38. Yang Berpihak, Yang Bertentangan, dan Yang Berdamai
Sepeninggal
Krishna, Dewi Kunti merasa sangat sedih memikirkan anak-anaknya. Ia
ngeri membayangkan peperangan yang akan terjadi, yang tak mungkin
dielakkan lagi. Hatinya bertanya-tanya, “Bagaimana mungkin aku bisa
menyatakan isi hatiku kepada anak-anakku? ‘Pikullah segala penghinaan.
Sebaiknya kita tidak usah meminta pembagian kerajaan dan hindari
peperangan?’
“Bagaimana mungkin anak-anakku bisa menerima
pikiranku yang bertentangan dengan tradisi kesatria? Tetapi sebaliknya,
apa yang akan diperoleh dari saling membunuh dalam peperangan? Dan
kebahagiaan seperti apa yang akan dicapai setelah musnahnya bangsa ini?
Bagaimana aku harus menghadapi ini?”
Berbagai pertanyaan timbul di hati Dewi Kunti, pertanyaan tentang peperangan, kemusnahan total dan kehormatan kesatria .
“Bagaimana
anak-anakku bisa mengalahkan bersatunya tiga kekuatan kesatria Bhisma,
Drona dan Karna? Mereka adalah senapati-senapati perang yang belum
pernah terkalahkan.
“Bila kubayangkan semua ini, hatiku
terasa pedih. Aku tidak mengkhawatirkan kekuatan yang lain; hanya ketiga
kesatria itu yang sanggup membuat Kaurawa menang melawan Pandawa .
“Dari ketiga kesatria itu, mungkin Mahaguru Drona tidak akan membunuh anak-anakku, bekas murid-murid
nya
yang dikasihinya. Kakek Bhisma tentu tidak akan sampai hati membunuh
Pandawa. Tetapi, Karna adalah musuh bebuyutan Pandawa. Ia sangat ingin
menyenangkan hati Duryodhana dengan membunuh anak-anakku .
“Karna
sungguh tangkas berolah senjata perang, senjata apa pun. Bila
kubayangkan Karna bertempur melawan anak-anakku, hatiku pedih sekali.
Sepertinya sudah waktunya aku menemui Karna dan mengatakan kepadanya
siapa sebenarnya dia. Kuharap, setelah tahu asalusulnya ia mau
meninggalkan Duryodhana.”
Maka pergilah Dewi Kunti untuk
menemui Karna. Ia pergi ke tepi Sungai Gangga, ke tempat Karna setiap
hari melakukan pemujaan kepada dewata. Benarlah, Karna tampak sedang
bersamadi menghadap ke timur, kedua tangannya tertangkup dalam sikap
menyembah. Dengan sabar Dewi Kunti menunggu Karna selesai bersamadi.
Sungguh khusyuk bersamadi, hingga Karna tak merasa bahwa sinar matahari
telah naik sampai di atas punggungnya .
Setelah selesai
bersembahyang, Karna berdiri. Barulah ia melihat Dewi Kunti menunggu di
belakangnya, di bawah terik matahari. Segera ia melepas bajunya untuk
melindungi kepala Dewi Kunti dari panas matahari. Karna menduga
permaisuri Pandu itu telah lama menunggunya. Ia agak bingung,
menebak-nebak apa maksud kedatangan ibu Pandawa itu .
Kemudian
ia berkata, “Anak Rada dan Adhirata, sais kereta, menyembah engkau.
Wahai Ratu Kunti, apa yang dapat kulakukan demi pengabdianku kepadamu?”
“Ketahuilah,
Karna, sesungguhnya engkau bukan anak Rada dan Adhirata bukan ayahmu,”
kata Dewi Kunti. “Janganlah berpikir bahwa dirimu berasal dari keturunan
sais kereta. Sesungguhnya, engkau adalah putra Batara Surya, Dewa
Matahari. Engkau lahir dari kandungan Pritha, putri bangsawan yang
dikenal dengan nama Kunti. Semoga engkau diberkahi keselamatan dan
kesejahteraan.”
Saking kagetnya mendengar kata-kata Dewi Kunti,
Karna terdiam, terpana, tak sanggup berkata-kata .
Kemudian
Dewi Kunti melanjutkan, “Engkau dilahirkan lengkap dengan senjata suci
dan anting-anting emas. Karena engkau tidak tahu bahwa Pandawa adalah
saudara-saudaramu seibu, engkau memihak Duryodhana dan membenci Pandawa.
Hidup menggantungkan diri pada belas kasihan anak-anak Dritarastra
tidaklah patut bagimu. Bergabunglah dengan Arjuna dan kau akan bisa
memerintah sebuah kerajaan di dunia ini. Semoga engkau dan Arjuna bisa
menghancurkan mereka yang jahat dan tidak adil. Seisi dunia pasti akan
menghormati kalian berdua. Kalian akan disegani banyak orang, seperti
Krishna dan Balarama. Dikelilingi kelima saudaramu, kemasyhuranmu akan
seperti keagungan Brahma di antara para dewa. Dalam situasi kalut
seperti sekarang, orang harus menurut nasihat orangtua yang
mencintainya. Itulah kewajiban utama setiap anak, sesuai dharma dan
ajaran kitab-kitab suci.”
Ketika ibunya bercerita tentang asal usul kelahirannya, Karna merasakan sesuatu dalam hatinya:
Dewa Matahari membenarkan kata-kata Dewi Kunti! Tetapi ia menahan diri
dan menganggap kabar itu sebagai ujian dari Batara Surya terhadap
kesetiaan dan keteguhan hatinya. Ia bertekad untuk tidak menunjukkan
kelemahannya .
Dengan
kemauan keras ia dapat mengatasi keinginan untuk mendahulukan
kepentingannya sendiri, untuk membalas cinta ibunya, untuk bergabung
dengan Pandawa. Maka, dengan hati sedih namun teguh ia berkata, “Ibu,
apa yang engkau katakan itu berlawanan dengan dharma. Apabila sekarang
aku menghindari kewajibanku, berarti aku akan menyakiti diriku lebih
parah dari apa yang dapat dilakukan musuhku terhadap diriku. Ibu telah
merenggut segala hak kelahiranku sebagai kesatria dengan melemparkan
aku, bayi yang tidak berdaya, ke sungai. Mengapa sekarang engkau bicara
tentang tugasku sebagai kesatria? Engkau tidak pernah mencintaiku dengan
cinta ibu yang merupakan hak setiap anak yang terlahir di dunia.
Indukbinatang saja tak pernah membuang anaknya; mengapa engkau
membuangku?
“Sekarang, ketika engkau mencemaskan nasib
anakanakmu yang lain, kauceritakan semua ini kepadaku. Seandainya
sekarang aku menggabungkan diri dengan Pandawa, bukankah dunia akan
mengutuk aku sebagai pengecut?
“Selama ini aku dihidupi
oleh anak-anak Dritarastra. Aku dipercaya mereka sebagai sekutu yang
setia. Aku berutang budi pada mereka. Semua harta dan kehormatan yang
kumiliki kuperoleh dari mereka. Sekarang, ketika perang akan meletus dan
aku harus membela Kaurawa, engkau menghendaki agar aku mengkhianati
Kaurawa, menyeberang ke pihak Pandawa. Ibu, mengapa kau minta aku
mengkhianati garam yang telah kumakan?
“Anak-anak
Dritarastra memandang aku sebagai jaminan kemenangan mereka dalam
peperangan yang akan datang. Aku tidak pernah mendorong mereka untuk
berperang. Katakan, adakah yang lebih hina daripada mengkhianati orang
yang telah menolong kita? Katakan, adakah yang lebih hina daripada orang
yang tak tahu membalas budi? Ibuku tercinta, aku harus membayar
hutangku, bila perlu dengan nyawaku. Kalau tidak, aku ini ibarat
perampok yang hidup dari hasil curian dan rampasan selama
bertahun-tahun. Tentu aku akan menggunakan segala kekuatanku untuk
melawan anak-anakmu dalam perang nanti .
“Aku tidak akan
mengkhianati siapa pun. Aku tidak akan menipu engkau dan diriku sendiri.
Ampunilah aku,” kata Karna dengan lembut tetapi tegas. “Biarpun
demikian, aku tidak akan menyia-nyiakan permintaan ibuku. Soalnya adalah
antara aku dan Arjuna. Dia atau aku yang harus mati dalam pertempuran
nanti .
“Ibu, aku berjanji tidak akan membunuh
anak-anakmu yang lain, apa pun yang mereka perbuat terhadap diriku.
Wahai ibu para kesatria, anakmu takkan berkurang, tetap lima. Salah satu
dari kami, aku atau Arjuna, akan tetap hidup setelah perang usai.”
Mendengar
kata-katanya yang demikian tegas dan sesuai dengan norma-norma
kesatria, hati Dewi Kunti semakin sedih dan pikirannya diliputi
pergulatan yang makin menajam. Ia tidak kuasa berkata-kata. Dipeluknya
Karna dengan kasih ibu yang melimpah-limpah. Hatinya hancur membayangkan
kedua anaknya akan bertanding, bunuh-membunuh. Hatinya terharu melihat
keteguhan Karna dalam menjalani takdir hidupnya. Akhirnya ia pergi
meninggalkan putra Batara Surya tanpa berkata-kata lagi .
“Siapakah yang dapat menentang suratan nasibnya? Semoga Hyang Widhi melindungimu,” katanya dalam hati .
***
Raja Negeri Widharba mempunyai lima anak laki-laki dan seorang anak perempuan bernama Rukmini yang
terkenal cantik, menarik, dan berkemauan keras. Rukmini ingin sekali
menjadi istri Krishna dan sudah mendapat restu seluruh keluarganya,
kecuali dari Rukma, kakaknya yang tertua dan ahli waris
ayahnya. Dengan segala cara Rukma menentang niat Rukmini untuk menikah
dengan Krishna, raja Negeri Dwaraka, karena ia berniat mengawinkan
adiknya itu dengan Sisupala, raja Negeri Cedi. Karena Bhismaka, raja
Negeri Widharba, sudah tua, maka segala sesuatunya diputuskan oleh Rukma
.
Mengetahui ayahnya tidak berdaya dan dirinya akan
dipaksa menikah dengan orang yang tidak dicintainya, diam-diam Rukmini
meminta bantuan seorang brahmana untuk menghubungi Krishna. Maka
berangkatlah brahmana itu ke Dwaraka untuk menyampaikan surat Rukmini
kepada Krishna dan mengabarkan rencana Rukma yang hendak mengawinkan
adiknya dengan Sisupala. Beginilah bunyi surat Rukmini, “Hatiku telah
kuserahkan kepadamu dan aku bersedia menjadi hambamu. Engkau adalah
dewaku. Aku mengharapkan kedatanganmu segera, sebelum Sisupala mengambil
aku dengan paksa. Jangan menunda-nunda. Balatentara Sisupala dan
balatentara Jarasanda akan menggempur engkau jika terlambat menjemputku.
Kakakku telah memutuskan untuk mengawinkan aku dengan Sisupala. Pada
hari perkawinanku, aku akan pergi ke pura bersama dayang-dayangku untuk
memuja Batari Laksmi. Saat itulah yang terbaik bagimu untuk melarikan
aku. Apabila engkau tidak datang, aku akan mengakhiri hidupku dengan
harapan setidak-tidaknya aku bisa bertemu denganmu dalam inkarnasi yang
akan datang. Semoga engkau berhasil.”
Mendengar cerita
brahmana itu dan membaca surat Rukmini, Krishna segera menyiapkan
keretanya dan berangkat ke Kundinapura, ibukota Negeri Widharba. Sampai
di sana dilihatnya Kundinapura telah dihias dengan indah dan meriah
untuk menyambut upacara perkawinan Rukmini dengan Sisupala .
Keberangkatan
Krishna yang diam-diam itu diketahui oleh saudaranya, Balarama. Ia
memang tahu tentang hubungan antara Krishna dengan Rukmini. Ia juga tahu
bahwa di Kundinapura sedang dipersiapkan upacara perkawinan Rukmini
dengan Sisupala. Ia juga tahu bahwa Sisupala dan Jarasandha adalah musuh
bebuyutan Krishna. Balarama mendapat firasat jelek. Karena itu, ia
tidak bisa membiarkan Krishna pergi sendirian tanpa pengawalan. Segera
diperintahkannya para senapatinya mengumpulkan pasukan dalam jumlah
besar. Diiringkan balatentara, Balarama menyusul adiknya ke Kundinapura .
Pada
hari perkawinannya, Rukmini berangkat ke pura diiringkan
dayang-dayangnya. Selesai bersembahyang, ia keluar dari pintu gerbang
pura sambil melihat ke sekelilingnya dengan waspada. Tidak jauh dari
pintu gerbang, ia melihat kereta Krishna. Segera saja Rukmini lari
sekencang-kencangnya menuju kereta itu dan menaikinya dengan bantuan
Krishna. Kereta langsung dipacu kencang. Para dayang dan pengawal istana
sangat terkejut dan hanya bisa terpaku menyaksikan kejadian yang begitu
singkat .
Rukma yang diberitahu tentang kejadian itu
marah. Ia memerintahkan balatentaranya mengejar Krishna, “Aku bersumpah
tak akan pulang sebelum berhasil membunuh Krishna.”
Sementara
itu, balatentara Balarama sudah sampai di pinggiran Kundinapura. Maka
terjadilah pertempuran sengit. Balatentara Rukma dapat dimusnahkan.
Kemudian Krishna dan Balarama kembali ke Dwaraka dengan membawa
kemenangan. Lebih dari itu, Krishna berhasil melarikan Rukmini .
Karena
amat malu, Rukma tidak kembali ke Kundinapura melainkan tinggal di
bekas medan pertempuran. Di sana ia membangun ibukota yang dinamakan
Bojakota. Kelak di kemudian hari, ia mendengar tentang persiapan perang
di Kurukshetra. Bersama seluruh balatentaranya, ia pergi ke Upaplawya
dengan maksud menawarkan bantuan kepada Pandawa. Kecuali itu, ia juga
ingin menjalin persahabatan dengan iparnya, Krishna .
Sampai di sana ia menemui Arjuna. Dengan sombong ia berkata,
“Wahai
Pandawa, balatentara musuhmu sangat besar. Aku datang untuk membantumu.
Beri aku perintah, aku akan hancurkan semua musuhmu. Aku sanggup
menggempur Drona, Kripa, dan Bhisma. Aku akan memenangkan perang
untukmu. Katakan saja apa maumu.”
Arjuna sekilas memandang Krishna, lalu menjawab sambil tersenyum,
“Tuanku Raja Bojakota, kami tidak gentar menghadapi kekuatan musuh.
Kami tidak membutuhkan bantuanmu. Silakan engkau memilih, kembali ke
negerimu atau tinggal di sini. Terserah engkau.”
Mendengar
jawaban Arjuna, Rukma tersinggung sekaligus merasa malu. Tanpa bicara
apa-apa ia langsung pergi meninggalkan Upaplawya. Diiringkan
balatentaranya, ia pergi ke pesanggrahan Duryodhana .
“Bukankah
engkau kemari setelah ditolak oleh Pandawa? Apakah pantas aku menerima
kesatria yang telah ditolak Pandawa? Tidak, aku tidak butuh engkau!”
jawabDuryodhana singkat dengan nada berang .
Rukma
sangat malu ditolak oleh Pandawa dan Kaurawa. Akhirnya ia kembali ke
Bojakota dan menghindarkan diri dari perang besar yang akan berlangsung.
Seperti Balarama, ia memilih bersikap tidak memihak. Sikap tidak
berpihak seperti itu sebenarnya bisa disebabkan oleh beberapa hal,
misalnya karena terdorong oleh keinginan atau ambisi pribadi, karena
tidak setuju adanya perang, karena mementingkan panggilan suci dan
dharma, atau karena sebab yang lain .
Dalam menentukan
senapati yang memimpin pasukan perang, setiap orang diteliti dan
dibicarakan kelemahan dan kekuatannya. Di pihak Kaurawa, pembicaraan
sampai ke nama Karna. Selama ini, tak seorang pun berani menegur Karna
yang membanggakan dirinya secara berlebihan. Semua enggan untuk berterus
terang memperingatkannya, kecuali Bhisma .
“Karna telah menerima kasih sayangmu,” kata Bhisma kepada Duryodhana .
“Tetapi
aku tidak terlalu memikirkannya. Aku tidak suka kebenciannya yang
begitu mendalam kepada Pandawa dan sikapnya yang sangat sombong dan
selalu membanggakan kesaktiannya. Sudah sering Karna, karena sikapnya
itu, membuat orang lain tersinggung dan terhina .
“Aku
tidak setuju jika ia diangkat menjadi Senapati Agung balatentara
Kaurawa. Lagi pula, senjata saktinya itu, satu-satunya miliknya, sudah
dibawanya sejak kelahirannya. Senjata itu telah terkena kutuk-pastu dari
Parasurama. Ia akan gagal menggunakan senjata dahsyatnya itu di saat
kita membutuhkan dia. Ia pasti tidak akan mampu mengingat mantra yang
harus diucapkannya. Pertempurannya melawan Arjuna akan menewaskannya.
Karena itu, ia tidak akan banyak berguna bagiku,” demikian kata Bhisma terus terang .
Duryodhana
dan Karna menganggap kata-kata Bhisma terlalu tajam dan menyakitkan
hati. Mereka semakin sakit hati karena pendapat Drona sama dengan
pendapat Bhisma. Kata Drona, “Karna terlalu sombong. Itu bisa
membuat dia lupa akan soal-soal kecil yang sangat penting dalam strategi
kita. Karena kecongkakannya, ia bisa gegabah, kurang hati-hati, dan
akhirnya mengalami kekalahan.”
Karna sangat
tersinggung mendengar kata-kata Bhisma dan Drona. Dengan wajah merah
padam ia memandang Bhisma dan berkata dengan marah, “Dasar tua bangka!
Selalu saja kau mencari kesempatan untuk menghina aku karena kau benci
dan iri padaku. Kau selalu menggunakan kesempatan untuk mempermalukan
aku di depan orang banyak. Selama ini aku selalu diam, tidak pernah
menyangkal. Selama ini aku telan segala penghinaanmu, demi kesetiaanku
kepada Duryodhana. Engkau katakan aku tidak akan banyak berguna dalam
pertempuran yang akan datang .
“Baiklah kukatakan kepada
kalian semua. Aku yakin, Bhisma —bukan aku— yang akan menyebabkan
Kaurawa kalah! Kenapa engkau sembunyikan perasaanmu yang sesungguhnya?
Kenyataan menunjukkan, engkau sama sekali tidak menyayangi Duryodhana
meskipun ia tidak menyadarinya. Karena engkau membenci aku, engkau
selalu berusaha memisahkan dan mempertentangkan aku dan Duryodhana. Kau
selalu berusaha meracuni pikiran Duryodhana agar ia membenci aku. Demi
pikiran busukmu, kau selalu mengecilkan kesaktianku dan menghinaku
serendah-rendahnya .
“Engkau sendirilah yang bertingkah
laku hina, sikap yang tak pantas untuk seorang kesatria. Umur bukan
ukuran untuk menentukan kehormatan seseorang dalam lingkungan para
kesatria, tetapi kesaktian dan keperwiraan. Hentikan usahamu untuk
meracuni hubungan kami, hubunganku dengan Duryodhana!”
Sambil menoleh kepada Duryodhana, Karna terus menumpahkan isi hatinya,
“Wahai
kesatria perkasa, renungkan baik-baik! Demi kemuliaan dan keagunganmu
sendiri, jangan terlalu percaya kepada kakek tua itu. Ia mencoba
menyebarkan benih perpecahan di antara kita. Penilaiannya terhadap
diriku akan melukai perjalanan hidupmu selanjutnya. Dengan merendahkan
aku, ia mencoba membunuh semangatku. Sesungguhnya, dialah yang sudah
berkarat. Umurnya sudah banyak dan raganya sudah rapuh. Kecongkakannya
membuat orang tidak menghormatinya lagi .
“Seperti
diajarkan dalam kitab suci, ada masanya ketika umur membuat pikiran jadi
berkarat. Ibarat buah yang matang menjadi rapuh, jatuh dan membusuk.
Bila engkau memilih Bhisma sebagai Senapati Agung Kaurawa, aku takkan
sudi mengangkat senjata. Aku baru mau bertindak setelah ia tewas di
medan perang!”
Sambil menahan amarah, Bhisma menjawab,
“Wahai
Putra Batara Surya, kini kita berada dalam situasi pelik. Itu sebabnya
engkau takkan mati sekarang. Sesungguhnya engkaulah biang keladi segala
keonaran dalam lingkungan Kaurawa.”
Duryodhana sangat kecewa menyaksikan pertikaian mulut itu, kemudian ia berkata kepada Bhisma,
“Wahai
Putra Dewi Gangga, aku membutuhkan bantuanmu. Juga kau, Karna. Kalian
adalah kesatria hebat dan perkasa. Besok, pagi-pagi sekali sebelum
matahari terbit, perang akan diumumkan. Jangan sampai ada perselisihan
di antara kita, terlebih-lebih karena kita tahu, musuh kita sangat
kuat.”
Karna menolak untuk mengangkat senjata karena
Bhisma yang diangkat sebagai Senapati Agung pasukan Kaurawa. Duryodhana
tidak bisa melunakkan hati Karna yang berkeras pada sumpahnya, yaitu
selama Bhisma menjadi Senapati Agung, ia tidak akan ikut berperang
melawan Pandawa .
Demikianlah watak Karna: sombong
tapi tidak menyadari kesombongannya dan malah menuduh orang lain
menyalahkan dirinya. Penilaiannya selalu diliputi oleh keangkuhan.
Demikianlah orang yang angkuh dan congkak akan selalu merendahkan orang
lain dan menyalahkan siapa pun yang berani menunjukkan
kelemahan-kelemahannya .
***
BERSAMBUNG
0 komentar :
Posting Komentar