40. Saat-Saat Sebelum Perang
Hampir semua
orang sudah siap berperang. Kedua belah pihak telah berkumpul di kubu
masing-masing. Demi kehormatan dan kemuliaan perang kaum kesatria,
mereka bertekad untuk memegang teguh aturan-aturan perang dalam
melancarkan serangan dan gempuran terhadap lawan .
Perang di jaman itu dibatasi dengan aturan-aturan yang berbeda dengan aturan di jaman-jaman yang kemudian.
- Menjelang matahari terbenam, perang harus dihentikan dan masing-masing pihak kembali ke kubu pertahanan untuk beristirahat. Sering terjadi, pihak-pihak yang bermusuhan berkumpul dan bergaul bebas dalam suasana persaudaraan selama matahari berada dalam peraduannya. Mereka melupakan segala peristiwa yang terjadi siang harinya. Tidak seorang pun dibenarkan mengangkat senjata atau mengepalkan tinju di malam hari .
- Pertarungan satu lawan satu hanya boleh dilakukan di antara dua pihak yang setara. Tidak seorang pun boleh berbuat sesuka hati di luar aturan-aturan dan norma-norma yang telah ditetapkan dalam dharma. Yang mundur atau yang terjatuh, apalagi yang menyerah, tidak boleh diserang atau dipukul lagi.
- Seorang prajurit berkuda hanya boleh diserang oleh seorang prajurit berkuda; demikian pula prajurit berkereta dan penunggang gajah. Prajurit yang berjalan kaki hanya boleh diserang oleh lawan yang seimbang.
- Tidak seorang pun boleh membela kawan atau menyerang lawan yang sedang bertarung satu lawan satu.
- Orang yang tak bersenjata tidak boleh diserang dengan senjata. Jadi, orang-orang dari kelompok bukan prajurit, misalnya pemukul genderang, peniup trompet dan barisan penolong korban perang, tidak boleh diserang.
- Mereka yang lari menyerah ke pihak lawan tidak boleh dianiaya atau dibunuh.
Demikianlah
beberapa aturan perang disepakati oleh Kaurawa dan Pandawa dan
diumumkan sebelum perang di padang Kurukshetra dimulai .
Jauh
di kemudian hari, tata krama perang tersebut dilanggar sendiri oleh
manusia. Begitu pula pengertian tentang benar dan salah, tentang baik
dan buruk, tentang kebajikan dan kebatilan, semua dilanggar sendiri oleh
manusia si pencipta aturan. Masing-masing merasa pihaknya
paling benar, paling kuat, dan paling berkuasa. Demikianlah, jauh di
kemudian hari, orang tidak lagi berperang berhadap-hadapan dengan lawan,
tetapi juga menyerang sasaran-sasaran lain. Rakyat biasa,
laki-perempuan, tuamuda, tanpa pandang bulu, semua dihancurkan asalkan
memang dapat dihancurkan. Ringkasnya, segala upaya dilakukan agar pihak
musuh hancur!
Meskipun sudah ada aturan yang membatasi
peperangan, penyimpangan dan pelanggaran akan terjadi jika manusia tidak
dapat mengendalikan diri dan ingin saling membunuh. Tetapi, betapapun
pelanggaran terjadi, budi pekerti luhur tetap mengatakan bahwa yang
salah adalah salah, yang jahat adalah jahat, yang batil adalah batil,
yang tercela harus dicela dan seterusnya .
“Wahai para
kesatria! Sekarang inilah kesempatan gemilang bagimu. Di hadapananmu
kini terbuka pintu gerbang surga selebar-lebarnya! Keabadian di hadapan
Batara Indra dan Batara Brahma menunggu dharma dan baktimu. Ikutilah
jejak nenek moyangmu dan melangkahlah di jalan dharma kesatria.
Bertempurlah dengan gembira untuk mencapai kemuliaan dan kemasyhuran.
Seorang kesatria pasti tidak ingin mati di ranjang karena sakit atau
usia tua. Ia lebih memilih gugur di medan perang!”
Demikian kata-kata singkat Bhisma dalam peresmian pasukan perang Kaurawa yang disambut dengan sorak sorai membahana .
Demikianlah persiapan-persiapan yang dilakukan kedua pihak. Di pihak Kaurawa tampak panji-panji megah berkibar-kibar di udara.
- Di kereta Bhisma, sang Senapati Agung, berkibar panji-panji berlambang pohon kelapa dan lima bintang emas.
- Di kereta Aswatthama tampak panji-panji berlambang singa mengaum garang.
- Di kereta Drona terpancang panji-panji berlambang mangkuk pendita dan busur-panah warna kuning keemasan.
- Di kereta Duryodhana berkibar panji-panji berlambang ular kobra. Duryodhana mengenakan jubah longgar bertudung kepala, yang hiasannya melambai-lambai ditiup angin ketika keretanya bergerak maju.
- Mahaguru Kripa membawa panji-panji berlambang banteng;
- sementara Jayadratha memilih lambang babi hutan.
Alangkah
hebat dan megahnya panji-panji pasukan Kaurawa yang berkibaran di
udara. Hati siapa yang tidak berdebar menyaksikan kehebatan pasukan
Kaurawa yang berderap menuju medan Kurukshetra?
Mengetahui
bahwa balatentara Kaurawa jauh lebih besar jumlahnya, Yudisthira
menyampaikan pesan kepada Arjuna agar menggunakan taktik-taktik
pemusatan pasukan, bukan penyebaran, dan serangan-serangan berformasi
jarum .
Tetapi, ketika Arjuna menyaksikan kedua pihak berhadapan di medan Kurukshetra, siap untuk saling menyerang, hatinya menjadi ragu dan sedih memikirkan akibat peperangan.
Krishna tidak membiarkan Arjuna dirundung keraguan dan kesedihan. Ia
segera memberikan petuah-petuah mulia (BHAGAVAT GITA - admin) untuk
menguatkan tekad Arjuna dalam menghadapi Kaurawa, musuh sekaligus
saudara-saudara sepupunya .
Sesaat sebelum pertempuran
dimulai, ketika segala senjata siap digunakan untuk menyerang musuh,
ketika ketegangan jiwa memuncak, tiba-tiba Yudhistira yang gagah
berani meletakkan senjatanya, menanggalkan tudung kebesaran dari
kepalanya, lalu turun dari keretanya. Ia melangkah mendekati Senapati
Agung Kaurawa .
Semua orang yang melihat
perbuatan Yudhistira tercengang, bingung, dan bertanya-tanya dalam hati,
apa gerangan yang hendak dilakukan Yudhistira sekarang. Arjuna sangat
terkejut dan segera turun dari keretanya lalu mengejar Yudhistira.
Krishna dan saudara-saudara Arjuna yang lain mengikuti langkah Arjuna.
Mereka cemas, kalau-kalau Yudhistira hendak menyerah tanpa perlawanan,
demi tercapainya perdamaian .
Sambil mengejar dari
belakang, dengan suara keras Arjuna berseru kepada Yudhistira, “Hai,
Raja Yang Kami Hormati, apa sebabnya engkau berbuat seaneh ini? Tanpa
memberitahu kami, kau pergi ke tempat musuh, tanpa senjata, tanpa
pengawal dan dengan berjalan kaki. Katakan, apa maksudmu?!”
Tetapi Yudhistira tidak menjawab sepatah kata pun. Ia tenggelam dalam renungan jiwanya dan terus berjalan ke tempat musuh .
Setelah
memandang wajah Yudhistira beberapa saat lamanya, Krishna yang
mengetahui jiwa dan perasaan manusia, juga jiwa dan perasaan Dharmaputra
saat itu, berkata kepada Pandawa lainnya dengan tenang,
“Ya, aku tahu maksudnya. Ia hendak pergi menemui Bhisma, Mahaguru Drona
dan para tetua lainnya untuk memohon restu sebelum peperangan dahsyat
dimulai. Apa yang dilakukannya memang sesuai dengan sopan santun dan
adat kesatria. Dengan restu para tetua, ia berharap kita akan dapat
melakukan kewajiban kita di medan perang dengan sebaik-baiknya.”
Pasukan
Duryodhana, yang melihat Yudhistira datang tanpa senjata tanpa pengawal
dan dengan kepala tunduk, mengira kesatria itu datang untuk mencari
penyelesaian secara damai, karena gentar melihat kekuatan pasukan
Kaurawa. Mereka saling berbisik, mengatakan Dharmaputra pengecut dan
tindakannya membuat malu para kesatria. Banyak yang mengutuknya. Kenapa
orang seperti Dharmaputra terlahir di lingkungan kesatria? Tetapi, ada
juga yang merasa lega karena mengira kemenangan akan diperoleh dengan
mudah, tanpa harus melancarkan satu pukulan pun, karena Dharmaputra
datang sendiri untuk menyerah .
Yudhistira terus berjalan,
menembus barisan pasukan Kaurawa yang berderet tegap dan rapi, lengkap
dengan senjata perang mereka. Ia tenggelam dalam lautan pasukan perang
yang dipimpin Bhisma. Sampai di hadapan senapati agung itu,
Yudhistira sujud dan menyembah kaki Bhisma yang ia muliakan sambil
berkata, “Kakek yang kumuliakan, ijinkan kami memulai peperangan ini.
Kami memberanikan diri untuk melawan Kakek, kesatria yang tak
tertandingi dan tak bisa ditaklukkan. Kami memohon restumu.”
“Cucuku,
engkau terlahir sebagai keturunan Bharata. Engkau bertindak mulia,
sesuai tata krama para kesatria. Hatiku sangat bahagia menyaksikan semua
ini. Aku bukan prajurit yang bebas. Aku, karena terikat oleh
kewajibanku terhadap Dritarastra, harus bertempur di pihak Kaurawa.
Bertempurlah engkau. Kemenangan akan ada di pihakmu,” kata Bhisma sambil memberikan restunya kepada Dharmaputra .
Setelah
memperoleh restu dari Kakek Bhisma, Yudhistira pergi menemui Mahaguru
Drona. Sampai di hadapan mahaguru itu, sesuai adat para kesatria, ia
sujud, menyembah dan memohon restunya .
Mahaguru Drona berkata,
“Wahai
Dharmaputra, aku tak mungkin mengingkari kewajibanku. Kepentingan
pribadi telah memperbudak kita dan menjadi majikan kita. Aku terikat
oleh kepentingan itu dan harus bertempur di pihak Kaurawa. Tapi, engkau
pasti menang. Bertempurlah kalian dengan sepantasnya.”
Setelah
mohon pamit dari Mahaguru Drona, Yudhistira pergi menghadap Mahaguru
Kripa dan Raja Salya, pamannya, untuk maksud yang sama. Setelah mendapat
restu dari kedua orang itu, ia kembali ke pasukan Pandawa .
Demikianlah, perang besar Bharatayudha dimulai .
Terjadi
pertarungan satu lawan satu di antara para kesatria perkasa dari kedua
belah pihak: Bhisma lawan Partha, Brihatbala lawan Abhimanyu, Kritawarma
lawan Satyaki, Salya lawan Yudhistira, Duryodhana lawan Bhima dan Drona
lawan Dristadyumna. Pasukan berkuda berhadapan dengan pasukan berkuda,
pasukan gajah menghadapi pasukan gajah, semuanya berlangsung sesuai
undang-undang dan aturan perang di masa itu .
Di samping
pertempuran-pertempuran yang sesuai dengan aturan-aturan perang di masa
itu, perang bebas juga terjadi, yaitu antara pasukan berjalan kaki dari
kedua belah pihak. Pertempuran bebas seperti itu disebut sankula yuddha .
Demikianlah
padang Kurukshetra telah menyaksikan sankula yuddha yang tidak ada
batasnya, lebih-lebih setelah peperangan berlangsung beberapa hari dan
orang-orang yang berperang sudah tak dapat mengendalikan diri lagi.
Mereka saling membunuh dengan garang, benarbenar haus darah, tidak
peduli apa pun asal dapat memancung leher lawan. Gemuruh kereta-kereta
perang yang dipacu, lengkingan gajah, bunyi tombak dan pedang beradu,
desing ribuan anak panah yang melesat ke arah lawan... semua itu menjadi
pemandangan sehari-hari selama berhari-hari di padang Kurukshetra yang
amat luas!
***
BERSAMBUNG
0 komentar :
Posting Komentar