kenapa Ayahanda
meragukan keunggulan kami?”
“Anakku sayang, sebaiknya kita hindari perang. Belum
puaskah kamu memiliki separo dari kerajaan ini? Yang menjadi hakmu itu
sebenarnya lebih dari cukup apabila kita bina dengan sebaik-baiknya,” kata Dritarastra .
Tetapi
Duryodhana tidak mengindahkan nasihat ayahnya. Ia sudah muak mendengar
berbagai nasihat. Kemudian ia berkata dengan keras, “Sejengkal tanah pun takkan kuberikan kepada Pandawa. Setapak pun aku tak sudi bergeser!”
Setelah berkata demikian, ia meninggalkan ayahnya tanpa mohon diri .
Sementara itu, setelah Sanjaya meninggalkan Upaplawya, Yudhistira berunding dengan Krishna. Katanya,
“Wasudewa,
Sanjaya adalah bayangan Dritarastra. Dari ucapannya, aku mencoba
menangkap apa yang sebenarnya ada dalam pikiran Dritarastra. Ia mencoba
mengajak kami berdamai, tanpa mengembalikan tanah kami. Sejengkal pun
tidak. Mulanya aku senang mendengar ucapannya. Tapi, setelah menyimak
dan merenungkan kata-katanya, aku sadar, kegembiraanku tidak beralasan.
Kemudian ia menyatakan keinginan untuk berdamai, tetapi dengan syarat
yang membuat posisi kami lemah karena mereka takkan mengembalikan hak
kami .
“Dritarastra memang bersikap tidak adil kepada
kami. Berarti saat-saat gawat semakin dekat. Tidak ada orang lain,
kecuali engkau yang dapat menolong kami. Aku telah ajukan tuntutan
sesedikit mungkin: hanya lima desa. Tetapi Kaurawa yang serakah pasti
tetap menolak. Bagaimana kami bisa bertenggang rasa menghadapi sikap
seperti itu? Hanya engkau yang dapat memberi nasihat kepada kami. Hanya
engkau yang bisa menunjukkan apa tugas kami sekarang. Hanya engkau yang
mampu memimpin kami dalam dharma.”
Krishna menanggapi,
“Demi kebaikan kalian, kedua belah pihak—maksudku, sebaiknya aku pergi
ke Hastinapura. Aku akan mencoba memintakan hak kalian tanpa peperangan.
Kalau usahaku berhasil, itu berarti kebaikan bagi dunia dan umat
manusia.”
Kata Yudhistira,
“Wahai Krishna, engkau
tak perlu pergi ke Hastinapura. Apa gunanya engkau pergi ke tempat
musuh? Duryodhana sebenarnya penakut, membenci kebajikan, dan keras
kepala. Aku tidak setuju engkau pergi menemuinya. Aku mengkhawatirkan
keselamatanmu karena Kaurawa yang licik akan nekat dan bisa berbuat apa
saja.”
Krishna menjawab, “Dharmaputra, aku tahu Duryodhana
memang jahat, tetapi kita tetap harus berusaha mencapai penyelesaian
secara damai agar rakyat tidak menuduh kita tidak berusaha untuk
menghindari peperangan. Cara apa pun akan kita tempuh, demi perdamaian.
Jangan khawatirkan keselamatanku. Jika Kaurawa berani mengancam atau
melukai aku yang datang sebagai duta perdamaian, aku akan remukkan
mereka hingga menjadi abu!”
Yudhistira berkata lagi,
“Engkau tahu segala dan semua. Engkau tahu hati kami dan hati mereka.
Memang, engkaulah utusan yang paling baik dan paling tepat.”
Krishna
menanggapi, “Ya, aku mengenalmu dan mengenal Duryodhana dengan baik.
Jiwamu selalu teguh memegang kebenaran. Jiwa mereka selalu diliputi
kebencian, iri hati dan permusuhan. Aku akan berusaha sebaik mungkin
agar apa yang kau cita-citakan tercapai, yaitu penyelesaian tanpa
perang. Memang, kemungkinan itu sangat kecil dan situasi sekarang ini
membuahkan firasat buruk. Tetapi, kewajiban kita untuk selalu
mengusahakan perdamaian.”
Demikianlah percakapan
Yudhistira dengan Krishna sebelum Raja Dwaraka itu berangkat ke
Hastinapura diiringkan Satyaki. Sebelum berangkat, sekali lagi Krishna
mengajak Pandawa berunding dengan sungguh-sungguh .
Dalam
perundingan itu, sungguh terasa bahwa setiap orang di pihak Pandawa
menghendaki perdamaian. Bahkan Bhima, yang terkenal keras kepala, juga
memilih perdamaian. Demikian kata Bhima, “Janganlah kita memusnahkan
bangsa kita; juga keturunannya. Kalau bisa diusahakan, aku lebih memilih
perdamaian.”
Tetapi Draupadi tidak bisa melupakan
penghinaan yang pernah dialaminya. Sambil mengusap-usap rambutnya yang
panjang, dengan suara tersendat-sendat ia berkata kepada Krishna,
“Madusudana, perhatikanlah rambutku ini, bekas penghinaan. Kehormatan
apa yang harus dijunjung? Tidak ada perdamaian tanpa kehormatan!
Kalaupun Bhima dan Arjuna tidak setuju jalan perang, ayahku— walaupun
sudah tua—pasti akan pergi ke medan perang bersama anak-anakku. Mungkin
ayahku tidak setuju, tetapi anak-anakku dan Abhimanyu, anak Subadra,
akan memimpin pertempuran melawan Kaurawa. Demi pengabdianku kepada
Dharmaputra, tiga belas tahun kulewatkan dengan memendam kebencianku
pada Kaurawa. Tetapi kini, aku sudah tidak tahan lagi!”
Krishna
menjawab, “Mungkin sekali anak-anak Dritarastra tidak akan peduli akan
usul perdamaian ini. Dalam perang, mereka akan berjatuhan dan musnah.
Tak ada yang akan melakukan upcara persembahyangan untuk mereka. Mayat
mereka akan jadi santapan serigala dan anjing hutan .
“Engkau akan menyaksikan kami pulang membawa kemenangan. Semua penghinaan yang pernah engkau terima, akan mereka bayar mahal. Sabarlah, saat itu akan segera tiba.”
Setelah berkata demikian, berangkatlah Krishna alias Madhusudana ke Hastinapura .
Berita
kedatangan Krishna telah sampai ke Hastinapura jauh sebelum dia dan
pengiringnya melewati perbatasan. Dritarastra memerintahkan agar
Hastinapura dihias dengan semarak dan upacara penyambutan dipersiapkan
dengan sebaik-baiknya. Kediaman Duhsasana, yang paling indah dari semua
kediaman Kaurawa, disiapkan untuk tempat beristirahat Krishna dan
pengiringnya .
Dritarastra meminta nasihat kepada Widura,
“Sebaiknya kita siapkan upacara pemberian gelar dan hadiah untuk
Krishna. Kita hadiahkan kereta kencana, gajah, kuda, dan sejumlah hadiah
lain.”
Widura menjawab, “Krishna tak mungkin dibujuk
dengan gelar dan hadiah. Berikan apa yang ia kehendaki. Bukankah ia
datang untuk mengusahakan penyelesaian secara damai? Usahakan untuk
memenuhinya. Krishna takkan silau oleh hadiah dalam bentuk apa pun. Ia
akan puas jika kedatangannya membuahkan perdamaian.”
Ketika
Krishna dan para pengiringnya tiba di Hastinapura, penduduk berdiri di
pinggir jalan, mengelu-elukan kedatangannya. Saking padatnya jalanan,
kereta mereka nyaris tak bisa bergerak. Pertama-tama Krishna pergi ke
istana Dritarastra, kemudian ke kediaman Widura. Dewi Kunti menemuinya
di kediaman Widura. Ibu para kesatria Pandawa itu menangis ketika
bertemu dengan Krishna. Ia sedih karena ingat akan penderitaan
putra-putranya selama tiga belas tahun. Krishna menghibur Dewi Kunti
dengan mengabarkan bahwa saat itu Pandawa selamat dan sejahtera .
Dari
kediaman Widura, Krishna pergi ke kediaman Duryodhana untuk
menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu mengharapkan penyelesaian yang
wajar .
Duryodhana menyambut Krishna dan mengundangnya
untuk makan-makan, tetapi dengan halus Krishna menolaknya. Katanya,
“Terima kasih atas undanganmu. Saya terima undangan makan-makan itu.
Tetapi, sebaiknya itu dilaksanakan setelah kita mencapai kesepakatan
untuk memilih jalan damai.”
Setelah menyampaikan pesannya
kepada Duryodhana, Krishna minta diri untuk kembali ke kediaman Widura.
Di sanalah ia tinggal selama ia menjalankan tugasnya di Hastinapura.
Krishna dan Widura lalu mengadakan pembicaraan. Widura menjelaskan
kepada Krishna bahwa keangkuhan Duryodhana disebabkan oleh keyakinannya
akan kesaktiannya sendiri .
Kecuali itu, Bhisma dan Drona
tetap berada di pihaknya. Widura memberi isyarat bahwa sebaiknya Krishna
dan pengiringnya tidak masuk ke ruang perundingan yang akan
diselenggarakan oleh Duryodhana. Ia yakin, Duryodhana dan
saudara-saudaranya pasti telah merencanakan suatu perangkap untuk
membunuh Krishna .
“Apa yang engkau katakan tentang
Duryodhana itu benar. Aku datang kemari dengan harapan bisa merundingkan
penyelesaian secara damai. Aku tidak ingin dikutuk oleh dunia. Jangan
engkau khawatirkan keselamatanku,” kata Krishna .
Keesokan
harinya Duryodhana dan Sakuni datang menemui Krishna, mengatakan bahwa
Dritarastra telah menunggu kedatangannya. Krishna segera pergi ke tempat
perundingan bersama Satyaki dan Widura. Pada waktu Krishna memasuki
ruangan, semua yang hadir di situ serentak berdiri dan memberikan salam
hormat dengan mengatupkan kedua telapak tangan. Kemudian Krishna
dipersilakan duduk di kursi yang telah disediakan baginya. Setelah
upacara penyambutan selesai, tibalah giliran Krishna untuk bicara .
Sambil
memandang Dritarastra dengan penuh hormat, Krishna menjelaskan maksud
kedatangannya kepada hadirin. Ia juga menjelaskan apa yang sebenarnya
diinginkan pihak Pandawa. Akhirnya secara khusus Krishna berkata kepada
Dritarastra, “Paduka Raja, hendaknya Tuanku jangan membawa kehancuran
bagi rakyat. Renungkan ini: sesuatu dikatakan jelek apabila baik bagi dirimu sendiri dan sesuatu dikatakan baik apabila jelek bagi dirimu sendiri .
“Tugasmu
adalah untuk menuntun putra-putramu. Pandawa siap bertempur, tetapi
mereka memilih perdamaian. Mereka ingin hidup rukun dan bahagia di bawah
pimpinanmu. Perlakukan mereka sebagaimana putraputramu sendiri.
Berusahalah untuk mencari penyelesaian yang damai dan terhormat. Pasti
dunia akan menghormati engkau!”
Demikianlah, Krishna
berkata dengan sungguh-sungguh. Dritarastra yang buta berkata kepada
para hadirin, “Saudara-saudara dan sahabat-sahabatku, dalam hal ini aku
tidak bersalah. Aku juga mengharapkan perdamaian, sama seperti yang
dikatakan Krishna. Tetapi aku tidak berdaya. Putra-putraku tidak mau
mendengarkan kata-kataku. Krishna, aku harap kau berhasil menasihati
Duryodhana.”
Krishna menoleh ke arah Duryodhana dan berkata,
“Engkau
keturunan keluarga agung dan terhormat. Berjalanlah di jalan dharma.
Buanglah iri, dengki dan dendam di hatimu karena itu tidak sesuai dengan
keagunganmu. Perasaan seperti itu hanya pantas bagi orang yang berasal
dari keturunan berbudi rendah. Karena engkaulah, keturunan dan keluarga
ini berada dalam bahaya kehancuran. Dengarkan dan pertimbangkan usul
kami yang adil dan wajar ini .
“Pandawa menghendaki
Dritarastra menjadi raja dan engkau menjadi ahli warisnya. Berdamailah
dengan mereka dan serahkan separo kerajaan ini kepada mereka.”
Bhisma
dan Drona menasihati Duryodhana agar mau mendengarkan kata-kata
Krishna. Tetapi hati Duryodhana sudah keras, tidak bisa dilembutkan .
“Aku
kasihan melihat ayahmu, Dritarastra, dan ibumu, Dewi Gandhari. Karena
keserakahanmu, mereka menderita, putus asa dan kehilangan segalanya,”
kata Widura kepada Duryodhana .
Sekali lagi Dritarastra
berkata kepada putranya, “Duryodhana! Kalau engkau tidak mau
mendengarkan nasihat Krishna, bangsamu akan musnah.”
Bhisma
dan Drona tidak putus-putusnya menasihati Duryodhana agar tidak
berjalan ke arah yang salah. Tetapi Duryodhana justru kehilangan
kesabaran. Ia tidak dapat menahan kekesalannya lagi, lebih-lebih karena
merasa dipojokkan untuk menyetujui penyelesaian secara damai. Kekesalan
dan amarahnya meledak! Dia berdiri lalu berkata lantang,
“Wahai,
Krishna, engkau menyalahkan aku sebab engkau memihak Pandawa. Yang lain
juga menyalahkan aku, tetapi aku yakin bukan aku yang harus dikutuk.
Atas kehendak mereka sendiri Pandawa telah mempertaruhkan kerajaan
mereka. Mana bisa aku yang harus bertanggung jawab atas urusan ini?
Setelah kalah dalam permainan, sesuai permufakatan yang terhormat,
mereka harus masuk hutan seperti kesepakatan kita semula .
“Sekarang,
kesalahan apalagi yang mereka tuduhkan kepada kami? Mengapa kami
dituduh haus perang dan pembunuhan? Aku tidak gentar menghadapi ancaman
apa pun. Ketika aku masih bocah, orang-orang yang lebih tua selalu
menyalahkan dan menyakiti hati kami dengan selalu membenarkan, membela,
dan menyanjung Pandawa. Aku tidak tahu, mengapa mereka harus mendapat
setengah dari kerajaan ini padahal sesungguhnya mereka sama sekali tidak
berhak. Waktu itu, aku diam dan setuju saja. Tetapi, bukankah mereka
telah mempertaruhkan kerajaannya dalam permainan dadu dan mereka kalah?
Sejengkal pun takkan kuberikan wilayah kerajaanku kepada Pandawa!”
kata Duryodhana tanpa rasa bersalah sama sekali .
Krishna
tersenyum dan berkata, “Bukankah engkau telah mempersiapkan permainan
itu dengan licik? Bersama dengan Sakuni, kau memperdayakan Pandawa.
Permainan kauatur sedemikian hingga Pandawa tak mungkin menang. Dengan
keji kauhina Draupadi di depan para raja dan tamu-tamu lainnya. Tanpa
malu engkau tetap bersitegang bahwa engkau sama sekali tidak bersalah.”
Duhsasana
menanggapi pembicaraan tersebut dengan mengatakan bahwa Bhisma dan para
tetua lainnya sudah termakan oleh kata-kata Krishna yang memojokkan
Duryodhana. Tiba-tiba ia berdiri lalu berkata dengan lantang,
“Saudaraku, rupa-rupanya orang-orang dalam perundingan ini telah
menyiapkan rencana jahat terhadap dirimu. Mereka hendak mengikat kaki
dan tanganmu dengan tali tipu muslihat dan menyerahkan dirimu pada
Pandawa. Ayo, kita pergi dari sini.”
Demikianlah, Duryodhana dan saudara-saudaranya segera meninggalkan perundingan .
Krishna
meneruskan pembicaraan dengan hadirin yang masih ada. Ia berkata,
“Tuan-Tuan yang mulia, bangsa Yadawa dan bangsa Wrisni kini hidup damai
dan bahagia setelah Kamsa dan Sisupala mati. Demi menyelamatkan seluruh
rakyat, mungkin kita perlu mengorbankan satudua orang .
“Bukankah
ada kalanya sebuah desa harus dikosongkan atau dimusnahkan demi
menyelamatkan seluruh negeri dari petaka wabah penyakit? Aku khawatir,
kita terpaksa mengorbankan Duryodhana bila Tuan-Tuan hendak
menyelamatkan bangsa ini. Inilah satu-satunya jalan.”
Dritarastra
menyuruh Widura memanggil Dewi Gandhari, permaisurinya dan ibu para
Kaurawa. Ia berharap Duryodhana mau mendengarkan nasihat ibunya dan
mengambil keputusan dengan akal sehat.
Tetapi Duryodhana berkata dengan mata merah melotot, “Tidak, tidak, tidak!” lalu pergi tanpa memberi hormat kepada siapa pun .
Duryodhana menyusun rencana untuk menculik dan membunuh Krishna. Rencana itu segera sampai ke ruang perundingan.
Krishna,
yang sudah mengetahui rencana itu sejak semula, tiba-tiba
memperlihatkan keaslianNya. Selama beberapa saat Dritarastra yang buta
dapat melihat Krishna dalam wujudNya yang suci dan agung, wujud sebagai
penjelmaan Hyang Widhi yang membawa perdamaian. Dritarastra lalu menyembah .
“Oh
Hyang Widhi, setelah melihat Engkau dalam bentuk Wiswarupa, aku tidak
ingin melihat apa-apa lagi. Biarlah aku buta untuk selama-lamanya,”
katanya sambil memejamkan matanya lagi. Seketika itu ia kembali buta
seperti sediakala .
Dritarastra meneruskan ucapannya, “Semua usaha kita gagal. Duryodhana memang kepala batu.”
Setelah
tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, pertemuan diakhiri. Krishna
segera meninggalkan ruangan didampingi Satyaki dan Widura. Ia langsung
menemui Dewi Kunti dan mengabarkan bahwa usahanya gagal. Dewi Kunti
meminta agar Krishna menyampaikan restunya kepada putra-putranya .
“Sekarang
saatnya menunjukkan untuk apa sebenarnya seorang ibu membesarkan
putra-putranya hingga menjadi kesatria, yaitu untuk dikorbankan di medan
perang. Semoga engkau dapat menuntun mereka dalam pertempuran,” kata
Dewi Kunti kepada Krishna. Setelah bercakap-cakap sebentar, Krishna
cepat-cepat naik ke keretanya lalu melecut kudanya agar berlari kencang
menuju Upaplawya .
Jalan damai sudah diusahakan, tapi peperangan tak terhindarkan!
***
BERSAMBUNG
0 komentar :
Posting Komentar