44. Pahlawan-Pahlawan Muda Berguguran
Hari KEEMPAT
Pada hari keempat, pagi-pagi benar Bhisma, Drona dan Duryodhana telah
mengumpulkan balatentara Kaurawa. Siapakah yang tidak takjub melihat
keperkasaan pasukan Kaurawa? Hari itu Bhisma menyiagakan pasukan-pasukan
yang mengusung persenjataan berat, pasukan berkuda dan penunggang
gajah. Kesatria tua itu tampak perkasa, berdiri tegap di kereta
perangnya bagaikan Batara Indra yang sedang mempersiapkan pertempuran di
angkasa.
Arjuna melihat Bhisma memerintahkan pasukan-pasukan Kaurawa untuk maju. Ia sendiri sudah siap di keretanya .
Begitu matahari terbit, sangkakala ditiup, tanda peperangan dimulai. Pagi-pagi benar Abhimanyu telah
dikepung oleh Aswatthama, Bhurisrawa, Citrasena, Salya dan Cala, putra
Salya. Putra Arjuna yang masih muda itu bertarung dengan sengit,
bagaikan seekor singa menghadapi lima ekor gajah. Belum lama berperang,
dia sudah berhasil membunuh Cala. Melihat putranya tewas mengenaskan,
Salya sangat marah dan menantang Dristadyumna. Tetapi sebelum
Dristadyumna sempat membalas tantangannya, Abhimanyu sudah menyerang
Salya. Raja itu pasti kalah kalau tidak segera dibantu oleh Duryodhana
dan saudarasaudaranya .
Melihat Abhimanyu dikeroyok, Bhima
cepat-cepat memberikan bantuan. Saudara-saudara Duryodhana ngeri
melihat Bhima mendekat sambil mengacung-acungkan gada besi yang luar
biasa besarnya dan menggeram-geram seperti singa. Mereka gemetar
ketakutan. Duryodhana marah melihat saudara-saudaranya ketakutan. Ia
mengerahkan ratusan gajah untuk menerjang Bhima. Melihat ratusan gajah
berlari ke arahnya, Bhima meloncat dari keretanya siap menghadang mereka
dengan gada terayun-ayun. Dihadang seperti itu, gajah-gajah itu lari
tunggang-langgang ketakutan. Banyak yang mati terkena hantaman gada
Bhima atau terinjak-injak gajah lain. Bangkai binatang raksasa itu
bergelimpangan dan tak sedikit prajurit Kaurawa yang mati terlindas
gajah yang lari tunggang-langgang karena panik.
Duryodhana
menjadi mata gelap. Ratusan anak panah dilesatkannya ke arah Bhima.
Beberapa tepat mengenai Bhima yang lalu bergegas naik kembali ke
keretanya. Kepada sais keretanya ia memerintahkan agar kereta dipacu ke
kubu Kaurawa, “Ayo Wisoka, ini hari yang gemilang. Aku melihat anak-anak
Dritarastra siap kuremukkan, mudah sekali. Semudah menggoyang dahan
jambu agar buahnya rontok berserakan di tanah. Rupanya Kaurawa sudah tak
sabar ingin segera dikirim ke neraka!”
Delapan saudara Duryodhana mati remuk terkena amukan gada Bhima.
Akhirnya Duryodhana maju dan menantang Bhima dengan garang. Busur Bhima
terpelanting kena panah Duryodhana. Dengan cekatan Bhima mengambil
busur baru dan membalas serangan Duryodhana dengan anak panah bermata
pedang yang tepat mengenai busur Duryodhana hingga patah jadi dua. Tak
kalah tangkasnya, Duryodhana mengambil busur baru untuk membidik Bhima.
Kesatria Pandawa itu terkena dadanya, tubuhnya tersentak lalu jatuh
terduduk. Tanpa membuang waktu, Duryodhana menggunakan kesempatan itu
untuk meluncurkan beratus-ratus anak panah ke arah Bhima. Gatotkaca, yang melihat ayahnya terduduk setengah tak sadarkan diri, segera maju menyerang pasukan Kaurawa .
Sadar
akan keadaan pasukan Kaurawa yang sudah sangat payah dan hari memang
sudah sore, Bhisma memerintahkan Drona untuk mengundurkan pasukan mereka
ke perkemahan. Bhisma tahu, Gatotkaca, putra Bhima dari
istrinya yang raksasa, akan bertambah kuat dan sakti jika hari mulai
gelap. Bertambah malam kesaktiannya semakin bertambah. Itu adalah ciri
khas anak raksasa .
“Esok saja kita hadapi Gatotkaca,” kata Bhisma .
Sampai
di perkemahan, Duryodhana duduk termangu-mangu. Air matanya menetes,
hatinya sedih mengenang kekalahan tadi siang. Peperangan baru
berlangsung empat hari, tetapi sudah delapan saudaranya yang tewas dan
tak terhitung banyaknya prajurit Kaurawa yang kehilangan nyawanya atau
menjadi cacat. Kekalahan itu semakin terasa berat karena banyak kereta
perang yang hancur dan gajah serta kuda yang mati .
Setiap
hari Raja Dritarastra mendapat laporan tentang jalannya pertempuran
dari Sanjaya, orang kepercayaan dan penasihatnya. Mendengar laporan
tentang jalannya pertempuran pada hari keempat, ia menjadi marah.
Katanya dengan nada keras, “Sanjaya, setiap hari engkau selalu
menyampaikan kabar buruk. Laporanmu hanya berisi kesedihan, kekalahan
dan kematian mereka yang kucintai. Aku tidak tahan mendengar semua ini.”
“Tuanku
Raja, bukankah ini semua adalah akibat dari kesalahan Tuanku sendiri?
Aku hanya melaporkan apa yang kulihat, sama sekali tidak mengada-ada.
Memang menyedihkan. Tapi, bagaimana aku bisa mengabarkan berita baik,
jika kenyataannya tidak demikian? Tuanku Raja harus menerima kenyataan
ini dengan sabar,” jawab Sanjaya .
***
BERSAMBUNG
0 komentar :
Posting Komentar