Hari KELIMA
Pada hari kelima pertempuran dimulai pagi-pagi sekali. Bhisma mengatur pasukan Kaurawa dalam formasi yang kokoh.
Sebaliknya,
Pandawa mengatur pasukan mereka dengan cara lain. Bhima dan pasukannya
ditugaskan untuk siaga di ujung depan formasi mereka, disusul
berturut-turut pasukan Srikandi, Satyaki, dan Dristadyumna yang dipilih
menduduki pusat formasi atau pusat kekuatan. Ujung belakang formasi
dijaga oleh Dharmaputra dan saudara kembarnya, Nakula dan Sahadewa .
Hari
belum lagi terang ketika Bhisma mengerahkan pasukan Kaurawa dalam
jumlah sangat besar untuk menggempur pasukan Pandawa yang belum siap
benar. Tak bisa dihindarkan, prajurit yang dipimpin Bhima banyak yang
tewas. Pandawa menderita kekalahan. Dhananjaya segera membantu Bhima.
Musuh dapat dipukul mundur dan Bhisma dibuat kewalahan .
Duryodhana
kecewa dan mengeluh kepada Drona, “Engkau tidak bertindak dengan
sepenuh hatimu. Apa artinya semua ini? Katakan terus terang!”
Dengan
pedas Drona menjawab, “Putra Mahkota yang berhati keras, engkau
berbicara tanpa menunjukkan pengertianmu. Selama ini kau meremehkan
kekuatan Pandawa. Kami telah melaksanakan kewajiban kami dengan
sebaik-baiknya.”
Menjelang tengah hari, Drona
berhadapan dengan Satyaki. Drona melancarkan serangan bertubi-tubi
terhadap Satyaki, tetapi kesatria itu belum terkalahkan juga. Justru
Drona yang membutuhkan bantuan. Maka datanglah Salya dan Bhisma untuk
membantunya .
Pertempuran dan pertarungan
kesatria-kesatria perkasa itu berlangsung sangat dahsyat! Dari pihak
Pandawa tampil Srikandi, seorang laki-laki yang terlahir dengan raga
perempuan.
Melihat Srikandi mendekatinya, Bhisma menghindar.
Pantang baginya untuk bertarung melawan perempuan karena begitulah dulu
ia bersumpah. Drona menggantikan Bhisma dan langsung menghadapi
Srikandi. Serangan Drona yang bertubi-tubi membuat Srikandi kewalahan .
Demikianlah,
pertempuran di hari kelima itu berlangsung tanpa mengindahkan aturan
perang. Pembunuhan kejam terjadi di seluruh medan perang.
Menjelang
sore Duryodhana mengirimkan pasukan besar untuk melawan Satyaki.
Tetapi, dengan mudah Satyaki menghancurkan mereka semua. Berikutnya Bhurisrawa maju menghadapi Satyaki dan
menyerangnya dengan membabi buta. Putra-putra Satyaki yang berjumlah
sepuluh orang tidak membiarkan ayah mereka dikeroyok. Serentak mereka
maju dan melancarkan serangan balasan. Serangan putra-putra Satyaki itu
dihadapi Bhurisrawa dengan garang. Dengan seluruh kekuatannya ia
meremukkan sepuluh kesatria itu hingga tewas semuanya .
Satyaki
sangat sedih dan marah melihat putra-putranya gugur. Dengan nekat ia
menumbukkan keretanya ke kereta Bhurisrawa hingga kedua kereta itu
hancur. Kemudian, sambil berdiri dengan gagah ia menghunus pedang dan
bertarung satu lawan satu dengan Bhurisrawa. Melihat itu, Bhima memacu
keretanya mendekat. Begitu sampai ke dekat kedua orang itu, ia
mengayunkan gadanya, memukul bahu Bhurisrawa. Lalu, dengan tangkas ia
menyambar Satyaki, menaikkannya ke kereta dan membawanya menjauh. Bhima
tahu, Bhurisrawa sangat tangkas berolah pedang. Kepandaiannya itu tak
tertandingi. Ia tidak rela Satyaki tewas karena kalah adu ketangkasan
memainkan pedang .
Sementara itu, Arjuna telah membabat
habis ratusan prajurit Kaurawa, seperti peladang yang dengan kesal
menerabas semak belukar. Setiap bala bantuan yang dikirim Duryodhana
langsung dihabisi Arjuna .
Hari sudah sore. Sebentar lagi
gelap turun. Bhisma memerintahkan agar pertempuran dihentikan. Kedua
belah pihak kembali ke perkemahan masing-masing untuk beristirahat dan
memulihkan kekuatan untuk menghadapi perang esok hari .
Di perkemahan Pandawa, Arjuna yang telah menewaskan ratusan musuh disambut dengan sorak sorai yang meriah .
***
Sementara
itu, suasana di perkemahan Kaurawa tampak muram. Hari itu mereka
menderita kekalahan luar biasa, kekalahan yang jauh lebih berat dan
memalukan daripada yang pernah mereka alami .
Duryodhana
termenung-menung. Hatinya gundah memikirkan kekalahannya. Hatinya
mulai bimbang. Keyakinannya mulai goyah. Apakah Kaurawa bisa menang
jika pertempuran terus berlanjut?
Akhirnya dia menghadap
Bhisma dan berkata, “Kakek yang kuhormati, di mata dunia engkau adalah
kesatria agung yang tidak mengenal takut. Demikian pula Drona, Kripa,
Kritawarma, Aswatthama, Sudakshin, Bhurisrawa, Wikarna dan Bhagadatta.
Bagi para kesatria agung itu, kematian bukan apa-apa. Keberanian dan
kebesaranmu, seperti mereka, juga tidak mengenal batas. Tak ada yang
mampu mengalahkan engkau, biarpun kelima Pandawa maju serentak
melawanmu. Tetapi, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Setiap hari
anak-anak Kunti selalu berhasil mengalahkan pasukan kita. Apakah
rahasia mereka?”
Menilik kata-katanya, jelas Duryodhana mencurigai Bhisma .
“Putra
Mahkota, dengar kata-kataku. Dalam setiap kesempatan, aku selalu
menasihatimu demi kebaikanmu sendiri. Tetapi, engkau selalu menolak
pertimbangan kami yang lebih tua. Berulang-ulang kukatakan
kepadamu, jalan yang terbaik adalah berdamai dengan putra-putra Pandu.
Kalian berasal dari satu keturunan bangsawan agung. Demi kebaikanmu dan
kebaikan jagat ini, perdamaian adalah satu-satunya jalan. Apalagi
kerajaan yang amat luas ini akan tetap menjadi milik kalian.
Kunasihatkan hal ini berulang-ulang, tetapi engkau tetap menyalahkan
Pandawa .
“Ingat, Pandawa dilindungi Krishna.
Adakah yang bisa mengalahkan Krishna? Apa pun yang telah terjadi,
sekarang masih ada waktu untuk berdamai. Percayalah, jalan damai adalah
jalan yang paling terhormat. Jadikan sepupu kalian itu teman baik,
bukan musuh. Kalian akan hancur musnah kalau terus menghina Dhananjaya dan Narayana*),” jawab Bhisma .
*) Dhananjaya = nama lain Arjuna; Narayana = nama lain Krishna
Duryodhana
tidak menyahut dan tidak marah-marah lagi. Ia segera kembali ke
kemahnya lalu merebahkan diri untuk beristirahat. Tetapi, sepanjang
malam ia tidak bisa tidur. Hatinya kesal dan tidak bisa menerima
nasihat Bhisma. Dasar keras kepala!
***
Di istana
Hastinapura, dengan setia Sanjaya melaporkan jalannya pertempuran.
Semua diceritakannya dengan terperinci karena ia dikaruniai kesaktian
untuk melihat sesuatu yang jauh .
Sanjaya menceritakan jalannya perang kepada Raja Dritarasta
Dan
... setiap kali mendengar laporannya, Raja Dritarastra selalu mengeluh
berkepanjangan, “Aku ini seperti pelaut yang terkatung-katung di
samudera luas setelah kapalnya tenggelam. Aku pasti tenggelam dalam
lautan kedukaan ini. Bhima pasti bisa membunuh semua anakku. Aku tidak
tahu, adakah kesatria mahasakti yang sanggup melindungi anak-anakku dari
kemusnahan? Apakah Bhisma, Kripa, Drona dan Aswatthama hanya berpangku
tangan melihat kehancuran yang dialami anak-anakku? Apa sebenarnya
rencana mereka? Bagaimana dan kapan mereka mau membantu Duryodhana
dengan sungguh-sungguh?”
Dritarastra menangis, dari matanya yang buta mengalir air mata kesedihan .
Sanjaya mencoba menyabarkan raja yang sudah tua itu, “Bersabarlah Tuanku Raja. Ingatlah! Pandawa melandaskan kekuatan mereka pada kebenaran dan keadilan. Itu sebabnya mereka menang.
Putra-putramu memang pemberani, tetapi mereka berhati busuk dan tak
segan berbuat curang. Keberuntungan takkan memihak putra-putramu. Mereka
telah menghina Pandawa dan memperdaya mereka. Kini putra-putramu
memetik buah perbuatan mereka .
“Pandawa menang bukan
karena memiliki ilmu gaib. Mereka menang karena menjalankan dharma
sebagai kesatria. Mereka menempuh jalan benar dan karena itu mereka
dikaruniai kekuatan .
“Sahabat-sahabat Tuanku, yaitu
Widura, Drona, Bhisma dan aku telah berulang kali memberi saran, tetapi
Tuanku selalu menuruti keinginan putra-putra Tuanku. Ibarat orang yang
sakit keras, Tuanku telah menolak obat pahit yang harus Tuanku minum
agar bisa sembuh.”
***
Di kemahnya, Duryodhana juga mengeluhkan hal itu .
Bhisma menasihatinya, “Yang dapat kukatakan kepadamu sekarang adalah: berdamailah dengan Pandawa.”
***
BERSAMBUNG
Catatan Tambahan:
Dari
Sumber asli India yang saya baca, pada saat Perang Bharatayuda,
SRIKANDI berkelamin LAKI-LAKI, sejauh pengetahuan semua orang (termasuk
Pandawa, kecuali Krisna dan Bisma) Srikandi ini selalu laki-laki...Tapi
di mata Bhisma, dia tetap menganggap Srikandi ini perempuan karena dia
terlahir perempuan (baru berganti kelamin secara penuh setelah dewasa
dengan cara bertukar kelamin dengan Yakhsa). Bhisma tahu bahwa Srikandi
ini adalah Titisan AMBA yang pernah dia tolak, dan dia tahu bahwa karena
Srikandi lah yang menyebabkan kematiannya... Perlu diingat, penyebab
kematian tidak selalu berarti "yang membunuh".
0 komentar :
Posting Komentar